logotype
Donate
HFHI – Climate
Kabar Habitat

Dorong Strategi “Climate Resilient Housing 2030”, Habitat for Humanity Indonesia Gandeng Kolaborasi Lintas Sektor

Jakarta, 23 Desember 2025 – Perumahan yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan nasional bagi Indonesia. Sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia, Kementerian Kesehatan RI melalui Pusat Krisis Kesehatan menyatakan bahwa hampir 80% bencana di Indonesia terkait hidroklimatologi (banjir, tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, angin puting beliung, gelombang pasang/badai). Dampak ini sangat memukul masyarakat terutama wanita di permukiman informal dengan dampak kesehatan dan biaya hidup akibat kekeringan, kenaikan suhu dan naiknya permukaan laut.

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, menyampaikan dalam media briefing Kemenkeu (29 Mei 2024) tanpa langkah adaptasi serius, perubahan iklim diproyeksikan merugikan Indonesia hingga 2,87% dari PDB setiap tahunnya pada 2045.

Dalam sambutannya, Handoko Ngadiman (Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia) menyatakan, “Bagi keluarga besar Habitat for Humanity, perumahan tangguh iklim bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Program pemerintah untuk membangun 3 juta rumah per tahun adalah peluang strategis untuk memasukkan prinsip ketangguhan dan desain adaptif iklim ke dalam kebijakan. Selain itu, kami menyadari pentingnya skema pembiayaan yang inklusif dan fleksibel—seperti pembiayaan mikro dan peningkatan rumah secara bertahap—agar keluarga berpenghasilan rendah, rumah tangga yang dikepalai perempuan, dan kelompok rentan tidak tertinggal. Pembiayaan yang inklusif ini juga diperlukan untuk membiayai perbaikan rumah menjadi adaptif terhadap iklim.”

Kolaborasi Strategis dan Kebijakan

Lokakarya yang dimoderatori oleh Dr. Saut Sagala (Global Resilience Specialist dari RDI dan Associate Professor dari ITB) menghadirkan para pakar dari berbagai institusi untuk menyelaraskan kebijakan adaptasi. Berdasarkan hasil curah gagasan, lokakarya ini merumuskan beberapa Temuan Kunci:

  • Ketahanan iklim di bidang perumahan telah dimandatkan dalam RPJPN-RPJMN dan terhubung dengan sektor air, sanitasi, serta tata ruang hingga level rumah tangga.
  • Implementasi di tingkat tapak masih belum konsisten meskipun perumahan merupakan bagian penting agenda adaptasi nasional.
  • Desain “passive cooling” berbasis kondisi lokal (seperti hasil kajian di Desa Wunung, Kabupaten Gunung Kidul) efektif meningkatkan kualitas udara dan kesejukan rumah.

“Program pembangunan rumah nasional merupakan peluang unik untuk memasukkan desain adaptif iklim ke dalam kebijakan pemerintah. Kita perlu memastikan adanya enabler berupa kerangka kerja dan regulasi yang mendukung keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, agar target hunian layak dan tangguh tahun 2030 dapat tercapai,” Ira Lubis, ST., MIDP, Koordinator Bidang Perumahan, Kementerian PPN/Bappenas, menekankan pentingnya integrasi kebijakan

Khairunnisa Destyany Qatrunnada, S.Si., Staf Ahli Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, mewakili Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup, menambahkan terkait aspek mitigasi dan adaptasi, “Mengadaptasi bangunan untuk menghadapi perubahan iklim dan mengurangi emisi adalah dua hal yang saling memperkuat. Kami mendukung langkah-langkah teknis seperti penggunaan material rendah karbon dan sistem drainase yang lebih baik untuk menjaga kohesi komunitas di lokasi asli mereka.” Selain itu, Prof. Ir. Suparwoko, MURP., Ph.D. (Universitas Islam Indonesia), juga menyoroti pentingnya panduan teknis perumahan adaptif yang kontekstual bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Ekosistem Pembiayaan dan Ekonomi Sirkular

Lokakarya ini juga membahas inovasi finansial bersama Tadianto Slamet Saputro dari Komida, yang menekankan pentingnya indikator ketangguhan yang dirancang secara bertahap agar peningkatan rumah tetap terjangkau bagi komunitas MBR. Di sisi lain, Novita Tan (Co-founder dan CEO Rebricks) memaparkan potensi ekonomi sirkular dalam sektor konstruksi untuk mengurangi risiko iklim sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.

