logotype
Donate
HU – HFHI – Nimah
Kisah Perubahan

Semangat Perempuan Tangguh di Balik Revitalisasi Kampung Tanjung Kait

Yuk, berkenalan dengan Ibu Nimah, salah satu perempuan warga Kampung Tanjung Kait yang ikut terlibat langsung dalam membangun rumah layak huni.  

Tangerang, 13 Oktober 2025 – Ada semangat yang tak pernah padam dari sosok sederhana bernama Ibu Nimah. Setiap pagi, perempuan berusia 55 tahun ini selalu memulai hari dengan sebuah pertanyaan kecil dalam hati, “Apa yang bisa saya bantu hari ini? Apa yang bisa saya lakukan hari ini?” Kalimat sederhana itu menjadi pemantik energi yang membuatnya tetap kuat, meski hidup tidak selalu mudah baginya. 

Ibu Nimah adalah salah satu warga Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang, yang rumahnya ikut dibangun kembali dalam Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait. Program ini menghadirkan 110 rumah layak huni baru untuk warga, sekaligus infrastruktur penunjang yang lebih memadai. Bagi Nimah, program ini bukan sekadar proyek fisik, melainkan kesempatan untuk ikut meninggalkan jejak dalam membangun kampungnya. 

Awal Mula Perjalanan 

Awalnya, keterlibatan Ibu Nimah di proyek pembangunan ini sederhana saja. Ia hanya menyediakan minuman dan makanan ringan untuk para pekerja yang sibuk membangun rumah-rumah di kampungnya. Namun, semakin hari, ia merasa bahwa dirinya ingin melakukan sesuatu yang lebih besar. Ia menyadari, meski tak punya cukup uang untuk memperbaiki rumahnya sendiri, setidaknya ia masih memiliki tenaga. “Saya enggak punya uang, enggak punya apa-apa. Tapi saya punya tenaga, dan itu yang bisa saya berikan,” ungkapnya. 

Sejak saat itu, Nimah tak lagi sekadar berdiri di pinggir, melainkan turun langsung ke lapangan, ikut bergotong royong bersama warga lainnya, termasuk para perempuan, membantu para pekerja konstruksi. 

Keterlibatan Nimah ini tentu tidak lepas dari kondisi rumah lamanya. Selama puluhan tahun, ia tinggal di rumah yang semakin hari semakin rapuh. Dindingnya retak, lantai tak lagi rata, dan atap bocor setiap kali hujan turun. Yang paling parah, setiap kali pasang air laut datang, rumahnya kerap terendam banjir. Air asin menggenang hingga ke dalam rumah, merusak perabotan, membuat dinding lembab, dan memicu kerusakan lebih parah. 

Sebagai seorang janda yang menggantungkan hidup dari penghasilan anak-anaknya dan sesekali bekerja serabutan seperti mengupas kerang, Nimah tidak memiliki cukup biaya untuk memperbaiki rumah. Rasa cemas selalu menghantui, terutama saat hujan deras disertai pasang laut. Ia tak pernah tahu kapan rumahnya bisa benar-benar roboh. 

Namun, kondisi pilu itu perlahan terjawab ketika Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait hadir. Program ini digagas oleh Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA), serta didukung oleh para donatur. Bagi Nimah, program ini adalah anugerah yang menjawab doa-doanya selama ini. 

Potret Nimah yang tampak sibuk mengamplas dinding rumahnya di Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Penguatan Kapasitas Warga Jadi Kunci Strategi Keberlanjutan Revitasisasi Kampung Tanjung Kait

Saat proses pembangunan dimulai, Nimah semakin tergerak untuk turut serta. Ia sadar, rumahnya sendiri termasuk yang akan dibangun. Karena itu, ia merasa perlu memberikan jejak kontribusi. Nimah selalu berusaha ikut berkontribusi dengan cara yang ia mampu. Mulai dari pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membantu mengangkut material ringan, merapikan area kerja, hingga ikut memberi sentuhan sederhana di dinding. Meski terlihat sepele, baginya setiap usaha adalah bentuk nyata keterlibatan dalam membangun rumah impian. 

“Awalnya tukang-tukang itu kasihan lihat saya. Tapi setelah mereka lihat semangat saya, malah mereka jadi semangat juga. Saya enggak malu, enggak canggung, karena saya yakin tenaga saya ini bisa berguna,” tuturnya dengan wajah berbinar. 

Keterlibatan Nimah memberi warna tersendiri di tengah hiruk pikuk pembangunan. Para pekerja dan warga lain melihat keteguhan seorang perempuan yang tidak menyerah pada keadaan. Gotong royong yang ia jalani bersama warga lain semakin memperkuat ikatan sosial di Tanjung Kait. 

Bagi Nimah, setiap tetes keringat adalah doa. Ia percaya bahwa usahanya ini akan meninggalkan kenangan indah, bukan hanya karena ia membantu membangun rumahnya sendiri, tetapi juga karena ia ikut membangun masa depan kampungnya. 

Kini, rumah baru Nimah memang belum selesai sepenuhnya. Ia masih sibuk membantu proses akhir, mulai dari mengamplas hingga mengecat dinding. Meski begitu, ada harapan besar yang ia titipkan pada rumah itu. “Saya berharap rumah baru ini bisa memberi kebahagiaan lahir dan batin. Bisa jadi tempat aman untuk saya dan anak-anak, tempat untuk kami berkumpul tanpa takut banjir atau atap bocor lagi,” ujarnya penuh harap. 

Harapan Nimah sederhana, tetapi sarat makna. Ia ingin rumah barunya kelak menjadi sumber ketenangan, tempat yang membuatnya merasa tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang bencana, dan menjadi simbol semangat baru dalam hidupnya. 

Keterlibatan Nimah ini merupakan bentuk kontribusi nyata warga dalam proses pembangunan rumah layak huni di kampungnya, sekaligus semangat nyata bagaimana peran perempuan bisa memberi dampak positif (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Sejarah Baru Dimulai: Revitalisasi Kampung Tanjung Kait Demi 110 Keluarga Dapatkan Kepemilikan Tanah dan Rumah Layak Huni

Perempuan dan Ruang Partisipasi 

Lebih dari sekadar membangun rumah, kisah Nimah juga menyingkap isu penting yakni, keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan komunitas. Selama ini, pekerjaan konstruksi sering dianggap hanya urusan laki-laki. Namun, kehadiran Nimah membuktikan bahwa perempuan juga mampu mengambil peran aktif, meski dengan segala keterbatasan. 

