Hari itu, Ibu Uri (54) tak dapat menyembunyikan rasa syukurnya. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menanti, akhirnya ia memiliki sanitasi yang layak seperti kebanyakan keluarga lainnya. Matanya berkaca-kaca saat berdiri di depan bangunan mungil berwarna oranye yang kini berdiri kokoh di dalam rumah. “Ibu enggak pernah nyangka, baru kali ini bantuan untuk keluarga Ibu benar-benar nyata melalui pembangunan WC ini,” ucapnya pelan, seolah masih tak percaya.
Selama lebih dari tiga dekade, Uri tinggal bersama putri semata wayangnya, Ella (30), dalam kondisi sanitasi yang jauh dari kata layak. Untuk mandi, mereka menggunakan ruang seadanya, hanya beralaskan plester semen. Sementara untuk buang air besar, mereka berbagi jamban sederhana berbahan kayu dan terpal plastik tanpa atap dengan empat keluarga lainnya. “Waktu dulu banyak enggak senangnya, Ujang. Takut kalau harus buang air malam-malam. Anak-anak minta ditemenin terus,” kenangnya.
Cerita pilu itu juga membekas dalam ingatan Ella yang kini telah berkeluarga dan memiliki dua anak berusia sembilan dan lima tahun. Ia masih mengingat jelas momen saat sedang hamil anak keduanya. “Pernah waktu itu saya kepeleset karena licin. Kaki saya masuk ke dalam jambannya, sampai rubuh kayunya juga. Takut banget saya, nangis seada-adanya,” kisahnya.
Kondisi toilet keluarga Ibu Uri yang tidak layak sebelum dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Musim hujan jadi momok tambahan. Lubang jamban yang meluap kerap mencemari halaman, menyebarkan bau menyengat dan memicu rasa malu. “Sering bau, apalagi kalau hujan, bisa banjir ke halaman. Kalau ada tamu, malu banget. Pernah tamu bilang, ‘Kok BAB-nya di empang sih?’ Nah, teteh sama Ibu malu banget,” ujar Ella.
Persoalan sanitasi layak seperti yang dialami keluarga Uri dan Ella bukanlah kasus tunggal. Menurut data BPS 2024, sebanyak 89,38 persen keluarga di Kabupaten Tangerang memiliki akses terhadap toilet layak. Artinya, masih ada sekitar 10,62 persen keluarga yang belum memiliki fasilitas sanitasi memadai.
Faktor ekonomi menjadi penghalang utama. Uri yang dulu bekerja sebagai buruh sampah, kini tak lagi mampu bekerja karena penyakit pernapasan. Sementara penghasilan keluarga hanya bersumber dari Ella yang bekerja sebagai buruh harian di pabrik produksi toples dengan upah sekitar Rp67.000,- per hari. Pendapatan ini pun habis untuk kebutuhan dasar seperti beras dan uang saku anak. Suami Uri, Acin, telah berpulang sejak Ella berusia delapan tahun.
“Kalau bikin toilet mah, enggak akan pernah kebangun, Ujang. Boro-boro, buat makan aja susah,” tutur Uri lirih. Lalu ia menambahkan dengan nada penuh harap, “Saya tuh kepingin kaya orang-orang punya toilet yang bagus. Biar enggak malu lagi.”
Ella, putri Ibu Uri, menunjukkan lokasi tempat ia pernah terjatuh saat menggunakan jamban di belakang rumahnya di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Namun, kehidupan memang menyimpan kejutan. Kabar baik akhirnya datang ke pintu rumah Uri. Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPM) membangun toilet untuk keluarga Uri dan lima keluarga lainnya yang memiliki kondisi serupa di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang.
Uri mengingat momen saat material bangunan pertama kali diantar ke rumahnya. “Ibu bersyukur sekali, Ujang. Ibu enggak pernah nyangka, apalagi waktu itu pertama kali barang material beneran datang ke rumah. Ibu kira ini bohongan ternyata beneran,” ucapnya sambil tersenyum lebar, menunjuk dinding toilet barunya yang berwarna oranye cerah.
