Tangerang, 1 Desember 2025 – Asnah, 38 tahun, memulai hari sebelum fajar menyingsing. Sejak pukul lima pagi, ia sudah bersiap untuk bekerja di rumah tetangganya, membantu di warung sayur milik mereka. Aktivitasnya berlangsung hingga sore, dengan upah yang tak lebih dari enam puluh ribu rupiah per hari. Kadang, ketika tetangga membutuhkan, Asnah juga diminta membantu pekerjaan rumah mulai dari mencuci pakaian, menggosok baju, atau membersihkan rumah. Ia rela bekerja hingga larut malam demi tambahan penghasilan. Penghasilan ekstra ini sangat berarti, bisa mencapai seratus ribu rupiah, tak jarang juga ditambahkan sembako seperti beras, mie, bahkan telur.
Sebelum menjadi penjaga warung sayur, profesi utama Asnah adalah pembantu rumah tangga. Dari pekerjaan ini, ia bekerja keras, menabung sedikit demi sedikit, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, meski hidup mereka sangat sederhana. Suaminya, Niin, 49 tahun, bekerja sebagai buruh di penggilingan beras dengan upah lima puluh ribu rupiah per hari. Bersama, mereka tinggal di Rajeg, Kabupaten Tangerang, dengan satu anak perempuan yang telah menikah dan masih tinggal bersama mereka.
Kehidupan mereka penuh tantangan. Rumah yang mereka tinggali lebih dari tiga puluh tahun hanyalah bangunan bambu, tanpa struktur kokoh, dengan lantai tanah yang mudah becek saat musim hujan. Genteng yang berlubang dan dinding bambu yang keropos membuat air merembes masuk ke rumah. “Kalau hujan deras, kami semua keluar rumah, numpang ke rumah saudara di sebelah,” kenang Asnah.
Masalah yang paling memilukan adalah ketiadaan toilet. “Saya harus menumpang ke rumah orang. Karena terlalu sering numpang, tetangga sampai mengunci toiletnya supaya keluarga saya tidak pakai,” ujarnya. Ketika keadaan benar-benar mendesak, mereka terpaksa buang air di jamban halaman belakang rumah, bahkan di malam hari dalam gelap gulita.
Krisis mereka tak berhenti di situ. Akses air bersih di rumah juga tidak tersedia. “Waktu saya masih bekerja sebagai pembantu, saya sampai berhutang ke sana-sini agar bisa mengebor air dan memasang sanyo,” cerita Asnah. Begitu pula listrik, hanya setelah menyicil, mereka bisa memasangnya dan berlangganan.

Setelah fasilitas air dan listrik tersedia, Asnah menyadari satu hal yang tak kalah penting yaitu, rumahnya harus diperbaiki agar layak huni. Namun takdir belum berpihak. “Pas semua hutang untuk air dan listrik lunas, beberapa bulan kemudian rumah saya roboh. Saya pulang kerja, rumah sudah rata. Saya menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya saya pinjam uang lagi ke majikan saya, sampai beliau datang langsung melihat rumah saya,” kenangnya.
Dengan bantuan majikan, Asnah mendapat pinjaman empat juta rupiah untuk membangun kembali rumahnya. “Ya, dibangun sebisanya saja, dibantu saudara-saudara. Rumah berdiri dengan dinding bambu dan lantai tanah,” ujarnya. Meski sederhana, rumah itu menjadi tempat berlindung. Dari sisa reruntuhan yang masih bisa digunakan, Asnah dan keluarganya memanfaatkannya untuk membangun kembali rumah mereka.
Meski begitu, Asnah dan Niin tidak pernah putus harapan. Mereka terus berdoa dan menabung sedikit demi sedikit, menargetkan tahun 2026 untuk merenovasi rumah agar lebih kokoh dan layak. Namun kehidupan sehari-hari memaksa mereka menunda impian itu. Uang yang dikumpulkan selalu habis untuk kebutuhan keluarga, memaksa Asnah bekerja lebih giat hingga waktu bersama keluarga pun berkurang.
Hingga akhirnya, impian mereka menjadi nyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan PT Caterpillar Indonesia dan PT Caterpillar Finance Indonesia memilih Asnah sebagai salah satu penerima program Rumah Layak Huni.
“Waktu saya dapat kabar lewat Pak RT bahwa rumah saya akan dibangun lebih layak, saya sangat bersyukur. Sampai terharu, enggak bisa berkata-kata,” ujar Asnah dengan mata berkaca-kaca.

Baca juga: Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas
Pada awal Agustus 2025, sebanyak 69 relawan karyawan Caterpillar memulai pembangunan pondasi rumah Asnah bersama dua keluarga lain. Perjuangan bertahun-tahun Asnah akhirnya membuahkan hasil, rumah layak huni yang bisa memberikan perlindungan dan martabat bagi keluarga.
“Usaha saya bertahun-tahun menghidupi keluarga banting tulang, baru kali ini punya rumah yang bagus. Dulu serba sulit, sampai beli gas untuk masak saja harus ngutang. Sekarang saya punya rumah layak, ada toilet dan kamar mandi, jadi enggak perlu numpang lagi. Saya enggak malu lagi,” ungkapnya penuh kebahagiaan.
Bantuan ini juga terasa seperti jawaban doa mereka. “Rencana saya mau renovasi rumah tahun depan, Alhamdulillah terjawab sekarang. Jadi saya bisa pakai uang tabungan untuk bayar semua hutang. Rasanya seperti memulai hidup dari nol, jauh lebih tenang,” tambah Asnah.
Selama hampir dua bulan pembangunan, Asnah dan Niin turut berkontribusi langsung. Mereka bangun lebih pagi, memindahkan material, dan bahkan menyediakan hidangan bagi para pekerja konstruksi, meski dengan keterbatasan mereka sendiri.
“Bapak selalu bantu pak tukang. Saya bekerja di rumah tetangga cari penghasilan tambahan. Bahkan majikan saya sering memberi lebih dari upah untuk bantu pembangunan rumah. Syukur, plafon rumah saya akhirnya terbeli tanpa hutang,” jelas Asnah.
Kini, rumah baru Asnah menghadirkan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Udara lebih bersih, bebas tikus, dan cucu mereka pun tidak lagi rewel setiap malam karena kepanasan.

Ia kini tetap bekerja sebagai penjaga warung sayur tetangganya yang baru ia geluti setelah rumahnya layak huni, juga tetap menambah penghasilan sebagai pembantu rumah tangga di waktu kosong. Perubahan ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi juga martabat, kesehatan, dan stabilitas ekonomi keluarga.
“Rumah ini tempat saya berteduh sampai akhir hayat. Seumur hidup, keluarga pasti kembali ke rumah ini,” tutup Asnah dengan keyakinan dan senyum penuh haru.
Setiap bata yang tersusun, setiap lantai yang tertata rapi, bukan hanya sekadar bangunan, tapi saksi bisu perjuangan, harapan, dan doa yang tak pernah padam. Dengan bantuanmu, lebih banyak keluarga seperti Asnah bisa menyalakan cahaya di rumah mereka, menata hidup dari nol, dan menatap masa depan dengan percaya diri.
Mari bersama-sama menjadi bagian dari cerita ini, menanam kebaikan yang akan terus tumbuh di setiap rumah yang kita bantu. Kunjungi: habitatindonesia.org/donate
Penulis: Kevin Herbian
(av/kh)