Semangat Nimah adalah gambaran nyata bagaimana pemberdayaan perempuan bisa memberi dampak positif. Kehadirannya di lokasi pembangunan menjadi bukti bahwa perempuan tidak hanya menunggu hasil, melainkan juga bisa menjadi bagian dari proses. Di Tanjung Kait, suara dan tenaga perempuan ikut membangun pondasi bukan hanya rumah, tetapi juga kebersamaan dan kemandirian masyarakat. 

Dari kisah ini juga mengajarkan bahwa kontribusi tidak selalu diukur dari besarnya harta atau banyaknya materi yang diberikan. Dalam keterbatasannya, Nimah tetap mampu memberi sumbangsih besar melalui tenaga, semangat, dan ketekunan. Kisah ini sekaligus menjadi cerminan bahwa revitalisasi kampung bukan hanya tentang membangun rumah, melainkan juga tentang membangun manusia mulai dari kesadaran, kemandirian, dan partisipasi, termasuk dari kaum perempuan. 

Akhir kata, Ibu Nimah berdiri sebagai simbol sederhana yang menyimpan arti besar bahwa setiap orang, siapa pun dia, mampu menjadi bagian dari perubahan. 

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI – Revitalisasi Tj. Kait
Kabar Habitat

Penguatan Kapasitas Warga Jadi Kunci Strategi Keberlanjutan Revitasisasi Kampung Tanjung Kait

Tangerang, 9 Oktober 2025 – Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait kini telah memasuki fase akhir. Sebanyak 110 rumah layak huni baru yang dibangun untuk warga saat ini tengah melalui proses pengecatan dan perapihan sebagai bagian dari tahap penyelesaian akhir (finishing). Selain itu, pembangunan infrastruktur penunjang seperti posyandu, balai warga, tempat pengepul ikan, jaringan listrik, drainase, serta sarana air bersih juga tengah berjalan secara paralel. 

Sebagai bagian dari upaya memastikan keberlanjutan program, Habitat for Humanity Indonesia memfasilitasi kegiatan sosialisasi dan penguatan kapasitas warga yang berlangsung sejak 22 September 2025 dan diselenggarakan selama empat pekan di Kelenteng Co Su Kong, Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang. 

Kegiatan ini dibentuk sebagai langkah pengelolaan berbasis komunitas (community-managed system) untuk memastikan pemeliharaan hasil pembangunan dapat berjalan berkelanjutan, inklusif, transparan, serta mendorong kemandirian warga. Melalui forum ini, lebih dari 30 warga yang mewakili komunitas Tanjung Kait berdiskusi mengenai berbagai persoalan lingkungan, seperti manajemen sampah rumah tangga, pengelolaan sistem drainase, hingga pemanfaatan fasilitas umum. 

Baca juga: Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas

“Revitalisasi kampung tidak berhenti pada pembangunan rumah dan fasilitas, tapi juga membangun kesadaran serta kemandirian masyarakat. Dengan begitu, keberlangsungan kampung akan terjaga,” jelas Wijang Wijanarko, fasilitator sekaligus konsultan perumahan dan permukiman, dalam sesi diskusi. 

Tujuan kegiatan ini antara lain menetapkan kerangka kerja, peran, dan mekanisme koordinasi warga dalam mengelola kampung, memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam pemeliharaan infrastruktur, serta membentuk kelembagaan pengelola berbasis komunitas yaitu Komite Pengelola Komunitas. 

Agenda kegiatan berlangsung secara bertahap. Pada minggu pertama, warga bersama tokoh masyarakat dan perangkat desa melakukan sosialisasi program sekaligus membentuk Tim Pengelola Lingkungan. Minggu berikutnya, warga mengikuti pelatihan singkat mengenai pengelolaan lingkungan dan administrasi kelembagaan serta menyusun aturan bersama. Tahap selanjutnya difokuskan pada penyusunan rencana kerja lanjutan mencakup pemeliharaan infrastruktur, pengelolaan fasilitas umum, hingga perumusan mekanisme keuangan komunitas. Seluruh rangkaian akan ditutup dengan rapat pleno dan serah terima simbolis hasil program pada pertengahan Oktober mendatang. 

Melalui pendekatan ini, warga tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama dalam menjaga dan mengembangkan kampungnya. Dengan selesainya tahap akhir revitalisasi dan penguatan kapasitas masyarakat, Kampung Tanjung Kait diharapkan dapat menjadi contoh praktik baik transformasi kawasan pesisir menuju lingkungan yang lebih layak, sehat, dan berdaya. 

Foto: HFHI/Kevin Herbian

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI Prudential – 01
Kisah Perubahan

Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas

Bogor, 30 September 2025 – Ada kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan dari wajah Imas Laelasari (52). Senyum itu lahir dari hadirnya sebuah rumah layak nan sederhana yang membawa rasa aman, ketenangan, sekaligus secercah harapan baru bagi dirinya dan ketiga anaknya. Di Gunung Putri, Kabupaten Bogor, rumah dengan dinding berkelir merah dan abu itu kini berdiri kokoh, menggantikan bangunan lama yang rapuh dan penuh perasaan resah. 

Sejak 2015, Imas menempati rumah yang jauh dari kata layak. Bangunan tanpa struktur kuat itu membuat dinding retak di berbagai sisi. Atap bocor, lantai keramik hancur, dan setiap malam ia harus berdoa agar rumah tidak runtuh menimpa keluarga kecilnya. “Waktu itu malam hari saya sedang menonton TV bersama anak pertama saya, tiba-tiba atap genteng jatuh roboh. Panik sekali saya. Saya khawatir sewaktu-waktu bisa menimpa saya dan anak-anak,” kenang Imas. 

Doa agar rumahnya bisa kembali layak selalu ia panjatkan. Ia masih teringat pesan mendiang suaminya sebelum berpulang delapan tahun lalu, “Rumah ini jangan sampai dijual, ya Mah, supaya bisa ditempati anak-anak kita nanti.” Pesan itu tertanam kuat, sehingga meski kondisi rumah memburuk, ia tetap bertahan. Namun, memperbaiki rumah bukan hal mudah. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, Imas hanya bisa mengandalkan penghasilan anak-anaknya yang sering kali tidak menentu. 