Ibu Uri membersihkan lantai toilet setelah Habitat for Humanity Indonesia dan PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk merenovasi fasilitas tersebut menjadi layak di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Toilet itu bukan sekadar bangunan. Ia mengubah pola hidup, memperbaiki kebiasaan, dan menghadirkan rasa aman. “Senangnya bukan main. Banyak perubahan, mulai dari kebiasaan sehari-hari sampai hidup kami yang jauh lebih bersih dan sehat,” ujar Ella penuh semangat.
Tak ada lagi cerita takut keluar malam untuk buang air, tak ada lagi jamban meluap dan bau menyengat, dan yang paling penting, tak ada lagi rasa malu. “Anak-anak sekarang jauh lebih bersih, Mas. Jadi lebih sering mandi. Alhamdulillah, sekarang juga udah enggak pernah dia mengeluh bau atau gatal-gatal kaya sebelumnya,” ujar Ella dengan wajah berbinar.
Potret kebahagiaan keluarga Ibu Uri setelah Habitat for Humanity Indonesia dan PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk membangun toilet layak di kediaman mereka di Rajeg, Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Di balik dinding toilet sederhana itu, tumbuh harapan baru. Uri kini punya mimpi untuk memperbaiki rumahnya perlahan-lahan. “Pengennya benerin rumah, kan WC-nya udah bagus, sekarang tinggal rumahnya pelan-pelan mau dibagusin lagi,” ucapnya, memandangi rumah kecil yang jadi tempat berlindung keluarganya.
Bagi sebagian keluarga, toilet mungkin tampak sederhana. Tapi bagi keluarga seperti Uri dan Ella, memiliki sanitasi yang layak adalah mimpi besar yang akhirnya jadi nyata. Toilet itu menjadi simbol harga diri, kenyamanan, dan kesehatan.
Dari kisah keluarga kecil ini, kita diajak untuk menyadari bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari kebutuhan paling mendasar yakni, akses terhadap sanitasi yang layak. Dukung lebih banyak keluarga seperti Ibu Uri melalui: habitatindonesia.org/donate
Potret keluarga Dewy Loek di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project
“Jauh berbeda… saya tidak perlu menunduk lagi saat masuk rumah karena rumah kami yang kecil. Rumah ini lebih dari layak dan bagus sekali, ini keberkahan yang teramat besar untuk keluarga saya.”
Begitulah yang disampaikan Pak Dewy Loek, dengan sorot mata penuh rasa syukur, saat ditemui tim Habitat for Humanity Indonesia di rumah barunya yang berdiri kokoh di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Ucapannya datang dari hati yang telah lama menahan harap. Sore itu, tim Habitat Indonesia tidak hanya berbincang tentang bangunan, tapi tentang hidup yang perlahan berubah.
Bagi Pak Dewy, rumah ini adalah jawaban dari doa yang dipanjatkan selama bertahun-tahun. Sebelumnya, ia tinggal bersama istri dan dua anaknya di sebuah bangunan sederhana berbentuk persegi dengan lantai tanah, berdinding pelepah lontar, dan beratap alang-alang. Tak ada sekat, tak ada ventilasi, apalagi kamar mandi. Semua aktivitas dilakukan dalam satu ruangan sempit yang harus dibagi bersama.
Saat musim kemarau, udara di dalam rumah terasa pengap dan panas menyengat. Tidak ada jendela yang bisa mengalirkan udara atau angin. Anak-anaknya sering kali terbangun karena tak tahan dengan hawa gerah. Namun saat musim hujan, kondisi menjadi jauh lebih sulit. Atap bocor di mana-mana, air masuk ke dalam rumah, dan lantai berubah menjadi lumpur. Tak jarang mereka harus memindahkan anak-anak dari tempat tidur di tengah malam karena kasur ikut basah.
Rasa khawatir itu datang setiap hari. Pak Dewy tahu, rumah seperti itu bukan tempat yang aman untuk membesarkan anak-anak. Tapi sebagai buruh tani dan nelayan, ia tak punya banyak pilihan. Tabungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkan pun habis hanya untuk memperbaiki kerusakan yang tak pernah selesai. Di tengah keterbatasan, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa yang ia panjatkan setiap waktu.
