Saya Arwin Soelaksono dari Habitat for Humanity Indonesia. Saya terlibat langsung pada fase pemulihan awal dan program pemulihan perumahan di Aceh setelah tsunami. Kami membangun lebih dari 8.000 rumah dan diakui sebagai salah satu organisasi non-pemerintah yang paling tangguh yang bekerja di Pantai Barat Aceh, bersama dengan organisasi-organisasi lain seperti Samaritan’s Purse dan Palang Merah Inggris. Selama bertahun-tahun, kami memperoleh pelajaran berharga, merenungkan apa yang telah kami lakukan dalam pemulihan, dan mendapatkan wawasan berharga untuk membantu masyarakat yang terdampak bencana membangun kembali rumah mereka dengan lebih efektif dan berkelanjutan.
Cerita dari Aceh setelah Tsunami Asia 20 tahun yang lalu
Pada pertengahan 2005, lebih dari 5.000 pekerja kemanusiaan internasional tiba di Aceh. Pada puncak upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh, terdapat 124 LSM internasional, puluhan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan 430 LSM lokal. Antara 2005 hingga 2006, kota-kota seperti Banda Aceh, Meulaboh, dan daerah Pantai Barat lainnya dipenuhi oleh LSM. Dengan dana yang sangat besar, mencapai 7,7 miliar USD, para pekerja langsung memulai pekerjaan mereka.
Namun, seiring dengan banyaknya dana yang digelontorkan untuk operasi pemulihan, kenyataan di lapangan tampak menjadi jelas. Daerah yang terdampak telah menderita lebih dari tiga dekade konflik bersenjata, sehingga kapasitas pasar sangat terbatas. Bahan bangunan jauh di bawah kebutuhan yang diperlukan, terutama untuk lembaga pemulihan yang bekerja di bidang perumahan. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan ini menyebabkan inflasi yang parah dan persaingan antara lembaga.
Persaingan ini tidak berhenti di situ; masalah lain muncul ketika LSM mulai berselisih mengenai siapa yang akan mendapatkan penerima manfaat. Ini adalah kenyataan yang menyedihkan bahwa suatu lembaga harus bersaing agar penerima manfaat bisa memilih LSM mana yang bisa membangun rumah mereka. Pada waktu itu, sudah menjadi hal biasa bagi LSM untuk mencoba menarik perhatian penerima manfaat dengan menawarkan rumah yang lebih besar atau bahkan rumah dua lantai, bersama dengan furnitur dan TV. LSM seperti Habitat for Humanity Indonesia berada di posisi yang sulit, karena rumah yang kami bangun hanya berukuran 36 meter persegi, dan tanpa furnitur. Kami meyakini bahwa ketika rumah diberikan secara cuma-cuma, pemilik rumah seharusnya menyediakan barang-barang rumah tangga sesuai dengan kebutuhan mereka.
Suatu malam di bulan Maret 2006, sekelompok warga desa datang ke kantor kami di Rigaih, di Pantai Barat Aceh. Mereka meminta kami untuk membangun rumah dengan ukuran 45 meter persegi, bukan 36 meter persegi seperti yang telah kami janjikan. Pembicaraan pun berlangsung tegang. Kami harus setuju, atau mereka akan mengusir kami dan membiarkan LSM lain yang dapat membangun rumah dengan ukuran 45 meter persegi untuk mengambil alih. Persaingan antar LSM ini mengarah pada sikap buruk dari penerima manfaat, menjadikan mereka manja. Pada akhirnya, hal ini bahkan mendikte LSM yang membantu mereka, memaksa kami untuk memenuhi permintaan yang tidak masuk akal tersebut. Malam itu, saya menandatangani surat yang menyatakan bahwa kami akan meninggalkan daerah tersebut dan membiarkan LSM lain bekerja, karena kami menolak memenuhi permintaan mereka.
Keesokan paginya, saat kami bersiap untuk pergi dan mengucapkan selamat tinggal kepada masyarakat, kami terkejut melihat para wanita marah pada suami-suami mereka. Para wanita ini meminta kami untuk tetap tinggal dan membangun rumah mereka. Mereka berkata kepada suami-suami mereka, “Biarkan Habitat yang membangun rumah kami, kemudian kita bisa meminta LSM lain untuk membangun rumah tambahan.” Meskipun saya tidak setuju dengan alasan mereka, saya harus mengakui bahwa itu cukup cerdik. Momen ini membawa kami pada kesadaran baru: perempuan memainkan peran penting dalam pemulihan perumahan pasca-bencana.
Pengalaman di Nepal tahun 2015
Setelah gempa bumi 2015 di Nepal, saya ditugaskan oleh Palang Merah Amerika untuk mendukung pemulihan perumahan. Suatu hari, dalam program pemulihan tersebut, saya mengunjungi desa Kaule, salah satu daerah yang paling terdampak gempa. Saya bertemu dengan seorang wanita yang sedang melakukan pekerjaan fisik yang berat, membawa batu yang akan digunakan untuk membangun rumahnya. Meskipun saya bisa melihat bahwa batu itu berat, saya tidak mendengar keluhan darinya.