“Kalau rumah ini roboh, saya benar-benar bingung harus tinggal di mana. Makanya saya cuma bisa berdoa semoga ada jalan keluar,” ucap Imas lirih. 

Imas menunjukkan kondisi rumahnya yang tidak layak huni sebelum dibangun kembali oleh Habitat for Humanity Indonesia dan Prudential Indonesia di Gunung Putri, Bogor (18/1). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Rumah Layak Ubah Masa Depan Keluarga Iqballudin

Jawaban itu akhirnya datang. Habitat for Humanity Indonesia bersama Prudential Indonesia melalui Program Desa Maju Prudential hadir membangun kembali rumah milik Imas. Dindingnya kini berdiri kokoh, atapnya kuat, lantainya rapi, dan ruangan dalamnya jauh lebih nyaman. Toilet yang dulu membuatnya takut karena pernah dimasuki ular, kini sudah bersih dan aman digunakan. 

“Alhamdulillah, Ibu senang sekali dan banyak-banyak terima kasih kepada semuanya yang telah membantu keluarga Ibu. Sekarang keadaan jauh lebih berubah. Ibu udah enggak pernah takut atau khawatir lagi rumah bakalan roboh,” tutur Imas dengan lega. 

Lebih dari sekadar bangunan rumah, yang hadir bagi Imas adalah rasa aman. Ia tidak lagi cemas dinding retak akan runtuh, tidak lagi khawatir pencuri mudah masuk, dan tidak lagi waswas ketika hujan deras turun.  

Rumah ini juga turut memunculkan semangat baru. Tak berselang lama setelah berdiri, Imas mencoba mencari modal untuk berjualan makanan ringan di depan rumah. Ia ingin memanfaatkan ruang baru itu sebagai titik awal usaha kecil, agar bisa sedikit demi sedikit mandiri. 

“Rumah itu hartanya Ibu. Andai saja Bapak masih ada, pasti beliau juga senang lihat rumah ini,” ucapnya sambil menahan haru. 

Imas menata dagangan di warung kecil depan rumahnya yang telah layak huni, hasil pembangunan Habitat for Humanity Indonesia bersama Prudential Indonesia di Gunung Putri, Bogor (28/8). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Perubahan yang dirasakan Imas sejalan dengan tujuan besar Program Desa Maju Prudential tahap ketiga yang berjalan sejak November 2024. Program ini tidak hanya membangun rumah seperti milik Imas, tetapi juga memberi dampak luas bagi komunitas. Ada 27 unit rumah layak huni baru yang dibangun, 21 unit toilet rumah tangga baru, serta renovasi 4 fasilitas pendidikan dan umum. Selain itu, program ini menyediakan mesin untuk mengubah sampah menjadi biji plastik, mengadakan pelatihan pengolahan sampah bagi 210 peserta, melatih 75 pengurus pengolahan sampah, hingga memberikan edukasi tentang konstruksi dasar rumah sehat, perilaku hidup bersih dan sehat, serta mitigasi bencana bagi masyarakat. 

Bagi sebagian orang, rumah mungkin hanya dinilai sebagai tempat berteduh. Namun bagi Imas, rumah baru ini adalah simbol kehidupan baru. Dari rumah ini, ia kembali menemukan semangat, harapan, dan keberanian untuk melangkah maju bersama anak-anaknya. 

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI – CEO Build
Kisah Perubahan

Rumah Layak Ubah Masa Depan Keluarga Iqballudin

Sore itu, tepat pukul empat, cahaya matahari menyusup lembut ke sela-sela dedaunan dan jatuh di dinding rumah baru berwarna biru milik Iqballudin. Dinding itu tampak kokoh, berdiri tegas, seakan menjadi saksi perubahan besar dalam hidup keluarga kecil di Babakan Madang, Kabupaten Bogor ini. Tim Habitat for Humanity Indonesia kembali menyambangi kediaman Iqballudin yang kini sudah layak huni. Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat bagaimana keluarga ini merawat rumah barunya. Bahkan, hanya berselang sehari setelah rumah rampung dibangun, Iqballudin langsung bergerak menambahkan dapur sederhana secara mandiri, bukti nyata semangatnya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi istri dan anak-anak.

Sebelum rumah baru ini hadir, kehidupan keluarga Iqballudin penuh keterbatasan. Ia, seorang buruh serabutan berusia 41 tahun, hanya mengandalkan upah harian sebesar Rp 50.000 untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bersama istrinya, Siti Romyanah (36), seorang ibu rumah tangga, mereka membesarkan tiga anak yang masih duduk di bangku sekolah. Namun, kondisi rumah lama membuat segalanya terasa semakin berat.

Rumah mereka sebelumnya dibangun tanpa fondasi, hanya berupa bangunan sederhana dari panel GRC dan anyaman bambu. Tanpa dapur dan tanpa toilet, keluarga ini harus bergantung pada rumah orang tua untuk memasak dan mandi. Tak sampai di situ, rayap mulai merambat ke dinding dan tiang, membuat struktur rumah semakin rapuh.

Dengan mata berkaca-kaca, Siti mengenang rasa takut yang selalu menghantuinya. “Rayapnya sudah sampai atas, rumah rasanya mau roboh. Saya khawatir sekali sama anak-anak. Kalau ada kebocoran, saya takut anak-anak sakit-sakitan, terutama si kecil,” ucapnya dengan suara bergetar.

Kenangan itu menjadi bagian dari perjalanan panjang mereka, hidup dalam rumah yang tidak pernah memberi rasa aman. Tidur malam hari sering kali dibayangi kekhawatiran, terutama ketika hujan turun deras.

Namun, semua itu berubah lewat acara CEO Build 2025. Berkat dukungan dari Bapak Edwin Soeryadjaya yang berkolaborasi dengan Habitat for Humanity Indonesia, rumah baru untuk keluarga Iqballudin akhirnya berdiri. Rumah itu kokoh, aman, dan jauh berbeda dari kondisi sebelumnya yang rapuh.

Iqballudin pun tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat menyampaikan syukur. “Alhamdulillah, saya merasa sangat bahagia dan bersyukur. Rumah saya sekarang sangat kokoh, tidak seperti sebelumnya yang rapuh dan mau roboh,” ungkapnya penuh rasa lega.