Yesi Saketu, istri dari Bapak Dewy Loek, berdiri di pintu depan rumah tidak layak huni miliknya sebelum menerima dukungan program rumah layak huni dari Habitat for Humanity Indonesia di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project
Potret keluarga Dewy Loek di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project
Sampai akhirnya, uluran tangan datang menjangkau. Melalui dukungan dari Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang, rumah baru pun dibangun. Rumah dengan dua kamar tidur, toilet layak, dan struktur yang kokoh. Dinding berwarna kuning cerah kini menggantikan pelepah dan alang-alang yang dulu menjadi pelindung mereka dari panas dan hujan.
“Saya sendiri masih belum percaya,” kata Pak Dewy. “Rumah ini nyaman sekali. Anak-anak senang, mereka punya kamar sendiri. Tidak ada lagi cerita kasur basah atau tidur kegerahan.”
Selama proses pembangunan, Pak Dewy tidak tinggal diam. Ia terlibat membantu tukang, mengangkat bahan bangunan, ikut menyiapkan makanan semampunya. Semua itu ia lakukan dengan semangat besar meski kondisi ekonomi keluarga masih terbatas. Baginya, rumah ini adalah hadiah yang ingin ia berikan sendiri untuk istri dan anak-anaknya.
Kini, rumah itu berdiri dengan kokoh dan memberi banyak perubahan. Anak-anak bisa bermain dan belajar tanpa rasa takut. Istrinya, Yesi Saketu, juga merasa hidup lebih tenang. Mereka kini punya toilet bersih di dalam rumah, berbeda jauh dari kondisi dulu ketika harus buang air di tempat terbuka tanpa perlindungan. Rumah ini membawa kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Tak hanya itu, untuk pertama kalinya, Pak Dewy mulai bisa menabung. Penghasilan yang sebelumnya habis untuk memperbaiki rumah kini bisa disisihkan demi pendidikan anak-anaknya. Ia menatap masa depan dengan keyakinan baru, dengan hati yang tak lagi dipenuhi rasa cemas.
Keluarga Dewy Loek bersenda gurau di halaman rumah layak huni mereka, yang dibangun bersama Habitat for Humanity Indonesia dan PT Arthawenasakti Gemilang di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Kupang Site Project
Bagi keluarga Dewy, rumah ini bukan sekadar bangunan. Ini adalah titik awal kehidupan yang lebih baik. Tempat di mana anak-anak bisa tumbuh, belajar, dan bermimpi. Tempat di mana sepasang suami istri bisa beristirahat tanpa rasa takut akan atap yang runtuh atau lantai yang tergenang air.
Dan sampai hari ini, Dewy tetap memanjatkan doa. Tapi kini bukan lagi untuk dirinya sendiri. Ia berdoa agar saudara-saudaranya yang lain, yang masih hidup dalam bayang-bayang atap rapuh dan dinding retak, juga diberkati dengan rumah yang layak. Rumah yang bisa menjadi tempat berlabuh harapan, seperti rumah yang kini ia miliki.
Kisah Pak Dewy adalah satu dari banyak suara yang selama ini terpendam dalam rumah-rumah yang tak layak. Suara yang kini mulai terdengar ketika ada yang peduli, ketika ada yang memilih untuk bertindak. Masih banyak keluarga lain yang menunggu harapan yang sama, tempat tinggal yang aman, sehat, dan layak untuk tumbuh bersama orang-orang tercinta.
Jika kisah ini menyentuhmu, kamu juga bisa menjadi bagian dari perjalanan perubahan ini. Temukan caranya di habitatindonesia.org/donate, karena rumah yang layak seharusnya bukan menjadi impian, melainkan kenyataan untuk semua keluarga.
Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Bumi Resources Tbk hadirkan akses air bersih bagi 200 keluarga dan delapan fasilitas umum, demi mendukung kehidupan yang lebih sehat dan bermartabat.
