logotype
Donate

Kategori: Kisah Perubahan

HFHI – HDRR
Kisah Perubahan

15 Tahun Transformasi Kampung Jogoyudan Pasca Erupsi Merapi

Yogyakarta, 3 Desember 2025 – Setiap sudut Kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, kini tampak hidup kembali. Tapi lebih dari satu dekade lalu, kawasan ini nyaris kehilangan harapan.

Bagi Rodi Firdaus, Ketua RW 10, ingatan tentang bencana erupsi Gunung Merapi pada 2010 masih terpatri jelas. Kala itu, hujan deras melanda dan lahar dingin mengalir deras ke pemukiman, membawa pasir dan batu sebesar mobil. Hampir 200 rumah terendam, tanggul pembatas tidak mampu menahan arus deras, dan banyak warga terpaksa mengungsi karena rumah mereka tertimbun lumpur.

“Air waktu itu bergelombang sampai setinggi empat meter. Semuanya terbawa arus, pasir, batu… semua hanyut ke rumah warga,” ujar Rodi, mengenang kejadian itu. Siti Fathonah, warga RW 10, mengingat betul bagaimana paniknya warga kala itu. “Sore itu saya sedang arisan di Balai Warga. Tiba-tiba air deras masuk halaman rumah. Semua terkejut, berlarian menyelamatkan diri,” kata Siti. “Tiga kali banjir datang berturut-turut. Rasanya hampir frustasi.” tambahnya.

Bencana itu menghancurkan fisik dan semangat warga. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kini rusak berat, sebagian hilang tertimbun lumpur, sebagian lagi kehilangan atap dan dinding. “Rasanya membangun kembali kehidupan di sini sudah tidak mungkin,” kenang Rodi.

Di tengah keterbatasan itu juga, bantuan dari pihak luar nyaris tak terlihat, karena kampung ini tidak masuk dalam titik fokus masa tanggap darurat. Warga merasa terasing dan putus asa.

Namun, harapan mulai muncul pada awal 2011. Habitat for Humanity Indonesia datang ke Jogoyudan, melakukan survei dan pendataan sebagai respons awal pasca-erupsi Merapi. Intervensi pertama berupa pembangunan tujuh sarana toilet komunal, langkah awal untuk memulihkan kebutuhan dasar. “Kami berdiskusi dengan tokoh masyarakat, mendengarkan kebutuhan warga. Dari situ lahir rencana membangun rumah layak huni kembali,” kata Wahyu Kustanta, Community Organizer Habitat Indonesia.

Awal pembangunan rumah dimulai dari RW 10 dengan tujuh rumah. Secara bertahap, pembangunan meluas ke RW 8, 11, 12, dan 13, hingga lebih dari 160 rumah layak huni berdiri kokoh. Rumah-rumah ini dibangun dengan prinsip keamanan, kualitas bahan yang tahan lama, dan desain yang mempertimbangkan kebutuhan warga. “Alhamdulillah, rumah saya ikut dibangun kembali. Karena saya punya usaha warung di rumah, rumah juga dibangun menyesuaikan usaha saya. Sangat membantu,” ungkap Siti Fathonah.

Foto udara Kampung Jogoyudan yang berada di Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta (9/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Selain rumah, Habitat Indonesia membangun sarana air bersih di beberapa titik kampung. Sistem air ini tidak hanya melayani keluarga yang terdampak, tetapi juga warga lain, sehingga akses air bersih merata. Warga juga terlibat langsung dalam pembangunan, menyumbangkan material, tenaga, dan ide. Tiga saluran air hujan juga turut dibangun melalui pendekatan Participatory Approach for Safe Shelter Awareness (PASSA), yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan.

“Keterlibatan warga sangat aktif. Mereka bukan hanya penerima bantuan, tapi juga bagian dari proses pembangunan,” kata Wahyu. “Gotong royong ini membuat mereka merasa memiliki rumahnya sendiri dan komunitas. Warga merasa terlahir kembali,” tambahnya.

Konsep transformation housing yang diterapkan di Jogoyudan tidak sekadar membangun fisik rumah, tetapi juga membangun kapasitas komunitas, memulihkan ekonomi lokal, dan membentuk kesadaran akan tanggung jawab kolektif.

Siti bercerita tentang dampak perubahan itu pada kehidupannya. “Rumah saya sudah layak huni ini membawa perubahan besar bagi hidup saya. Saya mulai menata kembali usaha warung, sedikit demi sedikit. Kini warung saya berkembang, memiliki banyak barang dagangan, dan keluarga merasa aman.” Transformasi ini tidak hanya menyentuh fisik rumah, tapi juga ekonomi rumah tangga dan rasa percaya diri warga.

Hingga penghujung 2025, semua sarana yang dibangun sejak masa pemulihan bencana masih digunakan dan dirawat warga. “Bahkan kami kembangkan dan perbaiki lagi,” kata Rodi. Fasilitas air bersih, misalnya, digunakan oleh warga untuk usaha laundry dan kegiatan ekonomi lain. Hasil pengelolaan air bersih yang dikelola oleh grup PASSA juga digunakan kembali untuk kesejahteraan masyarakat melalui simpan pinjam komunitas.

Program ini menunjukkan bahwa bencana bukanlah akhir, tetapi awal dari perubahan yang nyata. Warga yang semula kehilangan harapan kini menata kembali kehidupan mereka di tanah yang sama. Rumah layak huni, sarana air bersih, dan saluran air hujan bukan hanya aset fisik, tetapi simbol ketangguhan dan kemampuan warga untuk bangkit.

Lebih dari itu, program ini menekankan prinsip disaster risk reduction (DRR) melalui tranformation housing. Konsep ini memadukan pembangunan fisik rumah yang aman, partisipasi masyarakat, dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masa depan. Warga yang pernah menjadi korban kini memahami bagaimana menata rumah dan lingkungan agar lebih tahan terhadap risiko, meningkatkan kesadaran kolektif, dan memperkuat komunitas.

Aktivitas warga Kampung Jogoyudan dalam merawat lingkungan di Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta (9/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Kini, 15 tahun setelah bencana, Kampung Jogoyudan tidak hanya pulih, tetapi menjadi contoh nyata bahwa intervensi berbasis partisipasi masyarakat dapat mengubah kehidupan. Rumah-rumah yang kokoh, fasilitas air bersih yang merata, dan sistem saluran hujan yang berfungsi baik adalah bukti transformasi yang berkelanjutan. Warga tidak lagi hanya menunggu bantuan, melainkan mereka menjadi agen perubahan bagi komunitasnya sendiri.

Rodi menutup ceritanya dengan keyakinan, “Jika Habitat tidak hadir, mungkin kami tidak bisa tinggal kembali di sini. Sekarang kami tidak hanya punya rumah, tetapi juga rasa aman, ekonomi yang membaik, dan komunitas yang kuat.”

Bencana memang meninggalkan luka, tapi luka itu diubah menjadi fondasi baru untuk kehidupan yang lebih baik. Kampung Jogoyudan membuktikan bahwa pemulihan pasca-bencana bukan sekadar membangun kembali, tetapi menciptakan komunitas tangguh yang mampu menata kehidupan dengan mandiri dan berkelanjutan.

Simak video berikut untuk memahami lebih dalam tentang Housing Disaster Resilience and Recovery (HDRR)!

Video: HFHI/Budi Ariyanto

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HFHI – Caterpillar
Kisah Perubahan

Ibu Asnah: Ketekunan dan Doa yang Membuka Pintu Rumah Layak Huni

Tangerang, 1 Desember 2025 – Asnah, 38 tahun, memulai hari sebelum fajar menyingsing. Sejak pukul lima pagi, ia sudah bersiap untuk bekerja di rumah tetangganya, membantu di warung sayur milik mereka. Aktivitasnya berlangsung hingga sore, dengan upah yang tak lebih dari enam puluh ribu rupiah per hari. Kadang, ketika tetangga membutuhkan, Asnah juga diminta membantu pekerjaan rumah mulai dari mencuci pakaian, menggosok baju, atau membersihkan rumah. Ia rela bekerja hingga larut malam demi tambahan penghasilan. Penghasilan ekstra ini sangat berarti, bisa mencapai seratus ribu rupiah, tak jarang juga ditambahkan sembako seperti beras, mie, bahkan telur.