Siti pun menambahkan dengan senyum yang kini lebih tenang, “Banyak sekali perubahannya. Setidaknya setiap malam bisa tidur nyenyak, tanpa lagi khawatir. Anak-anak bahagia, kita semua bahagia.”

Potret keluarga Iqballudin di depan rumah mereka yang kini layak huni berkat dukungan Edwin Soeryadjaya dan Habitat for Humanity Indonesia di Babakan Madang, Bogor (10/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Membangun Indonesia: Kolaborasi POSCO dan Habitat for Humanity Wujudkan Rumah Layak di Cilegon

Perubahan ini bukan hanya soal berdirinya bangunan baru. Dampaknya terasa mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak mereka kini lebih sehat karena tidak lagi terpapar kebocoran, lembab, dan kotoran rayap. Mereka pun tidak perlu lagi bolak-balik ke rumah kakek dan nenek hanya untuk mandi atau sekadar menggunakan toilet. Privasi mereka kini juga lebih terjaga, kebersihan lebih terjamin, dan kesehatan anak-anak pun meningkat.

Dampak besar juga terasa di pendidikan anak Iqballudin. Rumah yang aman dan nyaman membuat anak-anak bisa belajar dengan tenang tanpa harus memikirkan risiko atap bocor. Lingkungan rumah yang lebih sehat memberi mereka kesempatan untuk fokus pada sekolah. Iqballudin percaya bahwa rumah ini akan menjadi pondasi bagi masa depan anak-anaknya. “Setidaknya sekarang anak-anak bisa belajar dengan tenang. Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya, biar masa depan mereka lebih baik dari saya,” ujarnya penuh harap.

Lebih jauh lagi, rumah baru ini menumbuhkan rasa percaya diri bagi keluarga. Tidak ada lagi rasa malu jika ada tetangga atau kerabat berkunjung. Mereka kini memiliki ruang yang layak untuk menyambut tamu, tempat yang benar-benar bisa disebut rumah.

Dengan penuh rasa syukur, Iqballudin kembali menyampaikan terima kasih. “Saya benar-benar berterima kasih kepada Pak Edwin dan Habitat atas rumah baru ini. Dukungan ini sangat berarti bagi saya dan keluarga. Semoga Allah membalas kebaikan ini dengan berlipat ganda,” ucapnya tulus.

Dari sebuah rumah sederhana yang kini berdiri kokoh, harapan baru tumbuh bagi keluarga kecil ini. Sebuah rumah tidak hanya melindungi dari hujan dan panas, tapi juga menjadi tempat di mana mimpi, kesehatan, dan masa depan anak-anak dapat tumbuh dengan kuat. Dan di balik setiap dinding yang berdiri, tersimpan cerita bahwa perubahan selalu mungkin ketika kepedulian diwujudkan dalam tindakan nyata.

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI – Kakakobank
Kisah Perubahan

Ketika Sekolah Layak Menjadi Rumah Kedua

Siswa-siswi RA Dwi Tunas Bangsa menyambut dengan antusias ruang kelas baru hasil renovasi dari Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Semangat pagi menyelimuti wajah anak-anak usia dini ketika mereka melangkah masuk ke halaman sekolah. Tawa kecil mereka terdengar riang, berlarian sambil membawa tas mungil. Di lorong depan kelas, nyanyian mereka bersahut-sahutan, menciptakan harmoni sederhana yang membuat suasana semakin hidup. Hari itu bukan sekadar hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, melainkan awal baru yang penuh warna bagi RA Dwi Tunas Bangsa, sebuah sekolah di Kabupaten Tangerang yang kini tampak seperti terlahir kembali.

Bangunan sekolah yang dulu rapuh kini berdiri kokoh. Struktur bangunan diperkuat, atap yang sebelumnya bocor kini diganti dengan yang baru, dan setiap sudut ruangan direnovasi agar lebih aman. Dinding berwarna kuning cerah membuat sekolah tampak hangat dan ramah. Dua ruang kelas kini terasa lapang dan nyaman, ruang guru berubah menjadi tempat diskusi yang layak, dan yang paling utama sebuah toilet baru yang higienis dan aman untuk digunakan anak-anak. Semua ini menjadikan RA Dwi Tunas Bangsa seperti rumah kedua yang layak untuk ditempati oleh generasi kecil yang penuh mimpi.

Namun, apa yang tampak hari ini jauh berbeda dengan kondisi sekolah sebelumnya. Selama belasan tahun berdiri, bangunan sekolah itu perlahan kehilangan fungsinya. Cat dinding memudar, sebagian tembok retak, atap bocor saat hujan, dan ruang kelas terasa pengap tanpa ventilasi memadai. Toilet sekolah sudah lama tidak berfungsi, membuat anak-anak terpaksa menumpang di rumah tetangga sekitar setiap kali ingin buang air. Situasi itu bukan hanya membuat mereka tidak nyaman, tetapi juga membahayakan kesehatan dan menurunkan rasa percaya diri.

Akibat kondisi sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah murid pun menurun drastis. Hanya sekitar 15 siswa yang masih bertahan bersekolah di sana. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anak mereka di RA Dwi Tunas Bangsa, bukan karena kualitas pengajaran, melainkan karena kondisi bangunan yang dianggap tidak layak. Bagi Agustini, kepala sekolah, ini menjadi beban berat. Ia ingin anak-anak di lingkungannya mendapatkan pendidikan dini yang layak, tapi keterbatasan fasilitas membuat perjuangan itu terasa berat.

Suasana ruang kelas RA Dwi Tunas Bangsa setelah direnovasi oleh Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Masa Depan Cerah Anak Lewat Rumah & Teknologi di Rajeg-Tangerang

Kabar baik akhirnya datang ketika Habitat for Humanity melihat kondisi ini dan memutuskan untuk turun tangan. Kolaborasi ini tidak sekadar memperbaiki bangunan, tetapi juga membangkitkan harapan. Renovasi dilakukan secara menyeluruh. Struktur bangunan diperkuat, atap diperbaiki, ruang kelas diperbarui, ruang guru ditata ulang, hingga pembangunan toilet baru yang layak dan higienis.

“Adanya bantuan pembangunan fasilitas sekolah ini benar-benar membantu kami. Sekarang kami bisa menerima lebih banyak siswa. Dari yang tadinya hanya 15, sekarang jumlah murid bertambah dua kali lipat. Sekarang sudah lebih dari 30 anak belajar di sini,” ujar Agustini dengan senyum lega.

