
Siang itu, di sebuah desa di pesisir utara Tangerang, Tinah (45) terlihat sibuk menyirami tanaman yang menghiasi rumah biru miliknya. Wajahnya memancarkan senyum yang tak pernah terlihat sebelumnya, sebuah senyum yang penuh harapan dan kebahagiaan. Mimpi yang selama ini ia jaga dalam doa dan harapan, akhirnya terwujud. Sebuah rumah layak yang ia impikan untuk menikmati masa tuanya dan mengurus cucu kesayangannya, kini berdiri kokoh di hadapannya.
Sebelum rumah baru ini hadir, kehidupan Tinah penuh dengan perjuangan. Rumah warisan orang tuanya yang hanya berdinding bambu dan atap yang berlubang terasa sangat terbatas dan penuh ketidakpastian. “Dulu, saya tidur di ruang tengah, Bapak di depan teras, di atas kursi bambu. Kalau hujan, air masuk dari atap yang bolong. Kami berusaha bertahan, tapi rasanya susah sekali,” kenang Tinah, matanya berkaca-kaca mengingat kembali masa-masa sulit itu.
Tak hanya hujan yang mengancam, rumah itu juga penuh dengan rasa takut. Dinding keropos membuat rumah tak hanya bocor, tapi juga mudah dimasuki binatang. “Pernah suatu malam, Pak. Ada ular masuk ke dalam, anak saya yang lagi hamil ketakutan banget. Kami semua panik,” ucap Tinah, suaranya bergetar. Rasa takut itu tak berhenti sampai di situ. Rumah itu juga menjadi sasaran kejahatan, dengan lebih dari dua kali percobaan pencurian. “Lebih dari dua kali rumah ini mau dibobol maling, Pak. Saya ketakutan banget waktu itu, lagi enggak ada siapa-siapa di rumah,” tambahnya, matanya menerawang jauh, seolah merasakan kembali ketakutan yang mencekam itu.
Bukan hal yang mudah bagi Tinah dan keluarga untuk memiliki rumah yang layak. Sarnadi (45), suami Tinah, seorang buruh nelayan kepiting dan rumput laut, hanya bisa membawa pulang Rp100.000,- per hari. Tinah pun bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tambahan sebesar Rp50.000,- per hari. Dengan penghasilan terbatas itu, mereka hanya bisa mencukupi kebutuhan makan, dan masih harus menambal dinding rumah yang rusak. “Boro-boro mau bangun rumah baru, Pak. Ini buat makan aja sudah sulit. Sisa uang hanya cukup untuk menambal dinding yang bolong,” ujar Tinah dengan ekspresi lelah namun tegar.

Semua itu berubah ketika Habitat for Humanity Indonesia bersama IES Jakarta hadir untuk membantu, membangun rumah baru yang layak huni bagi Tinah dan 49 keluarga lainnya di Desa Marga Mulya, Mauk, Tangerang. “Ibu banyak-banyak terima kasih sama Habitat dan IES yang sudah bangunin rumah bagus seperti ini,” ujar Tinah penuh rasa syukur.
Kini, Tinah merasa hidupnya berubah. “Ibu punya semangat baru. Pikiran jadi lebih tenang, enggak khawatir lagi soal kebocoran dan binatang masuk. Sekarang, tinggal mikirin buat makan aja sama momong cucu,” katanya dengan senyum yang merekah. Rumah ini memberi lebih dari sekadar tempat berteduh, memberi rasa aman, ketenangan, dan harapan baru bagi Tinah dan keluarganya.
Sanardi kini bisa bekerja dengan lebih giat tanpa harus khawatir dengan kondisi rumah, mulai menyisihkan sedikit demi sedikit untuk tabungan masa depan. “Kami punya mimpi, nanti uang ini terkumpul untuk bangun dapur di belakang rumah dan teras permanen di depan rumah,” ujar Tinah dengan penuh harapan.
Bagi Tinah, rumah ini lebih dari sekadar tempat tinggal. Ini adalah simbol kebebasan, tempat di mana keluarga bisa tumbuh dengan rasa aman dan nyaman. Rumah ini menjadi dasar bagi masa depan yang lebih baik, di mana harapan dan impian bisa terwujud.
Hadirnya rumah layak huni bukan hanya memberi kenyamanan fisik, tetapi juga stabilitas dan kemandirian. Ini adalah perubahan besar yang memberikan dampak jangka panjang bagi keluarga-keluarga yang terbantu, memberikan mereka kesempatan untuk hidup lebih baik.
Habitat for Humanity Indonesia mengundang #SahabatHabitat untuk bergabung dalam perjalanan ini. Bantu kami mewujudkan lebih banyak rumah layak huni untuk jutaan keluarga di seluruh Indonesia. Kunjungi segera: www.habitatindonesia.org/donate.
(kh/av)