Sebelum menjadi penjaga warung sayur, profesi utama Asnah adalah pembantu rumah tangga. Dari pekerjaan ini, ia bekerja keras, menabung sedikit demi sedikit, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, meski hidup mereka sangat sederhana. Suaminya, Niin, 49 tahun, bekerja sebagai buruh di penggilingan beras dengan upah lima puluh ribu rupiah per hari. Bersama, mereka tinggal di Rajeg, Kabupaten Tangerang, dengan satu anak perempuan yang telah menikah dan masih tinggal bersama mereka.

Kehidupan mereka penuh tantangan. Rumah yang mereka tinggali lebih dari tiga puluh tahun hanyalah bangunan bambu, tanpa struktur kokoh, dengan lantai tanah yang mudah becek saat musim hujan. Genteng yang berlubang dan dinding bambu yang keropos membuat air merembes masuk ke rumah. “Kalau hujan deras, kami semua keluar rumah, numpang ke rumah saudara di sebelah,” kenang Asnah.

Masalah yang paling memilukan adalah ketiadaan toilet. “Saya harus menumpang ke rumah orang. Karena terlalu sering numpang, tetangga sampai mengunci toiletnya supaya keluarga saya tidak pakai,” ujarnya. Ketika keadaan benar-benar mendesak, mereka terpaksa buang air di jamban halaman belakang rumah, bahkan di malam hari dalam gelap gulita.

Krisis mereka tak berhenti di situ. Akses air bersih di rumah juga tidak tersedia. “Waktu saya masih bekerja sebagai pembantu, saya sampai berhutang ke sana-sini agar bisa mengebor air dan memasang sanyo,” cerita Asnah. Begitu pula listrik, hanya setelah menyicil, mereka bisa memasangnya dan berlangganan.

Ibu Asnah dan suaminya berdiri di depan rumah mereka yang tidak layak huni sesaat sebelum dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia di Tangerang. Foto: HFHI/Indah Mai

Setelah fasilitas air dan listrik tersedia, Asnah menyadari satu hal yang tak kalah penting yaitu, rumahnya harus diperbaiki agar layak huni. Namun takdir belum berpihak. “Pas semua hutang untuk air dan listrik lunas, beberapa bulan kemudian rumah saya roboh. Saya pulang kerja, rumah sudah rata. Saya menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya saya pinjam uang lagi ke majikan saya, sampai beliau datang langsung melihat rumah saya,” kenangnya.

Dengan bantuan majikan, Asnah mendapat pinjaman empat juta rupiah untuk membangun kembali rumahnya. “Ya, dibangun sebisanya saja, dibantu saudara-saudara. Rumah berdiri dengan dinding bambu dan lantai tanah,” ujarnya. Meski sederhana, rumah itu menjadi tempat berlindung. Dari sisa reruntuhan yang masih bisa digunakan, Asnah dan keluarganya memanfaatkannya untuk membangun kembali rumah mereka.

Meski begitu, Asnah dan Niin tidak pernah putus harapan. Mereka terus berdoa dan menabung sedikit demi sedikit, menargetkan tahun 2026 untuk merenovasi rumah agar lebih kokoh dan layak. Namun kehidupan sehari-hari memaksa mereka menunda impian itu. Uang yang dikumpulkan selalu habis untuk kebutuhan keluarga, memaksa Asnah bekerja lebih giat hingga waktu bersama keluarga pun berkurang.

Hingga akhirnya, impian mereka menjadi nyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan PT Caterpillar Indonesia dan PT Caterpillar Finance Indonesia memilih Asnah sebagai salah satu penerima program Rumah Layak Huni.

“Waktu saya dapat kabar lewat Pak RT bahwa rumah saya akan dibangun lebih layak, saya sangat bersyukur. Sampai terharu, enggak bisa berkata-kata,” ujar Asnah dengan mata berkaca-kaca.

Gotong royong relawan Caterpillar membangun rumah layak huni milik Ibu Asnah dan dua keluarga lainnya di Tangerang. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas

Pada awal Agustus 2025, sebanyak 69 relawan karyawan Caterpillar memulai pembangunan pondasi rumah Asnah bersama dua keluarga lain. Perjuangan bertahun-tahun Asnah akhirnya membuahkan hasil, rumah layak huni yang bisa memberikan perlindungan dan martabat bagi keluarga.

“Usaha saya bertahun-tahun menghidupi keluarga banting tulang, baru kali ini punya rumah yang bagus. Dulu serba sulit, sampai beli gas untuk masak saja harus ngutang. Sekarang saya punya rumah layak, ada toilet dan kamar mandi, jadi enggak perlu numpang lagi. Saya enggak malu lagi,” ungkapnya penuh kebahagiaan.

Bantuan ini juga terasa seperti jawaban doa mereka. “Rencana saya mau renovasi rumah tahun depan, Alhamdulillah terjawab sekarang. Jadi saya bisa pakai uang tabungan untuk bayar semua hutang. Rasanya seperti memulai hidup dari nol, jauh lebih tenang,” tambah Asnah.

Selama hampir dua bulan pembangunan, Asnah dan Niin turut berkontribusi langsung. Mereka bangun lebih pagi, memindahkan material, dan bahkan menyediakan hidangan bagi para pekerja konstruksi, meski dengan keterbatasan mereka sendiri.

“Bapak selalu bantu pak tukang. Saya bekerja di rumah tetangga cari penghasilan tambahan. Bahkan majikan saya sering memberi lebih dari upah untuk bantu pembangunan rumah. Syukur, plafon rumah saya akhirnya terbeli tanpa hutang,” jelas Asnah.

Kini, rumah baru Asnah menghadirkan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Udara lebih bersih, bebas tikus, dan cucu mereka pun tidak lagi rewel setiap malam karena kepanasan.

Potret keluarga kecil Ibu Asnah di depan rumah mereka yang telah layak huni setelah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia bersama Caterpillar di Tangerang. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Ia kini tetap bekerja sebagai penjaga warung sayur tetangganya yang baru ia geluti setelah rumahnya layak huni, juga tetap menambah penghasilan sebagai pembantu rumah tangga di waktu kosong. Perubahan ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi juga martabat, kesehatan, dan stabilitas ekonomi keluarga.

“Rumah ini tempat saya berteduh sampai akhir hayat. Seumur hidup, keluarga pasti kembali ke rumah ini,” tutup Asnah dengan keyakinan dan senyum penuh haru.

Setiap bata yang tersusun, setiap lantai yang tertata rapi, bukan hanya sekadar bangunan, tapi saksi bisu perjuangan, harapan, dan doa yang tak pernah padam. Dengan bantuanmu, lebih banyak keluarga seperti Asnah bisa menyalakan cahaya di rumah mereka, menata hidup dari nol, dan menatap masa depan dengan percaya diri.

Mari bersama-sama menjadi bagian dari cerita ini, menanam kebaikan yang akan terus tumbuh di setiap rumah yang kita bantu. Kunjungi: habitatindonesia.org/donate

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – POSCO – Muhdi
Kisah Perubahan

Kisah Muhdi: Rumah Layak Huni Inklusif untuk Tunanetra di Cilegon

Cilegon, 26 November 2025 – Setiap hari, langkah-langkah kecil beriring pelan di jalanan Kota Cilegon. Di tangannya tersampir tas kecil berisi minyak pijat dan kain bersih, sementara tangan satunya menggenggam tongkat kecil yang menuntunnya melangkah. Di bawah terik matahari atau rintikan hujan yang mengguyur, sosok itu terus melangkah pasti, tanpa ragu meski pandangannya gelap sejak lahir.

Dialah Muhdi Hadi, seorang tukang pijat keliling berusia 40 tahun yang hidupnya diwarnai keteguhan dan kesabaran luar biasa. Bersama sang istri, Baitini (31 tahun), yang juga seorang tunanetra sejak lahir, mereka tinggal di rumah sederhana di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, Banten. Pasangan ini tidak memiliki anak, namun keduanya saling melengkapi dalam menghadapi hari-hari yang penuh tantangan.