Bagi Agustini, bukan hanya jumlah murid yang bertambah. Lebih dari itu, suasana belajar menjadi jauh lebih menyenangkan. “Yang paling penting adalah ruang kelas baru yang aman, atap yang tidak bocor, dan sarana toilet yang layak. Anak-anak jadi betah, guru juga lebih semangat. Lingkungan belajar yang nyaman memang membawa perbedaan besar,” tambahnya.

Perubahan ini terasa nyata bagi murid dan guru. Anak-anak kini bisa belajar dengan tenang tanpa harus kepanasan. Guru pun bisa fokus mengajar tanpa khawatir akan keterbatasan fasilitas. Sekolah bukan lagi tempat seadanya, melainkan ruang yang benar-benar layak untuk menumbuhkan mimpi.

Pendidikan adalah fondasi masa depan. Bangunan sekolah yang layak bukan hanya tembok dan atap, melainkan tempat yang menanamkan nilai, karakter, dan harapan. Setiap warna cerah di dinding RA Dwi Tunas Bangsa menjadi simbol semangat baru. Setiap tawa anak-anak adalah bukti bahwa akses pendidikan yang memadai benar-benar membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.

“Sekolah ini semoga menjadi penopang bagi anak-anak dalam meraih masa depan mereka. Kami ingin mereka tumbuh dengan percaya diri, sehat, dan berani bermimpi,” tutup Agustini dengan harapan besar.

Potret siswa-siswi RA Dwi Tunas Bangsa di depan ruang kelas baru hasil renovasi Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Dari lorong sederhana di Kabupaten Tangerang ini, kita belajar bahwa masa depan anak-anak tidak boleh dibatasi oleh kondisi bangunan yang rapuh. Dengan kolaborasi dan kepedulian, sekolah yang kokoh dan nyaman bisa menjadi pijakan awal bagi generasi penerus bangsa untuk melangkah lebih jauh.

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI – Kakaobank
Kabar Habitat

Masa Depan Cerah Anak Lewat Rumah & Teknologi di Rajeg-Tangerang

Tangerang, 3 September 2025 – Kakaobank kembali bekerja sama dengan Habitat for Humanity Indonesia dalam program bertajuk “Kakaobank Connect Village 2025: Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Kualitas Pendidikan, dan Akses Teknologi.” Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan akses terhadap teknologi di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, sekaligus mendukung pembangunan rumah layak huni bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Sekitar 50 relawan dari Kakaobank Korea dan Superbank Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam program selama tiga hari, yang dilaksanakan dari tanggal 1 hingga 3 September 2025. Program ini berhasil membangun 17 unit rumah layak huni dan mendirikan fasilitas pendidikan berupa Laboratorium TIK di SMP Bhakti Pertiwi. Laboratorium ini dilengkapi dengan 21 unit komputer baru untuk mendukung kegiatan e-learning dan pengembangan keterampilan digital siswa.

Kecamatan Rajeg menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan. Dari lima desa yang ditetapkan sebagai zona kemiskinan ekstrem, tiga di antaranya diprioritaskan untuk program pengentasan kemiskinan. Banyak siswa dari keluarga berpenghasilan rendah tinggal di rumah yang tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka, memengaruhi kondisi fisik dan kemampuan mereka untuk fokus pada pendidikan. Program ini mengatasi tantangan nyata yang dihadapi oleh anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau akses terbatas pada pendidikan digital.

Baca juga: Kakaobank Bersama Habitat for Humanity Indonesia: Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Mauk

Hayden Shin, Corporate Support Group/Head of Group Executive Vice President Kakaobank Korea menyatakan, “Kami bangga dapat berkontribusi dalam meningkatkan akses pendidikan dan teknologi bagi anak-anak di Rajeg. Melalui kolaborasi ini, kami berharap dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik dan mendukung pertumbuhan anak-anak dari keluarga kurang mampu.”

Handoko Ngadiman, Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, menambahkan, “Kolaborasi ini menunjukkan pentingnya sinergi antara sektor swasta dan organisasi kemanusiaan. Selain menyediakan rumah yang layak huni, laboratorium TIK akan meningkatkan kualitas pendidikan di SMP Bhakti Pertiwi, memberikan siswa akses yang memadai terhadap teknologi dan mendukung pembelajaran modern.”

Program Kakaobank Connect Village 2025 merupakan wujud nyata komitmen Kakaobank dalam mendukung pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, sekaligus memperkuat upaya Habitat for Humanity Indonesia untuk menyediakan rumah layak huni dan fasilitas pendidikan yang memadai bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Rajeg.

Saksikan video berikut untuk melihat bagaimana relawan kakaobank Korea turut membangun hunian layak dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Penulis: Syefira Salsabilla

Foto: HFHI/Kevin Herbian

Video: HFHI/Budi Ariyanto

(av-kh)

HU – HFHI Posco – (1)
Kabar Habitat

Membangun Indonesia: Kolaborasi POSCO dan Habitat for Humanity Wujudkan Rumah Layak di Cilegon

Cilegon, 14 Agustus 2025 – Habitat for Humanity Indonesia bersama POSCO dan KRAKATAU POSCO kembali berkolaborasi dalam program “2025 POSCO 1% Foundation Echo Village” yang berlangsung pada 10-14 Agustus 2025 di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil, Kota Cilegon. Sebanyak 44 peserta yang terdiri dari 24 relawan POSCO Korea dan 20 staf PT Krakatau POSCO berpartisipasi aktif dalam rangkaian kegiatan. Program ini merupakan bagian dari kolaborasi berkelanjutan yang telah terjalin selama lebih dari satu dekade antara POSCO dan Habitat untuk membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah.

Tahun ini, kegiatan difokuskan pada pembangunan enam rumah layak huni ramah lingkungan bagi keluarga berpenghasilan rendah di Kubangsari, Tegal Ratu, dan Samangraya. Rumah-rumah tersebut menggunakan dinding eco-brick dari limbah plastik, dilengkapi sistem penampungan air hujan (rainwater harvesting), serta septic tank dan soak pit untuk memastikan sanitasi yang aman. Desain rumah memenuhi indikator rumah layak menurut Kementerian PUPR dan rumah sehat menurut Kementerian Kesehatan, dengan struktur yang aman, ventilasi memadai, pencahayaan alami, serta ruang yang cukup untuk privasi keluarga.