Rekomendasi Utama Lokakarya

Sebagai hasil dari diskusi intensif, Habitat for Humanity Indonesia merangkum rekomendasi berikut:

  • Pendekatan Berbasis Bukti: Mengutamakan evidence-based design dengan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi pada program perumahan MBR.
  • Inklusi Komunitas: Memprioritaskan intervensi dengan pemanfaatan material lokal dan penguatan kapasitas tukang setempat melalui pelatihan.
  • Pilot Project: Melaksanakan studi percontohan untuk menguji efektivitas panduan teknis di berbagai wilayah, terutama di wilayah rawan bencana.

Habitat for Humanity Indonesia berharap hasil lokakarya ini menjadi landasan kolaborasi jangka panjang melalui skema Public Private Partnership (PPP) demi mewujudkan hunian yang tangguh bagi masa depan Indonesia.

(av/as)

HFHI – DR Sumatera
Kabar Habitat

Awali Program Pemulihan Pasca Banjir Sumatera, Habitat for Humanity Indonesia Lakukan Kajian Cepat Pascabencana di Sibolga

Sibolga, 12 Desember 2025 – Lebih dari dua pekan pasca banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Sumatera, puluhan ribu keluarga masih berada dalam kondisi sulit. Lebih dari 157.800 rumah rusak dan ratusan ribu warga masih mengungsi (BNPB, 12 Desember 2025). Di banyak titik, warga belum dapat kembali karena kondisi lingkungan yang belum aman dan rumah yang hancur diterjang material longsor.

Di Kota Sibolga, Sumatera Utara, dampak kerusakan juga sangat besar. Menurut laporan BPBD Kota Sibolga per 12 Desember 2025, sedikitnya 7.276 jiwa mengungsi, sementara 665 rumah mengalami kerusakan, baik ringan, sedang, maupun berat. Situasi ini membuat kebutuhan akan hunian, sanitasi, dan akses air bersih semakin mendesak, terutama di wilayah yang berada dekat tebing perbukitan dan bantaran sungai.

Asesmen di Lokasi Paling Terdampak

Sejak 10 Desember 2025, tim Habitat for Humanity Indonesia telah berada di Sibolga untuk melakukan asesmen cepat (rapid assessment) guna memetakan kebutuhan mendesak masyarakat khususnya rumah layak huni. Fokus utama pencatatan awal dilakukan di wilayah yang mengalami kerusakan terparah, yaitu Kecamatan Sibolga Utara, meliputi Kelurahan Simare Mare, Angin Nauli, dan Huta Tonga Tonga.

Di Kelurahan Simare Mare, tim menemukan puluhan rumah hancur tersapu banjir bandang dan longsoran material kayu serta batu dari bukit. Banyak keluarga harus meninggalkan rumah tanpa sempat menyelamatkan barang-barang mereka.

Riang (43), salah satu penyintas yang kini mengungsi di gedung Bank Indonesia, menggambarkan detik-detik terjadinya bencana. “Seharian itu hujan deras dan mati lampu. Sekitar setengah satu malam, saya dengar suara gemuruh batu. Saat itu juga kami lari ke bawah, tak sempat selamatkan apa pun. Rumah saya hancur…,” ujarnya.

Kerusakan juga terjadi di Kelurahan Angin Nauli, di mana sejumlah rumah berdiri di atas daerah aliran sungai (DAS) dan tepi Sungai Aek Doras. Saat banjir bandang pada 25 November 2025, material lumpur, batu, dan kayu menyapu wilayah tersebut dan memicu gelombang air dari bukit menuju dataran rendah. Rumah-rumah mengalami kerusakan beragam dari ringan hingga sedang.

Pilu mendalam juga dirasakan warga Kelurahan Huta Tonga Tonga. Sebanyak 71 kepala keluarga terdampak, dan 51 rumah mengalami rusak berat setelah material pasir setinggi 1,5–2 meter masuk dan menimbun bagian dalam rumah mereka.

Ronald (55), salah satu warga yang memilih bertahan di rumahnya yang hampir tertutup pasir, bercerita kepada tim Habitat for Humanity Indonesia, “Saya tidur di atas sisa kasur yang sudah hampir menyentuh atap. Saya tetap tinggal karena ingin jaga rumah, takut barang dijarah. Tapi tiap hari pasir makin naik… rumah ini hampir tertimbun.”