Setiap pagi, Muhdi memulai rutinitasnya dengan memeriksa minyak pijat dan kain yang selalu ia bawa. Ia berkeliling dari rumah ke rumah, menawarkan jasanya kepada warga sekitar. Penghasilannya tidak menentu, terkadang hanya Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per bulan. Namun baginya, setiap rupiah adalah hasil dari keringat dan niat baik. “Pas-pasan, tapi cukup untuk makan sehari-hari,” ujarnya dengan nada ikhlas.

Di tengah perjuangannya mencari nafkah, ada satu kenyataan pahit yang tak bisa ia abaikan yaitu, rumah tempat ia dan istrinya berteduh jauh dari kata layak. Bangunan itu sudah berusia tua, berdinding rapuh, dan beratap keropos. Setiap kali hujan deras datang, air menetes dari sela-sela atap, membuat seluruh lantai basah dan becek. Bahkan potongan atap yang lapuk kerap jatuh saat mereka sedang tertidur.

“Kalau hujan besar, air masuk dari mana-mana,” kenangnya. “Pernah waktu itu saya lagi mijat pelanggan di rumah, eh tiba-tiba bocor. Kami harus pindah-pindah tempat biar enggak kehujanan. Malu sekali rasanya, tapi saya enggak punya uang buat perbaiki rumah.”

Muhdi tahu betul bahayanya tinggal di rumah yang ringkih. “Karena bangunannya sudah reot dan keropos, kami takut aja gitu, apalagi kalau ada angin besar,” ujarnya pelan. “Pernah waktu angin kencang datang, saya sama istri cuma duduk di depan pintu, biar bisa cepat lari kalau sewaktu-waktu rumahnya rubuh.”

Kondisi rumah yang tak layak itu membuat kesehariannya semakin berat. “Saya ini sudah punya keterbatasan penglihatan,” katanya lirih. “Tinggal di rumah yang rusak, dalam suasana gelap, dan lembab bikin semua terasa lebih sulit.”

Muhdi memasuki rumahnya yang telah layak huni setelah dibangun oleh Habitat for Humanity bersama POSCO di Cilegon. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Semangat Perempuan Tangguh di Balik Revitalisasi Kampung Tanjung Kait

Namun di balik keterbatasan itu, Muhdi tak pernah kehilangan semangat. Ia terus berusaha, membuka jasa pijat di rumah kecilnya meski ruangan sempit itu sering bocor. Hingga suatu hari, kabar yang tak pernah ia bayangkan datang menghampiri. Habitat for Humanity bersama POSCO datang ke wilayahnya, mengabarkan bahwa mereka akan membangun kembali rumah-rumah tak layak huni, termasuk rumah miliknya.

“Saya sangat bahagia sekali, saking bahagianya saya bingung dan enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” tutur Muhdi haru.

Ketika pembangunan dimulai, ia tak hanya duduk diam menunggu. Meski memiliki keterbatasan, Muhdi ikut terlibat sebisanya, membantu menyediakan hidangan makanan ringan untuk pekerja konstruksi. Ia pun sering menelusuri dinding-dinding baru dengan jemarinya, menyentuh lantai yang kini kokoh, dan merasakan kesejukan ruangan yang dulu pengap dan lembab.

“Saya terharu meski saya tidak bisa melihat, tapi saya bisa merasakan bahwa rumah ini benar-benar layak buat saya,” ucapnya. “Rumah ini memang didesain untuk saya dan istri yang punya kebutuhan khusus. Ada pagarnya, ada pegangan di setiap ruangan, bahkan lantainya dibuat beda, ada bagian yang kasar, ada yang tidak. Ini sangat-sangat membantu kami.”

Kini, rumah baru itu bukan hanya tempat berlindung, tapi juga sumber harapan baru. Baitini, sang istri, mengaku tak lagi was-was setiap kali mendengar suara hujan atau angin malam. “Rumah itu kan tempat berlindung dari hujan dan panas,” katanya lembut. “Sekarang saya bersyukur punya rumah bagus seperti ini, rumah ini rasanya sudah jadi anugerah besar.”

Bagi Muhdi, rumah baru itu juga berarti kesempatan baru untuk memperbaiki taraf hidup. Ia berencana memasang plang usaha pijat di depan rumahnya, agar pelanggan lebih mudah menemukan jasanya. “Semoga rumah ini membawa berkah rezeki baru buat keluarga saya,” ucapnya penuh semangat. “Saya ingin nabung buat masa depan, siapa tahu nanti bisa buat biaya kalau kami punya anak.”

Muhdi bersama istrinya bersantai di kamar rumah layak huni mereka setelah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia bersama POSCO di Cilegon. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Proyek pembangunan rumah ini merupakan bagian dari “2025 POSCO 1% Foundation Echo Village”, hasil kolaborasi antara Habitat for Humanity dan POSCO. Melalui inisiatif ini, enam rumah layak huni dibangun dengan desain ramah lingkungan dan aman bagi penghuninya. Inovasinya meliputi penggunaan eco-brick dari limbah plastik, sistem penampungan air hujan, serta septic tank dan soak pit untuk memastikan sanitasi yang sehat bagi keluarga penerima manfaat.

Tak berhenti di situ, proyek ini juga menghadirkan pelatihan manajemen rumah sehat dan Building Back Safer (BBS) bagi 50 keluarga lainnya di sekitar wilayah Ciwandan dan Citangkil. Para warga juga mendapatkan penguatan kapasitas melalui pelatihan bagi Tim Siaga Bencana Kelurahan (TBSK), serta difasilitasi untuk mengajukan status Kelurahan Tangguh Bencana (Kaltana) ke BNPB, agar masyarakat memiliki dukungan resmi dalam penanggulangan bencana.

Kini, di antara deretan rumah baru yang berdiri kokoh di Cilegon, rumah kecil milik Muhdi menjadi simbol harapan. Ia mungkin tidak bisa melihatnya, tapi setiap kali tangannya menyentuh tembok rumah barunya, ia tahu perjuangannya tak sia-sia.

“Dulu saya cuma bisa bermimpi punya rumah kuat yang enggak bocor. Sekarang mimpi itu sudah jadi kenyataan.” tutup Muhdi.

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI-Arthawena 01
Kisah Perubahan

Rumah yang Menghidupkan Harapan: Kisah Keluarga Alex dari Kupang Timur

21 November 2025 – Di sebuah dusun kecil di Kupang Timur, Kabupaten Kupang – Nusa Tenggara Timur, berdirilah rumah sederhana berukuran 4×6 meter milik Alex Batuk (46). Dindingnya dari bebak lontar, atapnya dari daun lontar yang telah mengering, dan lantainya masih berupa tanah. Di rumah inilah Alex tinggal bersama istrinya, Trudelyanti (34), serta tiga anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dan satu di antaranya seorang balita.

Setiap sudut rumah menyimpan kisah perjuangan. Ketika hujan deras datang, air masuk dari segala arah, membuat lantai becek dan lembap. Dinding-dinding dari lontar kerap rapuh dimakan usia, dan jendela satu-satunya tidak mampu menyalurkan udara dengan baik. Rumah itu telah mereka huni lebih dari tujuh tahun, tahun demi tahun yang penuh kekhawatiran dan harapan.

“Karena kondisi rumah menggunakan atap dari daun, setiap tiga tahun sekali saya harus menyisihkan uang untuk mengganti atap tersebut, begitupun dengan dinding setiap kali dirayapi,” tutur Alex. Penghasilan sebagai petani sebesar satu juta rupiah per bulan membuat setiap rupiah terasa berarti. Untuk menambah pemasukan, Alex berjualan gula pohon gewang di sela waktu luangnya.

Namun, yang paling menakutkan bagi keluarga kecil ini bukan hanya soal ekonomi. Ketika badai datang, rasa takut selalu menghantui. “Saya selalu was-was setiap ada angin besar, seperti waktu itu saat Seroja datang. Rumah saya bisa patah dan rubuh. Setiap ada angin kencang, kita duduk di depan pintu. Takut angin bawa, kita bisa lari keluar,” kenangnya.

