Solusi Kebijakan Menuju Pemerataan Akses terhadap Perumahan yang Layak di Permukiman Perkotaan

Pada tahun 2019, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Asia dan Pasifik didominasi wilayah perkotaan dengan lebih dari 50% penduduknya tinggal di perkotaan. Populasi perkotaan di kawasan ini telah melampaui 2,3 miliar jiwa, dan akan bertambah 1,2 miliar penduduk perkotaan pada tahun 2050. Besarnya urbanisasi dan tren masa depan menempatkan kota-kota di kawasan Asia-Pasifik pada titik kritis dimana terdapat peluang ekonomi yang sangat besar dan juga tantangan perkotaan.

Dialog Perkotaan Asia-Pacific berfungsi sebagai platform untuk komunikasi, diskusi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan yang beragam, termasuk badan pemerintah, organisasi non-pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, pengembang properti, perwakilan masyarakat lokal, dan sektor swasta. Berfokus pada solusi inklusif dan berkelanjutan, Dialog Perkotaan membahas isu-isu utama seperti penyediaan perumahan yang layak, layanan dasar, permasalahan lingkungan, kesenjangan sosial, dan kepemilikan lahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah perkotaan dan permukiman informal. Inisiatif ini memfasilitasi pertukaran pengetahuan, perspektif, dan pengalaman, memupuk saling pengertian dan mengeksplorasi solusi yang layak. Sebagai bagian dari peringatan Hari Habitat pada bulan Oktober 2023, Dialog Perkotaan Indonesia diselenggarakan bersama oleh Koalisi Perumahan Gotong Royong dan Habitat for Humanity Indonesia pada tanggal 4-5 Oktober 2023. Acara ini bertujuan untuk menciptakan ruang untuk mengidentifikasi tantangan, merumuskan kebijakan, dan perencanaan program yang efektif untuk meningkatkan akses perumahan dan kepemilikan tanah bagi masyarakat perkotaan berpenghasilan rendah. Format dialog, baik melalui lokakarya, diskusi panel, atau pertemuan publik dan online, akan disesuaikan untuk mengatasi kompleksitas permasalahan ini. Permukiman informal, yang merupakan bagian integral dari lanskap perkotaan, muncul dari pendekatan swadaya, yang berkontribusi terhadap 69% penyediaan perumahan di Indonesia. Ketahanan dan kemandirian masyarakat merupakan aset penting dalam upaya menyediakan perumahan yang layak.

Permukiman informal, yang merupakan bagian integral dari lanskap perkotaan, muncul dari pendekatan swadaya, yang berkontribusi terhadap 69% penyediaan perumahan di Indonesia. Ketahanan dan kemandirian masyarakat merupakan aset penting dalam upaya menyediakan perumahan yang layak.

Sehubungan dengan permasalahan perumahan di Indonesia, kita selalu dihadapkan pada tiga tantangan mendasar:  

1) Ketimpangan dalam penguasaan lahan

Lahan di kota semakin dikuasai segelintir pihak dengan proporsi yang mencengangkan. Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2015, 0,2% penduduk Indonesia memiliki 74% tanah di Indonesia, sedangkan 99,8% penduduk Indonesia lainnya hanya memiliki sisanya. Di seluruh Jabodetabekpunjur , RCUS menghitung tahun 2018 pengembang menguasai sekitar 35.000 hektare sebagai cadangan lahan (land bank), setara dengan 60% luas Provinsi DKI Jakarta. Ketimpangan dalam penguasaan lahan ini telah berkontribusi pada peningkatan harga tanah dan perumahan, selain dampak negatif perkotaan lainnya, seperti pembangunan perkotaan yang meluas dan krisis ekologi. Dampak ketimpangan tidak hanya nyata di Jabodetabek tetapi juga terjadi di Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta. Misalnya dalam dua tahun, harga tanah di Surabaya bisa naik 60-100%. Bank Tanah yang dipilih oleh Pemerintah, termasuk Badan Usaha Milik Negara, seringkali bekerjasama dengan pihak swasta dibandingkan dengan masyarakat atau masyarakat umum.

2) Liberasi sektor perumahan

Pasca Krisis Moneter tahun 1997, porsi anggaran terkait perumahan di Indonesia terus menurun. Pada tahun 2015, anggaran perumahan hanya sebesar 0,4% dari total APBN atau setara dengan 0,06% PDB. Pengadaan perumahan, khususnya untuk memenuhi sisi pasokan bagi masyarakat berpendapatan rendah, sangat bergantung pada pembiayaan melalui pasar sekunder yang disalurkan melalui perbankan. Model ini juga sangat bergantung pada pengembang untuk terus membangun perumahan bersubsidi. Triase pemerintah-perbankan-pengembang membawa perumahan publik ke pasar di mana hanya individu yang dianggap “bankable” yang dapat mengakses program tersebut. Pilihan produk perumahan bersubsidi yang ditawarkan sangat terbatas. Liberalisasi telah mempengaruhi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan perumahan secara umum. Ketiadaan mekanisme pengendalian pasokan dan permintaan perumahan menjadikan perumahan hanya produk spekulasi, finansialisasi, dan investasi.