Iah Muliati bersama putrinya sedang mencuci pakaian menggunakan fasilitas akses air bersih yang telah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia dan PT Bumi Resources Tbk di Kampung Wangun 2, Bogor (9/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Matahari pagi menyapa hangat Kampung Wangun 2, sebuah permukiman kecil di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Sinar lembutnya menembus sela-sela dedaunan, menari-nari di atas genting rumah-rumah warga, sebelum akhirnya jatuh perlahan ke wajah seorang ibu yang tengah menunduk mencuci pakaian bersama anak perempuannya.
Iah Muliati namanya. Di bawah gemercik air yang mengalir dari kran rumahnya, senyum Muliati mengembang lebar. Hari itu terasa berbeda. Ada ketenangan yang sulit ia sembunyikan dan di balik matanya yang berbinar, tumbuh keyakinan bahwa masa depan anak-anaknya akan jauh lebih baik.
Sudah lama sekali Muliati mendambakan momen seperti ini. Bertahun-tahun, air bersih menjadi kemewahan yang sulit dijangkau di kampungnya. Padahal, mereka tinggal di daerah yang tampaknya subur dan hijau, dikelilingi oleh perbukitan yang seharusnya menjadi sumber kehidupan. Namun nyatanya, untuk mendapatkan air bersih saja, warga harus berjibaku dengan sistem distribusi yang tidak menentu. Muliati tersenyum dan berkata, “Ibu bersyukur sekarang punya air bersih yang mengalir langsung ke kran rumah Ibu. Airnya kenceng, bening, engga keruh kayak sebelumnya.”
Cerita tentang Muliati adalah satu dari sekian banyak kisah warga Kampung Wangun 2 yang selama ini bergelut dengan persoalan mendasar yaitu akses terhadap air bersih. Sumber mata air yang mereka miliki dikelola secara swadaya, dengan pipa-pipa plastik seadanya yang dipasang tanpa perencanaan matang. Sistemnya tidak terkoordinasi dengan baik. Aksesnya pun tidak merata. Ada yang mendapat limpahan air, tetapi tak sedikit pula yang harus sabar menunggu giliran atau bahkan tidak mendapat sama sekali.
Aliran sungai kecil yang menjadi sumber mata air warga Kampung Wangun 2, Bogor (9/1). Sumber mata air ini dikelola secara mandiri tanpa perencanaan matang dengan menggunakan pipa-pipa plastik, sehingga distribusi air tidak merata ke seluruh warga. Foto: HFHI/Kevin Herbian
“Di sini untuk air itu sangat susah, Mas, apalagi ditambah musim kemarau,” cerita Muliati, mengenang masa-masa paling sulit yang harus dilalui. Ia lalu menambahkan, “Adanya air itu tidak merata. Jadi sebagian enggak dapat, yang sebagian lagi dapat tapi itu juga airnya sedikit banget.”
Muliati tak akan pernah lupa bagaimana ia dan keluarganya pernah harus bertahan tanpa air selama empat hari. Dengan suara pelan, Muliati bercerita, “Ibu sekeluarga juga ngalamin enggak ada air selama empat hari. Terpaksa ibu harus ngeluarin uang untuk beli dua air galon, lima ribu per galonnya. Uang sepuluh ribu ini seharusnya bisa dipakai untuk beli beras, tapi karena enggak ada air jadi uang beli berasnya terpaksa dipotong.”
Bagi keluarga seperti Muliati, situasi itu sangat memukul ekonomi rumah tangga. Air menjadi kebutuhan mahal. Ironisnya, sulit dijangkau meski tinggal dekat dengan alam. Mereka harus berhemat, menampung air jika tersedia, dan tetap memenuhi kebutuhan hidup dari minum hingga memasak dan mencuci.
Tim Habitat for Humanity Indonesia melakukan pendataan dan mendengarkan aspirasi warga Kampung Wangun 2, Bogor, terkait keterbatasan akses air bersih (17/4). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Namun pada awal tahun 2025, angin perubahan mulai berembus ke Kampung Wangun 2. Habitat for Humanity Indonesia berkolaborasi dengan PT Bumi Resources Tbk berupaya menghadirkan program penyediaan akses air bersih.
Ini bukan sekadar bantuan satu arah. Ratusan warga dilibatkan secara aktif, mulai dari tahap survei, pendataan kebutuhan, hingga proses pembangunan infrastruktur air bersih.