Kondisi rumah Alex Batuk sebelum menerima dukungan pembangunan rumah layak huni di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Titik Balik Harapan Baru

Harapan baru datang ketika tim Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Arthawenasakti Gemilang datang ke kampung mereka. Setelah melihat kondisi rumah Alex yang tidak layak huni, Habitat Indonesia memutuskan untuk membantu membangun kembali rumahnya menjadi rumah yang lebih aman dan sehat untuk ditinggali.

Namun kisah ini tidak hanya berhenti pada bantuan semata. Saat program pembangunan dimulai, Alex yang mengaku pernah bekerja sebagai tukang bangunan diminta ikut bergabung sebagai pekerja konstruksi. Ia tidak sekadar penerima manfaat, tetapi juga menjadi bagian dari proses membangun rumah impiannya sendiri.

“Sebelum Habitat hadir di kampung saya, saya juga mencari sambilan sebagai tukang bangunan. Jadi saya tahu betul mana rumah yang layak dan kokoh, saya tahu bagaimana pondasi yang kuat menggunakan cakar ayam,” ujar Alex.

Melalui pelatihan yang diberikan Habitat Indonesia, Alex semakin memahami pentingnya standar rumah tahan gempa dan struktur bangunan yang aman. Ia terlibat langsung dari awal hingga akhir proses pembangunan, memastikan setiap dinding berdiri tegak dan setiap atap terpasang kuat.

“Perbedannya luar biasa. Adanya bantuan rumah ini terasa sangat kuat dan kokoh, karena saya tahu betul pembangunan rumah ini seperti apa. Saya ikut terlibat langsung membangunnya,” katanya dengan senyum bangga.

Alex Batuk terlibat dalam proses pembangunan rumah layak huni bersama Habitat for Humanity Indonesia di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Baca juga: Hadiah dari Doa yang Tak Pernah Putus

Rumah yang Mengubah Hidup

Kini, rumah baru Alex telah berdiri kokoh. Bagi keluarga kecil itu, rumah ini bukan hanya tempat berlindung dari hujan dan panas, tetapi juga simbol kehidupan baru.

“Rumah itu kan tempat berlindung di dalam, saat hujan, panas. Sekarang saya bersyukur punya rumah bagus seperti ini,” kata Trudelyanti sambil menatap dinding baru rumahnya. “Rumah ini sangat pas untuk keluarga kami tinggal, dua anak kami bisa punya kamar sendiri.”

Lebih dari itu, rumah layak ini turut membawa perubahan nyata bagi ekonomi keluarga. Jika dulu sebagian penghasilan harus disisihkan untuk memperbaiki atap lontar atau mengganti dinding yang rusak, kini uang itu bisa digunakan untuk hal yang lebih penting yakni, pendidikan anak-anak mereka.

“Sekarang saya bisa menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan anak-anak. Tidak perlu lagi khawatir atap bocor atau rumah rusak,” ujar Alex penuh rasa syukur.

Setelah rumahnya selesai dibangun, Alex tetap memilih untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja konstruksi bersama tim Habitat. Ia ingin membantu membangun rumah-rumah layak huni lainnya di desanya.

Kini, setiap kali ia membantu mendirikan rumah baru untuk tetangganya, ada semangat yang sama yang ia rasakan yaitu, semangat untuk memberi rasa aman dan harapan kepada keluarga lain, sebagaimana ia pernah menerimanya.

Potret keluarga Alex Batuk di depan rumah mereka yang telah layak huni di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Berkat dukungan PT Arthawenasakti Gemilang, program pembangunan rumah layak huni ini berhasil menghadirkan 100 rumah baru dan renovasi bagi keluarga di wilayah Kupang dan sekitarnya. Di balik angka itu, tersimpan kisah-kisah nyata seperti keluarga Alex, tentang perjuangan, ketulusan, dan harapan yang tumbuh di antara dinding rumah yang baru berdiri.

Karena bagi Alex dan banyak keluarga lainnya, rumah bukan hanya tempat tinggal. Rumah adalah tempat di mana harapan tumbuh, cinta berdiam, dan kehidupan dimulai kembali.

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HU – HFHI – Nimah
Kisah Perubahan

Semangat Perempuan Tangguh di Balik Revitalisasi Kampung Tanjung Kait

Yuk, berkenalan dengan Ibu Nimah, salah satu perempuan warga Kampung Tanjung Kait yang ikut terlibat langsung dalam membangun rumah layak huni.  

Tangerang, 13 Oktober 2025 – Ada semangat yang tak pernah padam dari sosok sederhana bernama Ibu Nimah. Setiap pagi, perempuan berusia 55 tahun ini selalu memulai hari dengan sebuah pertanyaan kecil dalam hati, “Apa yang bisa saya bantu hari ini? Apa yang bisa saya lakukan hari ini?” Kalimat sederhana itu menjadi pemantik energi yang membuatnya tetap kuat, meski hidup tidak selalu mudah baginya. 

Ibu Nimah adalah salah satu warga Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang, yang rumahnya ikut dibangun kembali dalam Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait. Program ini menghadirkan 110 rumah layak huni baru untuk warga, sekaligus infrastruktur penunjang yang lebih memadai. Bagi Nimah, program ini bukan sekadar proyek fisik, melainkan kesempatan untuk ikut meninggalkan jejak dalam membangun kampungnya. 

Awal Mula Perjalanan 

Awalnya, keterlibatan Ibu Nimah di proyek pembangunan ini sederhana saja. Ia hanya menyediakan minuman dan makanan ringan untuk para pekerja yang sibuk membangun rumah-rumah di kampungnya. Namun, semakin hari, ia merasa bahwa dirinya ingin melakukan sesuatu yang lebih besar. Ia menyadari, meski tak punya cukup uang untuk memperbaiki rumahnya sendiri, setidaknya ia masih memiliki tenaga. “Saya enggak punya uang, enggak punya apa-apa. Tapi saya punya tenaga, dan itu yang bisa saya berikan,” ungkapnya. 

Sejak saat itu, Nimah tak lagi sekadar berdiri di pinggir, melainkan turun langsung ke lapangan, ikut bergotong royong bersama warga lainnya, termasuk para perempuan, membantu para pekerja konstruksi. 

Keterlibatan Nimah ini tentu tidak lepas dari kondisi rumah lamanya. Selama puluhan tahun, ia tinggal di rumah yang semakin hari semakin rapuh. Dindingnya retak, lantai tak lagi rata, dan atap bocor setiap kali hujan turun. Yang paling parah, setiap kali pasang air laut datang, rumahnya kerap terendam banjir. Air asin menggenang hingga ke dalam rumah, merusak perabotan, membuat dinding lembab, dan memicu kerusakan lebih parah. 

Sebagai seorang janda yang menggantungkan hidup dari penghasilan anak-anaknya dan sesekali bekerja serabutan seperti mengupas kerang, Nimah tidak memiliki cukup biaya untuk memperbaiki rumah. Rasa cemas selalu menghantui, terutama saat hujan deras disertai pasang laut. Ia tak pernah tahu kapan rumahnya bisa benar-benar roboh. 

Namun, kondisi pilu itu perlahan terjawab ketika Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait hadir. Program ini digagas oleh Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA), serta didukung oleh para donatur. Bagi Nimah, program ini adalah anugerah yang menjawab doa-doanya selama ini. 

Potret Nimah yang tampak sibuk mengamplas dinding rumahnya di Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Penguatan Kapasitas Warga Jadi Kunci Strategi Keberlanjutan Revitasisasi Kampung Tanjung Kait

Saat proses pembangunan dimulai, Nimah semakin tergerak untuk turut serta. Ia sadar, rumahnya sendiri termasuk yang akan dibangun. Karena itu, ia merasa perlu memberikan jejak kontribusi. Nimah selalu berusaha ikut berkontribusi dengan cara yang ia mampu. Mulai dari pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membantu mengangkut material ringan, merapikan area kerja, hingga ikut memberi sentuhan sederhana di dinding. Meski terlihat sepele, baginya setiap usaha adalah bentuk nyata keterlibatan dalam membangun rumah impian. 

