
Semangat pagi menyelimuti wajah anak-anak usia dini ketika mereka melangkah masuk ke halaman sekolah. Tawa kecil mereka terdengar riang, berlarian sambil membawa tas mungil. Di lorong depan kelas, nyanyian mereka bersahut-sahutan, menciptakan harmoni sederhana yang membuat suasana semakin hidup. Hari itu bukan sekadar hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, melainkan awal baru yang penuh warna bagi RA Dwi Tunas Bangsa, sebuah sekolah di Kabupaten Tangerang yang kini tampak seperti terlahir kembali.
Bangunan sekolah yang dulu rapuh kini berdiri kokoh. Struktur bangunan diperkuat, atap yang sebelumnya bocor kini diganti dengan yang baru, dan setiap sudut ruangan direnovasi agar lebih aman. Dinding berwarna kuning cerah membuat sekolah tampak hangat dan ramah. Dua ruang kelas kini terasa lapang dan nyaman, ruang guru berubah menjadi tempat diskusi yang layak, dan yang paling utama sebuah toilet baru yang higienis dan aman untuk digunakan anak-anak. Semua ini menjadikan RA Dwi Tunas Bangsa seperti rumah kedua yang layak untuk ditempati oleh generasi kecil yang penuh mimpi.
Namun, apa yang tampak hari ini jauh berbeda dengan kondisi sekolah sebelumnya. Selama belasan tahun berdiri, bangunan sekolah itu perlahan kehilangan fungsinya. Cat dinding memudar, sebagian tembok retak, atap bocor saat hujan, dan ruang kelas terasa pengap tanpa ventilasi memadai. Toilet sekolah sudah lama tidak berfungsi, membuat anak-anak terpaksa menumpang di rumah tetangga sekitar setiap kali ingin buang air. Situasi itu bukan hanya membuat mereka tidak nyaman, tetapi juga membahayakan kesehatan dan menurunkan rasa percaya diri.
Akibat kondisi sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah murid pun menurun drastis. Hanya sekitar 15 siswa yang masih bertahan bersekolah di sana. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anak mereka di RA Dwi Tunas Bangsa, bukan karena kualitas pengajaran, melainkan karena kondisi bangunan yang dianggap tidak layak. Bagi Agustini, kepala sekolah, ini menjadi beban berat. Ia ingin anak-anak di lingkungannya mendapatkan pendidikan dini yang layak, tapi keterbatasan fasilitas membuat perjuangan itu terasa berat.

Baca juga: Masa Depan Cerah Anak Lewat Rumah & Teknologi di Rajeg-Tangerang
Kabar baik akhirnya datang ketika Habitat for Humanity melihat kondisi ini dan memutuskan untuk turun tangan. Kolaborasi ini tidak sekadar memperbaiki bangunan, tetapi juga membangkitkan harapan. Renovasi dilakukan secara menyeluruh. Struktur bangunan diperkuat, atap diperbaiki, ruang kelas diperbarui, ruang guru ditata ulang, hingga pembangunan toilet baru yang layak dan higienis.
“Adanya bantuan pembangunan fasilitas sekolah ini benar-benar membantu kami. Sekarang kami bisa menerima lebih banyak siswa. Dari yang tadinya hanya 15, sekarang jumlah murid bertambah dua kali lipat. Sekarang sudah lebih dari 30 anak belajar di sini,” ujar Agustini dengan senyum lega.
Bagi Agustini, bukan hanya jumlah murid yang bertambah. Lebih dari itu, suasana belajar menjadi jauh lebih menyenangkan. “Yang paling penting adalah ruang kelas baru yang aman, atap yang tidak bocor, dan sarana toilet yang layak. Anak-anak jadi betah, guru juga lebih semangat. Lingkungan belajar yang nyaman memang membawa perbedaan besar,” tambahnya.
Perubahan ini terasa nyata bagi murid dan guru. Anak-anak kini bisa belajar dengan tenang tanpa harus kepanasan. Guru pun bisa fokus mengajar tanpa khawatir akan keterbatasan fasilitas. Sekolah bukan lagi tempat seadanya, melainkan ruang yang benar-benar layak untuk menumbuhkan mimpi.
Pendidikan adalah fondasi masa depan. Bangunan sekolah yang layak bukan hanya tembok dan atap, melainkan tempat yang menanamkan nilai, karakter, dan harapan. Setiap warna cerah di dinding RA Dwi Tunas Bangsa menjadi simbol semangat baru. Setiap tawa anak-anak adalah bukti bahwa akses pendidikan yang memadai benar-benar membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.
“Sekolah ini semoga menjadi penopang bagi anak-anak dalam meraih masa depan mereka. Kami ingin mereka tumbuh dengan percaya diri, sehat, dan berani bermimpi,” tutup Agustini dengan harapan besar.

Dari lorong sederhana di Kabupaten Tangerang ini, kita belajar bahwa masa depan anak-anak tidak boleh dibatasi oleh kondisi bangunan yang rapuh. Dengan kolaborasi dan kepedulian, sekolah yang kokoh dan nyaman bisa menjadi pijakan awal bagi generasi penerus bangsa untuk melangkah lebih jauh.
Penulis: Kevin Herbian
(kh/av)