Gotong royong menjadi semangat utama dalam program ini. Warga bersama-sama membangun empat bak utama yaitu bak intake, bak pengolahan, bak pemecah tekan, dan bak reservoir. Mereka juga menyambungkan jaringan pipa HDPE (High-Density Polyethylene) berukuran dua inci, satu inci, dan setengah inci sepanjang lebih dari delapan kilometer dari mata air hingga ke setiap rumah yang tersebar di empat RT.
Gotong royong warga Kampung Wangun 2, Bogor, menyambungkan pipa HDPE dalam upaya penyediaan akses air bersih (2/5). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Kini, air bersih telah mengalir ke lebih dari 200 sambungan rumah dan 8 fasilitas umum seperti empat mushola, dua majelis, satu masjid, dan satu sekolah yang digunakan oleh ratusan siswa setiap hari. Setiap tetes air yang keluar dari meteran berwarna kuning menjadi bukti nyata kerja keras dan kebersamaan warga.
Bagi PT Bumi Resources Tbk, keberhasilan ini bukan hanya soal angka atau jumlah sambungan yang tercapai. Lebih dari itu, ini adalah bentuk nyata dari komitmen perusahaan dalam mendukung kehidupan yang lebih layak dan berkelanjutan bagi masyarakat.
“Kami percaya bahwa akses terhadap air bersih adalah hak dasar setiap manusia. Melalui kerja sama ini, kami ingin memastikan bahwa kontribusi perusahaan bisa memberi dampak langsung bagi kehidupan masyarakat, terutama di desa-desa yang sebelumnya menghadapi kesulitan akses air,” ujar Tofan Wibisono, Senior Manager Sustainability and CSR PT Bumi Resources Tbk saat memberikan sambutan acara penutupan Program Penyediaan Akses Air Bersih di Kampung Wangun 2, Bogor pada Kamis (17/7/2025).
Ia menambahkan, kolaborasi semacam ini bukan hanya tentang memberikan bantuan, tetapi tentang membangun kepercayaan dan kemandirian. “Kami sangat mengapresiasi semangat gotong royong yang ditunjukkan warga Kampung Wangun 2. Ini menunjukkan bahwa ketika komunitas dilibatkan sejak awal, hasilnya bisa jauh lebih berkelanjutan dan berdaya,” lanjutnya.
Simbolis penyerahan fasilitas akses air bersih oleh PT Bumi Resources Tbk kepada Komite Air Sejahtera Bersama di Kampung Wangun 2, Bogor (17/7). Foto: HFHI/Edwyn Tarore
Project Coordinator Habitat Indonesia, Haifa Nadira, menekankan bahwa program ini tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik. Ia mengatakan, “Sebagian besar infrastruktur dibangun sendiri oleh warga. Kami ingin memastikan bahwa mereka tak hanya menjadi penerima manfaat, tapi juga pengelola utama keberlanjutan sistem air ini.”
Untuk mendukung keberlanjutan itu, dibentuklah Komite Air Sejahtera Bersama yang terdiri dari tiga belas warga terpilih. Mereka bekerja tanpa bayaran, menjaga sistem, mengelola tarif, dan memastikan distribusi air berjalan lancar setiap hari. Bagi komite, tanggung jawab ini bukan sekadar tugas teknis, tetapi juga bentuk komitmen terhadap masa depan desa.
Eman, ketua komite, menuturkan, “Kami sadar, punya fasilitas bukan berarti selesai. Yang penting justru bagaimana kami menjaganya. Kami rutin mengecek pipa, memastikan tidak ada kebocoran, dan mengingatkan warga untuk menggunakan air dengan bijak. Harapan kami, fasilitas ini bisa tetap berfungsi puluhan tahun ke depan, asalkan dirawat bersama-sama.”