“Awalnya tukang-tukang itu kasihan lihat saya. Tapi setelah mereka lihat semangat saya, malah mereka jadi semangat juga. Saya enggak malu, enggak canggung, karena saya yakin tenaga saya ini bisa berguna,” tuturnya dengan wajah berbinar. 

Keterlibatan Nimah memberi warna tersendiri di tengah hiruk pikuk pembangunan. Para pekerja dan warga lain melihat keteguhan seorang perempuan yang tidak menyerah pada keadaan. Gotong royong yang ia jalani bersama warga lain semakin memperkuat ikatan sosial di Tanjung Kait. 

Bagi Nimah, setiap tetes keringat adalah doa. Ia percaya bahwa usahanya ini akan meninggalkan kenangan indah, bukan hanya karena ia membantu membangun rumahnya sendiri, tetapi juga karena ia ikut membangun masa depan kampungnya. 

Kini, rumah baru Nimah memang belum selesai sepenuhnya. Ia masih sibuk membantu proses akhir, mulai dari mengamplas hingga mengecat dinding. Meski begitu, ada harapan besar yang ia titipkan pada rumah itu. “Saya berharap rumah baru ini bisa memberi kebahagiaan lahir dan batin. Bisa jadi tempat aman untuk saya dan anak-anak, tempat untuk kami berkumpul tanpa takut banjir atau atap bocor lagi,” ujarnya penuh harap. 

Harapan Nimah sederhana, tetapi sarat makna. Ia ingin rumah barunya kelak menjadi sumber ketenangan, tempat yang membuatnya merasa tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang bencana, dan menjadi simbol semangat baru dalam hidupnya. 

Keterlibatan Nimah ini merupakan bentuk kontribusi nyata warga dalam proses pembangunan rumah layak huni di kampungnya, sekaligus semangat nyata bagaimana peran perempuan bisa memberi dampak positif (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Sejarah Baru Dimulai: Revitalisasi Kampung Tanjung Kait Demi 110 Keluarga Dapatkan Kepemilikan Tanah dan Rumah Layak Huni

Perempuan dan Ruang Partisipasi 

Lebih dari sekadar membangun rumah, kisah Nimah juga menyingkap isu penting yakni, keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan komunitas. Selama ini, pekerjaan konstruksi sering dianggap hanya urusan laki-laki. Namun, kehadiran Nimah membuktikan bahwa perempuan juga mampu mengambil peran aktif, meski dengan segala keterbatasan. 

Semangat Nimah adalah gambaran nyata bagaimana pemberdayaan perempuan bisa memberi dampak positif. Kehadirannya di lokasi pembangunan menjadi bukti bahwa perempuan tidak hanya menunggu hasil, melainkan juga bisa menjadi bagian dari proses. Di Tanjung Kait, suara dan tenaga perempuan ikut membangun pondasi bukan hanya rumah, tetapi juga kebersamaan dan kemandirian masyarakat. 

Dari kisah ini juga mengajarkan bahwa kontribusi tidak selalu diukur dari besarnya harta atau banyaknya materi yang diberikan. Dalam keterbatasannya, Nimah tetap mampu memberi sumbangsih besar melalui tenaga, semangat, dan ketekunan. Kisah ini sekaligus menjadi cerminan bahwa revitalisasi kampung bukan hanya tentang membangun rumah, melainkan juga tentang membangun manusia mulai dari kesadaran, kemandirian, dan partisipasi, termasuk dari kaum perempuan. 

Akhir kata, Ibu Nimah berdiri sebagai simbol sederhana yang menyimpan arti besar bahwa setiap orang, siapa pun dia, mampu menjadi bagian dari perubahan. 

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI Prudential – 01
Kisah Perubahan

Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas

Bogor, 30 September 2025 – Ada kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan dari wajah Imas Laelasari (52). Senyum itu lahir dari hadirnya sebuah rumah layak nan sederhana yang membawa rasa aman, ketenangan, sekaligus secercah harapan baru bagi dirinya dan ketiga anaknya. Di Gunung Putri, Kabupaten Bogor, rumah dengan dinding berkelir merah dan abu itu kini berdiri kokoh, menggantikan bangunan lama yang rapuh dan penuh perasaan resah. 

Sejak 2015, Imas menempati rumah yang jauh dari kata layak. Bangunan tanpa struktur kuat itu membuat dinding retak di berbagai sisi. Atap bocor, lantai keramik hancur, dan setiap malam ia harus berdoa agar rumah tidak runtuh menimpa keluarga kecilnya. “Waktu itu malam hari saya sedang menonton TV bersama anak pertama saya, tiba-tiba atap genteng jatuh roboh. Panik sekali saya. Saya khawatir sewaktu-waktu bisa menimpa saya dan anak-anak,” kenang Imas. 

Doa agar rumahnya bisa kembali layak selalu ia panjatkan. Ia masih teringat pesan mendiang suaminya sebelum berpulang delapan tahun lalu, “Rumah ini jangan sampai dijual, ya Mah, supaya bisa ditempati anak-anak kita nanti.” Pesan itu tertanam kuat, sehingga meski kondisi rumah memburuk, ia tetap bertahan. Namun, memperbaiki rumah bukan hal mudah. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, Imas hanya bisa mengandalkan penghasilan anak-anaknya yang sering kali tidak menentu. 

“Kalau rumah ini roboh, saya benar-benar bingung harus tinggal di mana. Makanya saya cuma bisa berdoa semoga ada jalan keluar,” ucap Imas lirih. 

Imas menunjukkan kondisi rumahnya yang tidak layak huni sebelum dibangun kembali oleh Habitat for Humanity Indonesia dan Prudential Indonesia di Gunung Putri, Bogor (18/1). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Rumah Layak Ubah Masa Depan Keluarga Iqballudin

Jawaban itu akhirnya datang. Habitat for Humanity Indonesia bersama Prudential Indonesia melalui Program Desa Maju Prudential hadir membangun kembali rumah milik Imas. Dindingnya kini berdiri kokoh, atapnya kuat, lantainya rapi, dan ruangan dalamnya jauh lebih nyaman. Toilet yang dulu membuatnya takut karena pernah dimasuki ular, kini sudah bersih dan aman digunakan. 

“Alhamdulillah, Ibu senang sekali dan banyak-banyak terima kasih kepada semuanya yang telah membantu keluarga Ibu. Sekarang keadaan jauh lebih berubah. Ibu udah enggak pernah takut atau khawatir lagi rumah bakalan roboh,” tutur Imas dengan lega. 

Lebih dari sekadar bangunan rumah, yang hadir bagi Imas adalah rasa aman. Ia tidak lagi cemas dinding retak akan runtuh, tidak lagi khawatir pencuri mudah masuk, dan tidak lagi waswas ketika hujan deras turun.  

Rumah ini juga turut memunculkan semangat baru. Tak berselang lama setelah berdiri, Imas mencoba mencari modal untuk berjualan makanan ringan di depan rumah. Ia ingin memanfaatkan ruang baru itu sebagai titik awal usaha kecil, agar bisa sedikit demi sedikit mandiri. 

“Rumah itu hartanya Ibu. Andai saja Bapak masih ada, pasti beliau juga senang lihat rumah ini,” ucapnya sambil menahan haru. 

Imas menata dagangan di warung kecil depan rumahnya yang telah layak huni, hasil pembangunan Habitat for Humanity Indonesia bersama Prudential Indonesia di Gunung Putri, Bogor (28/8). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Perubahan yang dirasakan Imas sejalan dengan tujuan besar Program Desa Maju Prudential tahap ketiga yang berjalan sejak November 2024. Program ini tidak hanya membangun rumah seperti milik Imas, tetapi juga memberi dampak luas bagi komunitas. Ada 27 unit rumah layak huni baru yang dibangun, 21 unit toilet rumah tangga baru, serta renovasi 4 fasilitas pendidikan dan umum. Selain itu, program ini menyediakan mesin untuk mengubah sampah menjadi biji plastik, mengadakan pelatihan pengolahan sampah bagi 210 peserta, melatih 75 pengurus pengolahan sampah, hingga memberikan edukasi tentang konstruksi dasar rumah sehat, perilaku hidup bersih dan sehat, serta mitigasi bencana bagi masyarakat. 