Tak hanya fokus pada pembangunan rumah dan pelatihan, kegiatan ini juga mencakup renovasi fasilitas pendidikan, pelatihan manajemen rumah sehat dan Building Back Safer (BBS) untuk 50 peserta. Program ini juga memperkuat ketangguhan bencana masyarakat di Kelurahan Samangraya dengan melatih 50 anggota Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) dan memfasilitasi pengajuan status Kelurahan Tangguh Bencana (KALTANA) ke BNPB. Upaya ini diharapkan dapat memberikan akses pada dukungan, sumber daya, dan pendanaan resmi dalam penanggulangan bencana, sekaligus membangun kesadaran dan kapasitas masyarakat untuk menghadapi risiko di masa depan.

Puncak kegiatan berlangsung pada 14 Agustus 2025 dengan seremoni penyerahan kunci rumah dan pigura sebagai simbolis penyerahan rumah kepada keluarga penerima manfaat, kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan budaya pencak silat oleh masyarakat setempat dan seni tari yang dibawakan langsung oleh relawan dari Korea.

Baca juga: Melampaui Batas: Kolaborasi POSCO dan Habitat for Humanity Bangun Masa Depan Lebih Baik

Wakil Wali Kota Cilegon, Fajar Hadi Prabowo, menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi ini. “Kami mengucapkan terima kasih kepada POSCO dan Habitat for Humanity atas program pembangunan rumah layak huni untuk warga Cilegon. Program ini sangat bersinergi dengan inisiatif pemerintah. Semoga Cilegon dapat mengikuti jejak POSCO dan Habitat agar bisa membangun lebih banyak rumah layak huni untuk warga Cilegon,” ujarnya.

Sementara itu, Abraham Tulung, General Manager Resource Development Habitat for Humanity Indonesia, menyatakan apresiasinya kepada POSCO, “Kami benar-benar menghargai kerja sama yang sudah terjalin lama dengan POSCO. Lewat kolaborasi ini, ada banyak keluarga yang merasakan perubahan nyata dalam hidup mereka. Kami berharap kerjasama ini terus berlanjut dan makin banyak orang tergerak untuk ikut mewujudkan rumah yang aman dan sehat.”

Program 2025 POSCO 1% Foundation Echo Village menjadi bukti bahwa sinergi lintas negara dapat menghadirkan perubahan nyata. Dengan semangat gotong royong dan kepedulian, kegiatan ini menanamkan optimisme bagi masa depan keluarga penerima manfaat di Cilegon. Sesuai dengan visi Habitat for Humanity bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal yang layak, program ini berupaya mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan.

Saksikan video berikut untuk melihat bagaimana relawan POSCO turut membangun hunian layak dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Penulis: Syefira Salsabilla

Foto: HFHI/Kevin Herbian

Video: HFHI/Budi Ariyanto

(av-kh)

HU – HFHI MPM
Kisah Perubahan

Tak Lagi Malu, Tak Lagi Takut: Cerita Ibu Uri dengan Toilet Barunya

Hari itu, Ibu Uri (54) tak dapat menyembunyikan rasa syukurnya. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menanti, akhirnya ia memiliki sanitasi yang layak seperti kebanyakan keluarga lainnya. Matanya berkaca-kaca saat berdiri di depan bangunan mungil berwarna oranye yang kini berdiri kokoh di dalam rumah. “Ibu enggak pernah nyangka, baru kali ini bantuan untuk keluarga Ibu benar-benar nyata melalui pembangunan WC ini,” ucapnya pelan, seolah masih tak percaya. 

Selama lebih dari tiga dekade, Uri tinggal bersama putri semata wayangnya, Ella (30), dalam kondisi sanitasi yang jauh dari kata layak. Untuk mandi, mereka menggunakan ruang seadanya, hanya beralaskan plester semen. Sementara untuk buang air besar, mereka berbagi jamban sederhana berbahan kayu dan terpal plastik tanpa atap dengan empat keluarga lainnya. “Waktu dulu banyak enggak senangnya, Ujang. Takut kalau harus buang air malam-malam. Anak-anak minta ditemenin terus,” kenangnya. 

Cerita pilu itu juga membekas dalam ingatan Ella yang kini telah berkeluarga dan memiliki dua anak berusia sembilan dan lima tahun. Ia masih mengingat jelas momen saat sedang hamil anak keduanya. “Pernah waktu itu saya kepeleset karena licin. Kaki saya masuk ke dalam jambannya, sampai rubuh kayunya juga. Takut banget saya, nangis seada-adanya,” kisahnya. 

Kondisi toilet keluarga Ibu Uri yang tidak layak sebelum dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Musim hujan jadi momok tambahan. Lubang jamban yang meluap kerap mencemari halaman, menyebarkan bau menyengat dan memicu rasa malu. “Sering bau, apalagi kalau hujan, bisa banjir ke halaman. Kalau ada tamu, malu banget. Pernah tamu bilang, ‘Kok BAB-nya di empang sih?’ Nah, teteh sama Ibu malu banget,” ujar Ella. 

Persoalan sanitasi layak seperti yang dialami keluarga Uri dan Ella bukanlah kasus tunggal. Menurut data BPS 2024, sebanyak 89,38 persen keluarga di Kabupaten Tangerang memiliki akses terhadap toilet layak. Artinya, masih ada sekitar 10,62 persen keluarga yang belum memiliki fasilitas sanitasi memadai. 

Faktor ekonomi menjadi penghalang utama. Uri yang dulu bekerja sebagai buruh sampah, kini tak lagi mampu bekerja karena penyakit pernapasan. Sementara penghasilan keluarga hanya bersumber dari Ella yang bekerja sebagai buruh harian di pabrik produksi toples dengan upah sekitar Rp67.000,- per hari. Pendapatan ini pun habis untuk kebutuhan dasar seperti beras dan uang saku anak. Suami Uri, Acin, telah berpulang sejak Ella berusia delapan tahun. 

“Kalau bikin toilet mah, enggak akan pernah kebangun, Ujang. Boro-boro, buat makan aja susah,” tutur Uri lirih. Lalu ia menambahkan dengan nada penuh harap, “Saya tuh kepingin kaya orang-orang punya toilet yang bagus. Biar enggak malu lagi.” 