3) Perumahan yang layak dianggap sebagai masalah sektoral.

Meskipun terdapat Pasal 28H dan disahkannya UU 11 Tahun 2005, perumahan yang layak hanya dianggap sebagai bagian dari persoalan infrastruktur atau sektoral. Selain itu, isu HAM tidak menjadi prioritas dalam berbagai produk kebijakan terkait perumahan. Berbagai produk kebijakan berjalan secara mandiri, seperti agraria, penataan ruang dan zonasi, pembiayaan perumahan, dan perencanaan, pada berbagai sektor tersendiri tanpa adanya strategi yang jelas dan kelembagaan yang holistik. Perbaikan desa seringkali terjadi di berbagai daerah tanpa didahului dan didasari oleh perencanaan partisipatif serta keinginan untuk menyelesaikan konflik tata ruang dan agraria. Akhirnya, permukiman kumuh, gentrifikasi, dan penggusuran paksa yang berulang kali terus mengancam.

1.Perumahan yang tersedia semakin tidak terjangkau.

 

Rasio angsuran rumah terhadap UMR di DKI Jakarta, DIY, Jawa Barat, dan Jawa Timur pada tahun 2017 mencapai 77,04%, 85,01%, 88,9%, dan 124,34%. Pekerja harus menanggung beban pembayaran angsuran yang menghabiskan sebagian besar atau seluruh pendapatannya.

 

2.Penggusuran paksa sedang dan akan terus terjadi.

 

Ketimpangan penguasaan lahan yang mengakibatkan semakin minimnya keberadaan perumahan terjangkau di berbagai tempat juga menjadi penyebab utama permasalahan kesenjangan ekonomi-sosial di masyarakat. Anggapan bahwa perumahan yang layak hanya persoalan sektor perumahan membuat persoalan konflik agraria terkait perumahan tidak pernah dibahas dalam urusan perbaikan desa. Akar permasalahannya bukan terletak pada permasalahan perumahan, namun pada akhirnya justru menyebabkan penggusuran paksa terus terjadi.

 

3.Dampak negatif perumahan berbasis kepemilikan.

 

Program pembiayaan bersubsidi yang ada diluncurkan untuk mensubsidi kepemilikan rumah sebagai bagian dari upaya “mengatasi simpanan kepemilikan.” Rumah didasarkan pada sumber daya yang terbatas (yaitu tanah), dan harga properti residensial jarang mengalami penurunan. Di sini, mekanisme pasar hukum penawaran dan permintaan tidak berlaku. Ketika harga begitu tinggi sehingga masyarakat tidak dapat menyerapnya lagi, harga rumah tetap ada. Tinggi. Model kepemilikan inilah yang mendorong permintaan spekulatif. Oleh karena itu, rumah tidak perlu dijadikan sebagai produk komoditas. Dana yang berasal dari masyarakat tidak boleh digunakan untuk kepemilikan perseorangan.

Dalam konteks Indonesia, terdapat lima isu mendasar dalam “dialog perkotaan” yang melibatkan pemangku kepentingan sektor perumahan dan permukiman di Indonesia, yaitu:

 

1. Perspektif berbeda

Pemangku kepentingan seperti pengembang, pemerintah, komunitas lokal, dan organisasi masyarakat sipil mungkin memiliki kepentingan yang berbeda dan/atau bertentangan.

2.Sumber Daya yang terbatas

Terkadang, keterbatasan sumber daya dapat menjadi tantangan dalam menemukan solusi yang dapat memuaskan semua pihak.

3.Akses yang tidak setara

Tidak semua penduduk kota memiliki akses yang sama terhadap perumahan dan infrastruktur. Kelompok rentan seperti masyarakat miskin, penyandang disabilitas, dan etnis minoritas seringkali menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam mengakses perumahan yang layak.

4.Koordinasi dan implementasi

Koordinasi yang memadai antara pemangku kepentingan dan pemerintah mengenai solusi yang disepakati sangat penting untuk mencapai hasil yang diinginkan, namun hubungan fungsional mungkin tidak selalu ada.

5.Dampak Lingkungan

Setiap dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem sekitar akibat pembangunan perumahan dan infrastruktur baru harus dipertimbangkan secara serius, dan solusi berkelanjutan harus diupayakan.