Bagi sebagian orang, rumah mungkin hanya dinilai sebagai tempat berteduh. Namun bagi Imas, rumah baru ini adalah simbol kehidupan baru. Dari rumah ini, ia kembali menemukan semangat, harapan, dan keberanian untuk melangkah maju bersama anak-anaknya. 

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI – CEO Build
Kisah Perubahan

Rumah Layak Ubah Masa Depan Keluarga Iqballudin

Sore itu, tepat pukul empat, cahaya matahari menyusup lembut ke sela-sela dedaunan dan jatuh di dinding rumah baru berwarna biru milik Iqballudin. Dinding itu tampak kokoh, berdiri tegas, seakan menjadi saksi perubahan besar dalam hidup keluarga kecil di Babakan Madang, Kabupaten Bogor ini. Tim Habitat for Humanity Indonesia kembali menyambangi kediaman Iqballudin yang kini sudah layak huni. Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat bagaimana keluarga ini merawat rumah barunya. Bahkan, hanya berselang sehari setelah rumah rampung dibangun, Iqballudin langsung bergerak menambahkan dapur sederhana secara mandiri, bukti nyata semangatnya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi istri dan anak-anak.

Sebelum rumah baru ini hadir, kehidupan keluarga Iqballudin penuh keterbatasan. Ia, seorang buruh serabutan berusia 41 tahun, hanya mengandalkan upah harian sebesar Rp 50.000 untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bersama istrinya, Siti Romyanah (36), seorang ibu rumah tangga, mereka membesarkan tiga anak yang masih duduk di bangku sekolah. Namun, kondisi rumah lama membuat segalanya terasa semakin berat.

Rumah mereka sebelumnya dibangun tanpa fondasi, hanya berupa bangunan sederhana dari panel GRC dan anyaman bambu. Tanpa dapur dan tanpa toilet, keluarga ini harus bergantung pada rumah orang tua untuk memasak dan mandi. Tak sampai di situ, rayap mulai merambat ke dinding dan tiang, membuat struktur rumah semakin rapuh.

Dengan mata berkaca-kaca, Siti mengenang rasa takut yang selalu menghantuinya. “Rayapnya sudah sampai atas, rumah rasanya mau roboh. Saya khawatir sekali sama anak-anak. Kalau ada kebocoran, saya takut anak-anak sakit-sakitan, terutama si kecil,” ucapnya dengan suara bergetar.

Kenangan itu menjadi bagian dari perjalanan panjang mereka, hidup dalam rumah yang tidak pernah memberi rasa aman. Tidur malam hari sering kali dibayangi kekhawatiran, terutama ketika hujan turun deras.

Namun, semua itu berubah lewat acara CEO Build 2025. Berkat dukungan dari Bapak Edwin Soeryadjaya yang berkolaborasi dengan Habitat for Humanity Indonesia, rumah baru untuk keluarga Iqballudin akhirnya berdiri. Rumah itu kokoh, aman, dan jauh berbeda dari kondisi sebelumnya yang rapuh.

Iqballudin pun tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat menyampaikan syukur. “Alhamdulillah, saya merasa sangat bahagia dan bersyukur. Rumah saya sekarang sangat kokoh, tidak seperti sebelumnya yang rapuh dan mau roboh,” ungkapnya penuh rasa lega.

Siti pun menambahkan dengan senyum yang kini lebih tenang, “Banyak sekali perubahannya. Setidaknya setiap malam bisa tidur nyenyak, tanpa lagi khawatir. Anak-anak bahagia, kita semua bahagia.”

Potret keluarga Iqballudin di depan rumah mereka yang kini layak huni berkat dukungan Edwin Soeryadjaya dan Habitat for Humanity Indonesia di Babakan Madang, Bogor (10/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Membangun Indonesia: Kolaborasi POSCO dan Habitat for Humanity Wujudkan Rumah Layak di Cilegon

Perubahan ini bukan hanya soal berdirinya bangunan baru. Dampaknya terasa mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak mereka kini lebih sehat karena tidak lagi terpapar kebocoran, lembab, dan kotoran rayap. Mereka pun tidak perlu lagi bolak-balik ke rumah kakek dan nenek hanya untuk mandi atau sekadar menggunakan toilet. Privasi mereka kini juga lebih terjaga, kebersihan lebih terjamin, dan kesehatan anak-anak pun meningkat.

Dampak besar juga terasa di pendidikan anak Iqballudin. Rumah yang aman dan nyaman membuat anak-anak bisa belajar dengan tenang tanpa harus memikirkan risiko atap bocor. Lingkungan rumah yang lebih sehat memberi mereka kesempatan untuk fokus pada sekolah. Iqballudin percaya bahwa rumah ini akan menjadi pondasi bagi masa depan anak-anaknya. “Setidaknya sekarang anak-anak bisa belajar dengan tenang. Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya, biar masa depan mereka lebih baik dari saya,” ujarnya penuh harap.

Lebih jauh lagi, rumah baru ini menumbuhkan rasa percaya diri bagi keluarga. Tidak ada lagi rasa malu jika ada tetangga atau kerabat berkunjung. Mereka kini memiliki ruang yang layak untuk menyambut tamu, tempat yang benar-benar bisa disebut rumah.

Dengan penuh rasa syukur, Iqballudin kembali menyampaikan terima kasih. “Saya benar-benar berterima kasih kepada Pak Edwin dan Habitat atas rumah baru ini. Dukungan ini sangat berarti bagi saya dan keluarga. Semoga Allah membalas kebaikan ini dengan berlipat ganda,” ucapnya tulus.

Dari sebuah rumah sederhana yang kini berdiri kokoh, harapan baru tumbuh bagi keluarga kecil ini. Sebuah rumah tidak hanya melindungi dari hujan dan panas, tapi juga menjadi tempat di mana mimpi, kesehatan, dan masa depan anak-anak dapat tumbuh dengan kuat. Dan di balik setiap dinding yang berdiri, tersimpan cerita bahwa perubahan selalu mungkin ketika kepedulian diwujudkan dalam tindakan nyata.

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI – Kakakobank
Kisah Perubahan

Ketika Sekolah Layak Menjadi Rumah Kedua

Siswa-siswi RA Dwi Tunas Bangsa menyambut dengan antusias ruang kelas baru hasil renovasi dari Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Semangat pagi menyelimuti wajah anak-anak usia dini ketika mereka melangkah masuk ke halaman sekolah. Tawa kecil mereka terdengar riang, berlarian sambil membawa tas mungil. Di lorong depan kelas, nyanyian mereka bersahut-sahutan, menciptakan harmoni sederhana yang membuat suasana semakin hidup. Hari itu bukan sekadar hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, melainkan awal baru yang penuh warna bagi RA Dwi Tunas Bangsa, sebuah sekolah di Kabupaten Tangerang yang kini tampak seperti terlahir kembali.

Bangunan sekolah yang dulu rapuh kini berdiri kokoh. Struktur bangunan diperkuat, atap yang sebelumnya bocor kini diganti dengan yang baru, dan setiap sudut ruangan direnovasi agar lebih aman. Dinding berwarna kuning cerah membuat sekolah tampak hangat dan ramah. Dua ruang kelas kini terasa lapang dan nyaman, ruang guru berubah menjadi tempat diskusi yang layak, dan yang paling utama sebuah toilet baru yang higienis dan aman untuk digunakan anak-anak. Semua ini menjadikan RA Dwi Tunas Bangsa seperti rumah kedua yang layak untuk ditempati oleh generasi kecil yang penuh mimpi.