Ella, putri Ibu Uri, menunjukkan lokasi tempat ia pernah terjatuh saat menggunakan jamban di belakang rumahnya di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Habitat for Humanity Indonesia Bangun Akses Air Bersih di Gunung Kidul

Namun, kehidupan memang menyimpan kejutan. Kabar baik akhirnya datang ke pintu rumah Uri. Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPM) membangun toilet untuk keluarga Uri dan lima keluarga lainnya yang memiliki kondisi serupa di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang. 

Uri mengingat momen saat material bangunan pertama kali diantar ke rumahnya. “Ibu bersyukur sekali, Ujang. Ibu enggak pernah nyangka, apalagi waktu itu pertama kali barang material beneran datang ke rumah. Ibu kira ini bohongan ternyata beneran,” ucapnya sambil tersenyum lebar, menunjuk dinding toilet barunya yang berwarna oranye cerah. 

Ibu Uri membersihkan lantai toilet setelah Habitat for Humanity Indonesia dan PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk merenovasi fasilitas tersebut menjadi layak di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Toilet itu bukan sekadar bangunan. Ia mengubah pola hidup, memperbaiki kebiasaan, dan menghadirkan rasa aman. “Senangnya bukan main. Banyak perubahan, mulai dari kebiasaan sehari-hari sampai hidup kami yang jauh lebih bersih dan sehat,” ujar Ella penuh semangat. 

Tak ada lagi cerita takut keluar malam untuk buang air, tak ada lagi jamban meluap dan bau menyengat, dan yang paling penting, tak ada lagi rasa malu. “Anak-anak sekarang jauh lebih bersih, Mas. Jadi lebih sering mandi. Alhamdulillah, sekarang juga udah enggak pernah dia mengeluh bau atau gatal-gatal kaya sebelumnya,” ujar Ella dengan wajah berbinar. 

Potret kebahagiaan keluarga Ibu Uri setelah Habitat for Humanity Indonesia dan PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk membangun toilet layak di kediaman mereka di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Di balik dinding toilet sederhana itu, tumbuh harapan baru. Uri kini punya mimpi untuk memperbaiki rumahnya perlahan-lahan. “Pengennya benerin rumah, kan WC-nya udah bagus, sekarang tinggal rumahnya pelan-pelan mau dibagusin lagi,” ucapnya, memandangi rumah kecil yang jadi tempat berlindung keluarganya. 

Bagi sebagian keluarga, toilet mungkin tampak sederhana. Tapi bagi keluarga seperti Uri dan Ella, memiliki sanitasi yang layak adalah mimpi besar yang akhirnya jadi nyata. Toilet itu menjadi simbol harga diri, kenyamanan, dan kesehatan. 

Dari kisah keluarga kecil ini, kita diajak untuk menyadari bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari kebutuhan paling mendasar yakni, akses terhadap sanitasi yang layak. Dukung lebih banyak keluarga seperti Ibu Uri melalui: habitatindonesia.org/donate 

(kh/av)

HU – HFHI EME
Kabar Habitat

Air Bersih, Hidup Sehat: Bersama Menjaga Air untuk Masa Depan Nglipar 

Yogyakarta, 2 Agustus 2025 – Di balik hijaunya perbukitan Nglipar, Gunungkidul, tersimpan kisah nyata tentang perjuangan masyarakat Desa Pengkol menghadapi kekeringan. Setiap tetes air bersih begitu berharga, bukan hanya untuk kebutuhan harian, tapi juga sebagai benteng pertama untuk menjaga kesehatan keluarga dan masa depan anak-anak mereka.

Namun, air bukan hanya sekadar soal ketersediaan. Ini juga tentang kesadaran, pengetahuan, dan aksi nyata. Inilah semangat yang dihadirkan dalam kegiatan yang bertajuk “Air Bersih, Hidup Sehat: Bersama Menjaga Air untuk Masa Depan Nglipar” pada Sabtu, 2 Agustus 2025. Lebih dari 200 warga mulai dari anak-anak, ibu rumah tangga, tokoh masyarakat, hingga pemuda karang taruna, berkumpul di Kantor Kalurahan Desa Pengkol untuk mengikuti serangkaian acara edukatif, interaktif, dan menyenangkan.

Pagi dimulai dengan senam Germas yang membakar semangat sekaligus menjadi pengingat bahwa tubuh sehat dimulai dari gerakan kecil. Anak-anak pun antusias mengikuti lomba mewarnai bertema hygiene, sementara para orang dewasa diajak menjelajahi booth pembelajaran tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti pengelolaan air bersih dan praktik cuci tangan yang benar.

Masing-masing booth dikemas dengan cara yang mudah dipahami, lengkap dengan permainan interaktif dan kuis yang menghibur. Tak hanya menambah ilmu, peserta yang telah menyelesaikan kuis juga mendapatkan hygiene kit sebagai bentuk apresiasi.

Baca juga: Habitat for Humanity Indonesia Bangun Akses Air Bersih di Gunung Kidul

Ibu Tini, salah satu anggota pengelola Perpusdes Balai Pintar Desa Pengkol menyampaikan antusiasnya pada kegiatan ini, “Kegiatan hari ini sangat menyenangkan. Anak-anak semuanya senang bisa ikut lomba mewarnai dan mendengar dongeng, ibu-ibu dan bapak-bapak juga senang bisa ikut kuis di booth PHBS dan dapat hadiah hygiene kit. Semoga Habitat bisa terus mengadakan kegiatan seperti ini yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya Desa Pengkol.”

Kegiatan ini bukan hanya tentang edukasi. Ini adalah ruang bersama untuk membangun kebiasaan baru, menumbuhkan rasa peduli, dan menumbuhkan kesadaran kolektif; air bersih adalah tanggung jawab kita semua, pola hidup bersih dan sehat bisa dimulai dari rumah, perubahan besar selalu diawali dari langkah kecil.

“Kalau di kampung itu kan kami cuci tangan suka gak benar ya, usek-usek tok. Tapi dari kegiatan ini kami diingatkan lagi bagaimana cuci tangan yang benar jadi bisa terhindar dari penyakit-penyakit,” ujar Ibu Masikem, warga Desa Pengkol.

Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan tokoh masyarakat, relawan, dan komunitas lokal untuk memastikan kegiatan ini memberikan dampak nyata. Termasuk dalam upaya menemukan bibit-bibit pemimpin lokal yang nantinya dapat menjadi WASH Champion, penggerak perubahan dari dalam komunitas sendiri. Karena kami percaya, rumah yang layak, air yang bersih, dan lingkungan yang sehat adalah hak semua orang.