Tujuan “dialog perkotaan” dalam rangka penyediaan perumahan dan penguasaan lahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di perkotaan dan permukiman informal adalah:

 

1.Memahami Kebutuhan dan Aspirasi:

Para pemangku kepentingan memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di perkotaan dan permukiman informal yang membantu dalam merancang program dan kebijakan dengan solusi terfokus untuk memenuhi kebutuhan mereka.

 

2. Mencari solusi bersama

Para pemangku kepentingan memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di perkotaan dan permukiman informal yang membantu dalam merancang program dan kebijakan dengan solusi terfokus untuk memenuhi kebutuhan mereka.

 

3.Meningkatkan Kepemilikan Lahan:

Permasalahan terkait kepemilikan tanah dan hak-hak masyarakat di permukiman informal diidentifikasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk menjamin kepemilikan lahan yang aman dan terjamin

 

4. Adaptasi perubahan iklim:

Inisiatif-inisiatif yang dihasilkan akan meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam dan mendorong infrastruktur berkelanjutan dengan melakukan perlindungan terhadap bencana dan mendorong praktik- praktik ramah lingkungan dengan mengidentifikasi daerah-daerah yang rentan, membangun bangunan tahan bencana, memperbaiki sistem drainase, dan membangun tempat penampungan darurat.

 

5. Layanan dasar

Akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan infrastruktur sanitasi yang layak dipastikan untuk mendorong inklusi sosial dan ekonomi. Pelayanan sosial lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan, juga memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan mengurangi kesenjangan.

 

6. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat secara aktif melibatkan penduduk lokal dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan proyek perumahan dan permukiman sehingga selaras dengan kebutuhan lokal. Keterlibatan kelompok rentan mendorong inklusi sosial.

 

7. Mengadvokasi kebijakan inklusif

Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses penetapan kebijakan dan peraturan serta melakukan advokasi untuk kebijakan yang lebih inklusif dan berorientasi pada masyarakat.

 

8. Meningkatkan kualitas hidup

Kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan dan permukiman informal ditingkatkan dengan menyediakan perumahan yang layak dengan fasilitas dasar di lingkungan yang lebih stabil dan berkelanjutan serta kepemilikan lahan yang terjamin.

Dialog Perkotaan Indonesia dapat secara efektif mendorong permintaan dari akar kebijakan dan implementasi Perumahan Gotong Royong. Keluaran umum ini dapat menjadi implementasi nyata dari solusi holistik dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan dan permukiman informal serta berkontribusi dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih inklusif dan berketahanan.

1.Pengembangan Kebijakan dan Program:

Deklarasi dialog dapat digunakan sebagai dasar untuk merancang kebijakan dan program yang lebih efektif untuk menyediakan perumahan dan meningkatkan kepemilikan lahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui skema Perumahan Gotong Royong . Rekomendasi kebijakan dan ringkasan kebijakan berbasis data dapat menjadi landasan bagi pembuat kebijakan untuk secara efektif mengatasi tantangan permukiman perkotaan dan informal, terutama di sektor perumahan.

2.Rencana Aksi Kolaboratif (CAP):

Hasil dialog yang mungkin berupa beberapa kesepakatan atau ringkasan kebijakan dengan beberapa proposal program akan dirinci dan akan mengintegrasikan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, LSM, sektor swasta, dan masyarakat, untuk berpartisipasi dalam menerapkan solusi berkelanjutan.

3.Kampanye dan Advokasi:

Kampanye dan advokasi bersama akan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan menggalang dukungan dari masyarakat dan pemangku kepentingan terkait, termasuk memobilisasi sumber daya yang diperlukan. masyarakat, untuk berpartisipasi dalam menerapkan solusi berkelanjutan.

4.Platform Pengetahuan :

Sebuah platform berbagi pembelajaran akan dikembangkan dan dapat diakses oleh berbagai pemangku kepentingan untuk berbagi pengalaman, praktik terbaik, dan solusi inovatif dalam mengatasi tantangan perumahan dan permukiman.

Dialog Perkotaan Indonesia” melibatkan pihak-pihak terkait untuk membahas penyediaan perumahan dan kepemilikan lahan yang memadai bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di wilayah perkotaan dan permukiman informal. Total peserta yang hadir pada acara Dialog Perkotaan ini sebanyak 89 orang. Mereka termasuk:

  • Pemerintah
  • Organisasi Non-Pemerintah
  • Komunitas Lokal
  • Sektor Swasta
  • Akademi dan Pakar
  • Media
  • Organisasi dan Donor International
  • Lembaga Keuangan

Melibatkan para pemangku kepentingan dalam dialog perkotaan memungkinkan terciptanya perspektif yang lebih komprehensif dan beragam, memungkinkan konsensus yang lebih luas dalam menemukan solusi terhadap permasalahan perumahan dan kepemilikan lahan di wilayah perkotaan dan permukiman informal.