Namun, apa yang tampak hari ini jauh berbeda dengan kondisi sekolah sebelumnya. Selama belasan tahun berdiri, bangunan sekolah itu perlahan kehilangan fungsinya. Cat dinding memudar, sebagian tembok retak, atap bocor saat hujan, dan ruang kelas terasa pengap tanpa ventilasi memadai. Toilet sekolah sudah lama tidak berfungsi, membuat anak-anak terpaksa menumpang di rumah tetangga sekitar setiap kali ingin buang air. Situasi itu bukan hanya membuat mereka tidak nyaman, tetapi juga membahayakan kesehatan dan menurunkan rasa percaya diri.

Akibat kondisi sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah murid pun menurun drastis. Hanya sekitar 15 siswa yang masih bertahan bersekolah di sana. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anak mereka di RA Dwi Tunas Bangsa, bukan karena kualitas pengajaran, melainkan karena kondisi bangunan yang dianggap tidak layak. Bagi Agustini, kepala sekolah, ini menjadi beban berat. Ia ingin anak-anak di lingkungannya mendapatkan pendidikan dini yang layak, tapi keterbatasan fasilitas membuat perjuangan itu terasa berat.

Suasana ruang kelas RA Dwi Tunas Bangsa setelah direnovasi oleh Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Masa Depan Cerah Anak Lewat Rumah & Teknologi di Rajeg-Tangerang

Kabar baik akhirnya datang ketika Habitat for Humanity melihat kondisi ini dan memutuskan untuk turun tangan. Kolaborasi ini tidak sekadar memperbaiki bangunan, tetapi juga membangkitkan harapan. Renovasi dilakukan secara menyeluruh. Struktur bangunan diperkuat, atap diperbaiki, ruang kelas diperbarui, ruang guru ditata ulang, hingga pembangunan toilet baru yang layak dan higienis.

“Adanya bantuan pembangunan fasilitas sekolah ini benar-benar membantu kami. Sekarang kami bisa menerima lebih banyak siswa. Dari yang tadinya hanya 15, sekarang jumlah murid bertambah dua kali lipat. Sekarang sudah lebih dari 30 anak belajar di sini,” ujar Agustini dengan senyum lega.

Bagi Agustini, bukan hanya jumlah murid yang bertambah. Lebih dari itu, suasana belajar menjadi jauh lebih menyenangkan. “Yang paling penting adalah ruang kelas baru yang aman, atap yang tidak bocor, dan sarana toilet yang layak. Anak-anak jadi betah, guru juga lebih semangat. Lingkungan belajar yang nyaman memang membawa perbedaan besar,” tambahnya.

Perubahan ini terasa nyata bagi murid dan guru. Anak-anak kini bisa belajar dengan tenang tanpa harus kepanasan. Guru pun bisa fokus mengajar tanpa khawatir akan keterbatasan fasilitas. Sekolah bukan lagi tempat seadanya, melainkan ruang yang benar-benar layak untuk menumbuhkan mimpi.

Pendidikan adalah fondasi masa depan. Bangunan sekolah yang layak bukan hanya tembok dan atap, melainkan tempat yang menanamkan nilai, karakter, dan harapan. Setiap warna cerah di dinding RA Dwi Tunas Bangsa menjadi simbol semangat baru. Setiap tawa anak-anak adalah bukti bahwa akses pendidikan yang memadai benar-benar membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.

“Sekolah ini semoga menjadi penopang bagi anak-anak dalam meraih masa depan mereka. Kami ingin mereka tumbuh dengan percaya diri, sehat, dan berani bermimpi,” tutup Agustini dengan harapan besar.

Potret siswa-siswi RA Dwi Tunas Bangsa di depan ruang kelas baru hasil renovasi Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Dari lorong sederhana di Kabupaten Tangerang ini, kita belajar bahwa masa depan anak-anak tidak boleh dibatasi oleh kondisi bangunan yang rapuh. Dengan kolaborasi dan kepedulian, sekolah yang kokoh dan nyaman bisa menjadi pijakan awal bagi generasi penerus bangsa untuk melangkah lebih jauh.

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HU – HFHI MPM
Kisah Perubahan

Tak Lagi Malu, Tak Lagi Takut: Cerita Ibu Uri dengan Toilet Barunya

Hari itu, Ibu Uri (54) tak dapat menyembunyikan rasa syukurnya. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menanti, akhirnya ia memiliki sanitasi yang layak seperti kebanyakan keluarga lainnya. Matanya berkaca-kaca saat berdiri di depan bangunan mungil berwarna oranye yang kini berdiri kokoh di dalam rumah. “Ibu enggak pernah nyangka, baru kali ini bantuan untuk keluarga Ibu benar-benar nyata melalui pembangunan WC ini,” ucapnya pelan, seolah masih tak percaya. 

Selama lebih dari tiga dekade, Uri tinggal bersama putri semata wayangnya, Ella (30), dalam kondisi sanitasi yang jauh dari kata layak. Untuk mandi, mereka menggunakan ruang seadanya, hanya beralaskan plester semen. Sementara untuk buang air besar, mereka berbagi jamban sederhana berbahan kayu dan terpal plastik tanpa atap dengan empat keluarga lainnya. “Waktu dulu banyak enggak senangnya, Ujang. Takut kalau harus buang air malam-malam. Anak-anak minta ditemenin terus,” kenangnya. 

Cerita pilu itu juga membekas dalam ingatan Ella yang kini telah berkeluarga dan memiliki dua anak berusia sembilan dan lima tahun. Ia masih mengingat jelas momen saat sedang hamil anak keduanya. “Pernah waktu itu saya kepeleset karena licin. Kaki saya masuk ke dalam jambannya, sampai rubuh kayunya juga. Takut banget saya, nangis seada-adanya,” kisahnya. 

Kondisi toilet keluarga Ibu Uri yang tidak layak sebelum dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Musim hujan jadi momok tambahan. Lubang jamban yang meluap kerap mencemari halaman, menyebarkan bau menyengat dan memicu rasa malu. “Sering bau, apalagi kalau hujan, bisa banjir ke halaman. Kalau ada tamu, malu banget. Pernah tamu bilang, ‘Kok BAB-nya di empang sih?’ Nah, teteh sama Ibu malu banget,” ujar Ella. 

Persoalan sanitasi layak seperti yang dialami keluarga Uri dan Ella bukanlah kasus tunggal. Menurut data BPS 2024, sebanyak 89,38 persen keluarga di Kabupaten Tangerang memiliki akses terhadap toilet layak. Artinya, masih ada sekitar 10,62 persen keluarga yang belum memiliki fasilitas sanitasi memadai. 

Faktor ekonomi menjadi penghalang utama. Uri yang dulu bekerja sebagai buruh sampah, kini tak lagi mampu bekerja karena penyakit pernapasan. Sementara penghasilan keluarga hanya bersumber dari Ella yang bekerja sebagai buruh harian di pabrik produksi toples dengan upah sekitar Rp67.000,- per hari. Pendapatan ini pun habis untuk kebutuhan dasar seperti beras dan uang saku anak. Suami Uri, Acin, telah berpulang sejak Ella berusia delapan tahun. 

“Kalau bikin toilet mah, enggak akan pernah kebangun, Ujang. Boro-boro, buat makan aja susah,” tutur Uri lirih. Lalu ia menambahkan dengan nada penuh harap, “Saya tuh kepingin kaya orang-orang punya toilet yang bagus. Biar enggak malu lagi.” 

Ella, putri Ibu Uri, menunjukkan lokasi tempat ia pernah terjatuh saat menggunakan jamban di belakang rumahnya di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Habitat for Humanity Indonesia Bangun Akses Air Bersih di Gunung Kidul

Namun, kehidupan memang menyimpan kejutan. Kabar baik akhirnya datang ke pintu rumah Uri. Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPM) membangun toilet untuk keluarga Uri dan lima keluarga lainnya yang memiliki kondisi serupa di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang. 

Uri mengingat momen saat material bangunan pertama kali diantar ke rumahnya. “Ibu bersyukur sekali, Ujang. Ibu enggak pernah nyangka, apalagi waktu itu pertama kali barang material beneran datang ke rumah. Ibu kira ini bohongan ternyata beneran,” ucapnya sambil tersenyum lebar, menunjuk dinding toilet barunya yang berwarna oranye cerah. 