Dari satu desa kecil, kita bisa menyalakan inspirasi besar. Dari satu langkah kecil, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih bersih dan lebih sehat bagi generasi hari ini dan esok.

Penulis: Syefira Salsabilla

Foto: HFHI/Patrik Cahyo

(av-kh)

HU – HFHI Arthawena – 01
Kisah Perubahan

Hadiah dari Doa yang Tak Pernah Putus

Potret keluarga Dewy Loek di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

“Jauh berbeda… saya tidak perlu menunduk lagi saat masuk rumah karena rumah kami yang kecil. Rumah ini lebih dari layak dan bagus sekali, ini keberkahan yang teramat besar untuk keluarga saya.” 

Begitulah yang disampaikan Pak Dewy Loek, dengan sorot mata penuh rasa syukur, saat ditemui tim Habitat for Humanity Indonesia di rumah barunya yang berdiri kokoh di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Ucapannya datang dari hati yang telah lama menahan harap. Sore itu, tim Habitat Indonesia tidak hanya berbincang tentang bangunan, tapi tentang hidup yang perlahan berubah. 

Bagi Pak Dewy, rumah ini adalah jawaban dari doa yang dipanjatkan selama bertahun-tahun. Sebelumnya, ia tinggal bersama istri dan dua anaknya di sebuah bangunan sederhana berbentuk persegi dengan lantai tanah, berdinding pelepah lontar, dan beratap alang-alang. Tak ada sekat, tak ada ventilasi, apalagi kamar mandi. Semua aktivitas dilakukan dalam satu ruangan sempit yang harus dibagi bersama. 

Saat musim kemarau, udara di dalam rumah terasa pengap dan panas menyengat. Tidak ada jendela yang bisa mengalirkan udara atau angin. Anak-anaknya sering kali terbangun karena tak tahan dengan hawa gerah. Namun saat musim hujan, kondisi menjadi jauh lebih sulit. Atap bocor di mana-mana, air masuk ke dalam rumah, dan lantai berubah menjadi lumpur. Tak jarang mereka harus memindahkan anak-anak dari tempat tidur di tengah malam karena kasur ikut basah. 

Rasa khawatir itu datang setiap hari. Pak Dewy tahu, rumah seperti itu bukan tempat yang aman untuk membesarkan anak-anak. Tapi sebagai buruh tani dan nelayan, ia tak punya banyak pilihan. Tabungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkan pun habis hanya untuk memperbaiki kerusakan yang tak pernah selesai. Di tengah keterbatasan, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa yang ia panjatkan setiap waktu. 

Yesi Saketu, istri dari Bapak Dewy Loek, berdiri di pintu depan rumah tidak layak huni miliknya sebelum menerima dukungan program rumah layak huni dari Habitat for Humanity Indonesia di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

Baca juga: Kini Tinggal di Rumah Layak Huni, Ratusan Keluarga di Gresik Siap Menata Masa Depan

Potret keluarga Dewy Loek di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

Sampai akhirnya, uluran tangan datang menjangkau. Melalui dukungan dari Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang, rumah baru pun dibangun. Rumah dengan dua kamar tidur, toilet layak, dan struktur yang kokoh. Dinding berwarna kuning cerah kini menggantikan pelepah dan alang-alang yang dulu menjadi pelindung mereka dari panas dan hujan. 

“Saya sendiri masih belum percaya,” kata Pak Dewy. “Rumah ini nyaman sekali. Anak-anak senang, mereka punya kamar sendiri. Tidak ada lagi cerita kasur basah atau tidur kegerahan.” 

Selama proses pembangunan, Pak Dewy tidak tinggal diam. Ia terlibat membantu tukang, mengangkat bahan bangunan, ikut menyiapkan makanan semampunya. Semua itu ia lakukan dengan semangat besar meski kondisi ekonomi keluarga masih terbatas. Baginya, rumah ini adalah hadiah yang ingin ia berikan sendiri untuk istri dan anak-anaknya. 

Kini, rumah itu berdiri dengan kokoh dan memberi banyak perubahan. Anak-anak bisa bermain dan belajar tanpa rasa takut. Istrinya, Yesi Saketu, juga merasa hidup lebih tenang. Mereka kini punya toilet bersih di dalam rumah, berbeda jauh dari kondisi dulu ketika harus buang air di tempat terbuka tanpa perlindungan. Rumah ini membawa kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. 

Tak hanya itu, untuk pertama kalinya, Pak Dewy mulai bisa menabung. Penghasilan yang sebelumnya habis untuk memperbaiki rumah kini bisa disisihkan demi pendidikan anak-anaknya. Ia menatap masa depan dengan keyakinan baru, dengan hati yang tak lagi dipenuhi rasa cemas. 

Keluarga Dewy Loek bersenda gurau di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

Bagi keluarga Dewy, rumah ini bukan sekadar bangunan. Ini adalah titik awal kehidupan yang lebih baik. Tempat di mana anak-anak bisa tumbuh, belajar, dan bermimpi. Tempat di mana sepasang suami istri bisa beristirahat tanpa rasa takut akan atap yang runtuh atau lantai yang tergenang air. 

Dan sampai hari ini, Dewy tetap memanjatkan doa. Tapi kini bukan lagi untuk dirinya sendiri. Ia berdoa agar saudara-saudaranya yang lain, yang masih hidup dalam bayang-bayang atap rapuh dan dinding retak, juga diberkati dengan rumah yang layak. Rumah yang bisa menjadi tempat berlabuh harapan, seperti rumah yang kini ia miliki. 

Kisah Pak Dewy adalah satu dari banyak suara yang selama ini terpendam dalam rumah-rumah yang tak layak. Suara yang kini mulai terdengar ketika ada yang peduli, ketika ada yang memilih untuk bertindak. Masih banyak keluarga lain yang menunggu harapan yang sama, tempat tinggal yang aman, sehat, dan layak untuk tumbuh bersama orang-orang tercinta.  

Jika kisah ini menyentuhmu, kamu juga bisa menjadi bagian dari perjalanan perubahan ini. Temukan caranya di habitatindonesia.org/donate, karena rumah yang layak seharusnya bukan menjadi impian, melainkan kenyataan untuk semua keluarga. 

(kh/av)