Di tempat lain, saya melihat sebuah keluarga yang sedang bekerja membangun rumah mereka, dan semua anggota keluarga tersebut adalah perempuan dari berbagai generasi. Mereka semua terlibat dalam pekerjaan konstruksi. Di lokasi lainnya, saya melihat perempuan yang sedang memperbaiki batang besi untuk ikatan yang tahan gempa. Ini adalah kerja sama komunitas di mana semua orang memahami pentingnya fitur tahan gempa yang harus dipasang di setiap rumah. Dengan cara ini, individu, keluarga, dan komunitas mampu melakukan pekerjaan rekonstruksi dengan baik, setara dengan pria.
Baca juga: Perumahan yang Memadai untuk Masa Depan yang Tangguh
Lalu, mengapa keterlibatan perempuan begitu penting dalam pemulihan perumahan? Dari perspektif saya, ada dua aspek utama yang mendukung hal ini.
Pertama, perempuan sangat fokus. Melindungi anak-anak dan keluarga mereka memotivasi mereka untuk menyelesaikan konstruksi secepat mungkin. Seorang wanita yang saya temui di Nepal berlomba dengan waktu, memastikan rumahnya selesai sebelum musim dingin. Mereka yang telah dilatih dalam metode konstruksi yang aman dengan hati-hati memasang bahan-bahan untuk memastikan struktur yang kokoh.
Kedua, keterlibatan mereka membawa lebih banyak aktor ke dalam ekosistem pemulihan perumahan. Untuk memastikan pemulihan yang berkelanjutan, proses ini harus terus berlanjut bahkan setelah dukungan eksternal dari pemerintah dan LSM hilang. Untuk membangun ekosistem tersebut, dukungan tambahan harus diberikan kepada yang paling rentan, dengan meningkatkan akses ke mata pencaharian, memastikan ketersediaan penyedia layanan keuangan, dan sebagainya. Inisiatif-inisiatif ini umumnya berada di luar lingkup aktor perumahan, sehingga penting untuk bermitra dengan lembaga non-perumahan atau non-pemukiman.
Pelatihan konstruksi tingkatkan peran perempuan lebih efektif
Lalu, bagaimana kita dapat membantu perempuan agar mereka dapat memainkan peran lebih efektif dalam pemulihan perumahan?
Langkah pertama adalah melalui pelatihan konstruksi, seperti yang dilakukan di Nepal dan Indonesia. Sebagai contoh, selama program pemulihan perumahan 2015 di Nepal, pemerintah meluncurkan program pelatihan tukang sebagai persiapan sebelum upaya rekonstruksi besar-besaran dimulai. Kursus pelatihan selama 7 hari ini mengajarkan peserta cara membangun rumah tahan gempa sesuai dengan standar yang benar. Pelatihan ini terbuka untuk pria dan wanita, dan mencakup kegiatan di kelas serta pelatihan di lapangan. Mereka yang lulus pelatihan akan menerima sertifikat. Meskipun perempuan didorong untuk berpartisipasi, jumlah mereka tetap perlu ditingkatkan.
Lalu, mengapa lembaga pemulihan begitu serius memberikan dukungan kepada perempuan? Apakah terlalu banyak jika kita fokus pada perempuan yang bekerja dalam konstruksi?
Sebenarnya, memberi perhatian lebih kepada perempuan dan mempercayakan mereka dengan peran yang lebih besar dalam proses rekonstruksi adalah cara untuk menghormati sifat pemulihan. Rekonstruksi pasca-bencana harus bersifat organik; tidak ada jalan pintas untuk pemulihan yang cepat. Memberikan dukungan yang didorong oleh tekanan politik atau faktor eksternal tidak akan berkelanjutan dan bahkan bisa berujung pada kegagalan.
Perempuan memiliki insting yang unik untuk melindungi anak-anak mereka. Di mana pun saya bekerja, saya sering melihat ketekunan mereka dalam menyelesaikan konstruksi dengan kualitas tinggi dan secepat mungkin. Itulah potensi mereka. Rumah-rumah tersebut harus cukup kuat agar tidak rusak lagi jika suatu saat terjadi bencana serupa. Menariknya, perempuan sering mendesain rumah mereka sesuai dengan kebutuhan mereka, dan memiliki rumah yang dibangun sesuai dengan spesifikasi mereka menghasilkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan rumah modular standar. Selain itu, jika mereka membangun rumah mereka sendiri, mereka akan merasa lebih percaya diri untuk melakukan perbaikan atau perpanjangan rumah, yang memastikan keberlanjutan jangka panjang.
Oleh karena itu, memberikan peran signifikan kepada perempuan dalam pemulihan perumahan akan memaksimalkan upaya mereka dalam mendukung keluarga mereka, yang menghasilkan konstruksi berkualitas tinggi dan penyelesaian tepat waktu. Selain itu, sebagai keuntungan tambahan, perempuan juga bisa mendapatkan penghasilan dari konstruksi, yang mengurangi kerentanannya di daerah yang terdampak.
Penulis: Arwin Soelaksono/Program Director Habitat for Humanity Indonesia
(kh/av)