Tim Komite Air Sejahtera Bersama melakukan pengecekan rutin fasilitas akses air bersih yang telah dibangun Habitat for Humanity Indonesia dan PT Bumi Resources Tbk di Kampung Wangun 2, Bogor (9/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Tak berhenti di sana, program ini juga menyentuh aspek edukasi dan perubahan perilaku. Habitat Indonesia mengadakan pelatihan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) bagi dua ratus keluarga penerima manfaat. Dalam pelatihan ini, warga diajak bermain ular tangga bertema sanitasi, belajar enam langkah mencuci tangan, dan mengikuti kuis interaktif tentang mitos dan fakta kebersihan. Edukasi ini dirancang menyenangkan agar mudah diterima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tami, salah satu warga yang mengikuti pelatihan, merasakan sendiri manfaatnya. “Saya sekarang lebih paham tentang kebersihan keluarga. Ternyata hal-hal kecil yang selama ini saya anggap sepele berdampak besar. Misalnya, cara mencuci tangan yang benar atau cara menyimpan air minum yang higienis. Saya akan lebih berhati-hati menjaga kebersihan di rumah agar anak-anak tidak mudah sakit,” ujarnya.
Program ini juga mengajarkan warga tentang konservasi lingkungan. Sebanyak 70 pohon ditanam di sekitar mata air, bak penampung, dan kawasan pemukiman. Langkah ini menjadi bentuk tanggung jawab ekologis untuk menjaga keberlangsungan mata air dan mencegah risiko erosi serta kekeringan di masa depan.
Tak ketinggalan, Habitat Indonesia juga menerjunkan tim enumerator ke lapangan untuk melakukan survei sosial dan teknis secara langsung. Mereka memastikan bahwa semua intervensi yang dilakukan benar-benar menjawab kebutuhan warga dan mampu memberikan dampak yang berkelanjutan.
Antusiasme warga Kampung Wangun 2, Bogor, saat mengikuti pelatihan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) (2/5). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Apa yang terjadi di Kampung Wangun 2 merupakan kelanjutan dari keberhasilan program sebelumnya di Kampung Wangun Cileungsi. Sebanyak 152 rumah dan 7 fasilitas umum telah lebih dulu menerima akses air bersih.
Kepala Desa Karang Tengah, Suhandi Widipranata, turut menyampaikan rasa terima kasihnya atas keberlanjutan program yang telah membawa perubahan nyata di desanya. “Ini sudah yang kedua kalinya Habitat dan Bumi Resources hadir menjawab persoalan air bersih di wilayah kami. Saya sangat bersyukur karena kehadiran program ini benar-benar berdampak besar bagi warga. Harapan saya, fasilitas yang sudah dibangun ini bisa terus dijaga bersama agar manfaatnya bisa dirasakan hingga generasi cucu-cucu kami nanti,” ujarnya penuh harap.
Masa Depan Dimulai
Bagi Muliati, perubahan yang terjadi hari ini sangatlah nyata. Ia menceritakan dengan antusias, “Yakan enak tuh kalau udah ada air seperti ini. Ibu pakai buat nyuci, buat mandi, buat direbus juga airnya bagus. Layak dikonsumsi, soalnya kata Pak RT airnya udah diuji lab.” tuturnya. “Sekarang ibu udah enggak perlu ngeluarin uang lagi. Ibu bisa pakai untuk keperluan lain, bahkan sedikit menabung.”
Matanya menerawang jauh. Muliati membayangkan masa depan yang lebih ringan, di mana anak-anak dan cucunya tak lagi harus bersusah payah hanya untuk mendapatkan air bersih. “Ibu yakin air ini berkah. Untuk anak-anak Ibu nanti juga.”
Apa yang dilakukan oleh Habitat for Humanity Indonesia dan PT Bumi Resources Tbk di Desa Karang Tengah bukan sekadar pembangunan infrastruktur. Ini adalah investasi jangka panjang bagi kehidupan. Setiap tetes air yang kini mengalir dari kran bukan hanya menjawab kebutuhan fisik, tetapi juga menyuburkan harapan, menyehatkan generasi, dan menumbuhkan semangat gotong royong sebagai fondasi sosial yang kokoh.
Dari kaki perbukitan Kampung Wangun 2, kita belajar satu hal yang sederhana tapi mendalam. Bahwa perubahan besar bisa dimulai dari sesuatu yang paling mendasar yaitu air bersih. Dan dari air yang jernih itu, mengalir pula masa depan yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih manusiawi.