Ibu Uri membersihkan lantai toilet setelah Habitat for Humanity Indonesia dan PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk merenovasi fasilitas tersebut menjadi layak di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Toilet itu bukan sekadar bangunan. Ia mengubah pola hidup, memperbaiki kebiasaan, dan menghadirkan rasa aman. “Senangnya bukan main. Banyak perubahan, mulai dari kebiasaan sehari-hari sampai hidup kami yang jauh lebih bersih dan sehat,” ujar Ella penuh semangat. 

Tak ada lagi cerita takut keluar malam untuk buang air, tak ada lagi jamban meluap dan bau menyengat, dan yang paling penting, tak ada lagi rasa malu. “Anak-anak sekarang jauh lebih bersih, Mas. Jadi lebih sering mandi. Alhamdulillah, sekarang juga udah enggak pernah dia mengeluh bau atau gatal-gatal kaya sebelumnya,” ujar Ella dengan wajah berbinar. 

Potret kebahagiaan keluarga Ibu Uri setelah Habitat for Humanity Indonesia dan PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk membangun toilet layak di kediaman mereka di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Di balik dinding toilet sederhana itu, tumbuh harapan baru. Uri kini punya mimpi untuk memperbaiki rumahnya perlahan-lahan. “Pengennya benerin rumah, kan WC-nya udah bagus, sekarang tinggal rumahnya pelan-pelan mau dibagusin lagi,” ucapnya, memandangi rumah kecil yang jadi tempat berlindung keluarganya. 

Bagi sebagian keluarga, toilet mungkin tampak sederhana. Tapi bagi keluarga seperti Uri dan Ella, memiliki sanitasi yang layak adalah mimpi besar yang akhirnya jadi nyata. Toilet itu menjadi simbol harga diri, kenyamanan, dan kesehatan. 

Dari kisah keluarga kecil ini, kita diajak untuk menyadari bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari kebutuhan paling mendasar yakni, akses terhadap sanitasi yang layak. Dukung lebih banyak keluarga seperti Ibu Uri melalui: habitatindonesia.org/donate 

(kh/av)

HU – HFHI Arthawena – 01
Kisah Perubahan

Hadiah dari Doa yang Tak Pernah Putus

Potret keluarga Dewy Loek di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

“Jauh berbeda… saya tidak perlu menunduk lagi saat masuk rumah karena rumah kami yang kecil. Rumah ini lebih dari layak dan bagus sekali, ini keberkahan yang teramat besar untuk keluarga saya.” 

Begitulah yang disampaikan Pak Dewy Loek, dengan sorot mata penuh rasa syukur, saat ditemui tim Habitat for Humanity Indonesia di rumah barunya yang berdiri kokoh di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Ucapannya datang dari hati yang telah lama menahan harap. Sore itu, tim Habitat Indonesia tidak hanya berbincang tentang bangunan, tapi tentang hidup yang perlahan berubah. 

Bagi Pak Dewy, rumah ini adalah jawaban dari doa yang dipanjatkan selama bertahun-tahun. Sebelumnya, ia tinggal bersama istri dan dua anaknya di sebuah bangunan sederhana berbentuk persegi dengan lantai tanah, berdinding pelepah lontar, dan beratap alang-alang. Tak ada sekat, tak ada ventilasi, apalagi kamar mandi. Semua aktivitas dilakukan dalam satu ruangan sempit yang harus dibagi bersama. 

Saat musim kemarau, udara di dalam rumah terasa pengap dan panas menyengat. Tidak ada jendela yang bisa mengalirkan udara atau angin. Anak-anaknya sering kali terbangun karena tak tahan dengan hawa gerah. Namun saat musim hujan, kondisi menjadi jauh lebih sulit. Atap bocor di mana-mana, air masuk ke dalam rumah, dan lantai berubah menjadi lumpur. Tak jarang mereka harus memindahkan anak-anak dari tempat tidur di tengah malam karena kasur ikut basah. 

Rasa khawatir itu datang setiap hari. Pak Dewy tahu, rumah seperti itu bukan tempat yang aman untuk membesarkan anak-anak. Tapi sebagai buruh tani dan nelayan, ia tak punya banyak pilihan. Tabungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkan pun habis hanya untuk memperbaiki kerusakan yang tak pernah selesai. Di tengah keterbatasan, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa yang ia panjatkan setiap waktu. 

Yesi Saketu, istri dari Bapak Dewy Loek, berdiri di pintu depan rumah tidak layak huni miliknya sebelum menerima dukungan program rumah layak huni dari Habitat for Humanity Indonesia di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

Baca juga: Kini Tinggal di Rumah Layak Huni, Ratusan Keluarga di Gresik Siap Menata Masa Depan

Potret keluarga Dewy Loek di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

Sampai akhirnya, uluran tangan datang menjangkau. Melalui dukungan dari Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang, rumah baru pun dibangun. Rumah dengan dua kamar tidur, toilet layak, dan struktur yang kokoh. Dinding berwarna kuning cerah kini menggantikan pelepah dan alang-alang yang dulu menjadi pelindung mereka dari panas dan hujan. 

“Saya sendiri masih belum percaya,” kata Pak Dewy. “Rumah ini nyaman sekali. Anak-anak senang, mereka punya kamar sendiri. Tidak ada lagi cerita kasur basah atau tidur kegerahan.” 

Selama proses pembangunan, Pak Dewy tidak tinggal diam. Ia terlibat membantu tukang, mengangkat bahan bangunan, ikut menyiapkan makanan semampunya. Semua itu ia lakukan dengan semangat besar meski kondisi ekonomi keluarga masih terbatas. Baginya, rumah ini adalah hadiah yang ingin ia berikan sendiri untuk istri dan anak-anaknya. 

Kini, rumah itu berdiri dengan kokoh dan memberi banyak perubahan. Anak-anak bisa bermain dan belajar tanpa rasa takut. Istrinya, Yesi Saketu, juga merasa hidup lebih tenang. Mereka kini punya toilet bersih di dalam rumah, berbeda jauh dari kondisi dulu ketika harus buang air di tempat terbuka tanpa perlindungan. Rumah ini membawa kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. 

Tak hanya itu, untuk pertama kalinya, Pak Dewy mulai bisa menabung. Penghasilan yang sebelumnya habis untuk memperbaiki rumah kini bisa disisihkan demi pendidikan anak-anaknya. Ia menatap masa depan dengan keyakinan baru, dengan hati yang tak lagi dipenuhi rasa cemas. 

Keluarga Dewy Loek bersenda gurau di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project

Bagi keluarga Dewy, rumah ini bukan sekadar bangunan. Ini adalah titik awal kehidupan yang lebih baik. Tempat di mana anak-anak bisa tumbuh, belajar, dan bermimpi. Tempat di mana sepasang suami istri bisa beristirahat tanpa rasa takut akan atap yang runtuh atau lantai yang tergenang air. 

Dan sampai hari ini, Dewy tetap memanjatkan doa. Tapi kini bukan lagi untuk dirinya sendiri. Ia berdoa agar saudara-saudaranya yang lain, yang masih hidup dalam bayang-bayang atap rapuh dan dinding retak, juga diberkati dengan rumah yang layak. Rumah yang bisa menjadi tempat berlabuh harapan, seperti rumah yang kini ia miliki. 

Kisah Pak Dewy adalah satu dari banyak suara yang selama ini terpendam dalam rumah-rumah yang tak layak. Suara yang kini mulai terdengar ketika ada yang peduli, ketika ada yang memilih untuk bertindak. Masih banyak keluarga lain yang menunggu harapan yang sama, tempat tinggal yang aman, sehat, dan layak untuk tumbuh bersama orang-orang tercinta.  

Jika kisah ini menyentuhmu, kamu juga bisa menjadi bagian dari perjalanan perubahan ini. Temukan caranya di habitatindonesia.org/donate, karena rumah yang layak seharusnya bukan menjadi impian, melainkan kenyataan untuk semua keluarga. 

(kh/av)