Cerita para penyintas menggambarkan betapa tingginya kebutuhan akan bantuan pemulihan rumah dan pembersihan lingkungan di Sibolga.

Habitat Indonesia Siapkan Intervensi Dua Tahun untuk Pemulihan Sibolga

Berdasarkan hasil asesmen dan koordinasi di lapangan, Habitat for Humanity Indonesia merencanakan intervensi pemulihan selama dua tahun di Kota Sibolga dan wilayah sekitarnya.

Di tahun pertama, Habitat Indonesia akan berfokus pada dukungan darurat dan perbaikan dasar bagi keluarga terdampak, meliputi:

  • Distribusi shelter kit untuk 500 keluarga
  • Dukungan rubble removal equipment/assistance untuk membantu pembersihan material longsor
  • Perbaikan 500 rumah dengan penguatan struktur (retrofitting)
  • Pengembalian akses sanitasi dan air bersih (WASH)
  • Pelatihan WASH dan Build Back Safer untuk komunitas

Di tahun kedua, Habitat Indonesia akan membangun kembali 300 rumah layak huni berbasis kawasan bagi keluarga terdampak, dengan standar ketahanan lebih baik agar risiko bencana dapat diminimalkan di masa depan.

Upaya ini dilakukan sebagai bentuk komitmen Habitat Indonesia untuk membantu para penyintas kembali memiliki tempat tinggal yang aman, layak, dan bermartabat.

#Bersama, Bangun Sumatera

Di tengah masa-masa sulit ini, dukungan dari berbagai pihak sangat berarti. Habitat for Humanity Indonesia mengajak masyarakat dari berbagai elemen, baik individu, korporasi, dan para mitra untuk turut serta dalam proses pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan keluarga terdampak bencana di Sibolga.

Bagi Sahabat Habitat yang ingin berpartisipasi dalam misi kemanusiaan ini, donasi dapat disalurkan melalui BCA: 210-3002-958 (Habitat Kemanusiaan Ind Yay). Informasi lebih lengkap dapat dilihat pada flyer di bawah.

Foto & Penulis: HFHI/Kevin Herbian

(kh/av)

HFHI – Pakuwon
Kabar Habitat

Habitat for Humanity Indonesia dan Pakuwon Group Lanjutkan Kolaborasi Bangun Hunian Layak di Gresik

Gresik, 11 Desember 2025 – Habitat for Humanity Indonesia bersama Pakuwon Group kembali melanjutkan komitmen bersama dalam memberikan dampak nyata bagi masyarakat, khususnya untuk mengurangi angka jutaan keluarga yang masih tinggal di hunian tidak layak.  

Upaya ini diperkuat melalui program CSR Pakuwon Group yang pada tahun ini diarahkan untuk pembangunan 21 unit rumah layak huni di Desa Campurejo, Panceng, Kabupaten Gresik. Pembangunan tersebut secara resmi dimulai dengan seremoni peletakan batu pertama pada Kamis (4/12) lalu. 

Pada kesempatan ini, Bupati Gresik yang diwakili Staf Ahli Bupati Bidang Fisik dan Prasarana, Johar Gunawan, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap sinergi yang terbangun dalam program ini. Ia menegaskan bahwa peningkatan kualitas permukiman menjadi komitmen serius Pemerintah Kabupaten Gresik.  

Berdasarkan data Dinas Cipta Karya, Perumahan, dan Kawasan Permukiman serta Bappeda, terdapat 145 unit rumah yang menjadi sasaran peningkatan kualitas permukiman, serta 90 unit rumah baru yang dibangun sebagai lokasi relokasi warga dari tanah kas desa. 

“Dari 90 unit tersebut, 69 unit dibiayai negara dan 21 unit difasilitasi melalui CSR Pakuwon Group bersama Habitat for Humanity Indonesia. Kami sangat mengapresiasi kolaborasi ini dan berharap keluarga-keluarga dapat menjaga rumah yang telah dibangun,” ujar Johar Gunawan. 

Dukungan serupa disampaikan oleh Habitat for Humanity Indonesia melalui Abraham Tulung, Resources Development General Manager. Ia menegaskan bahwa program ini merupakan bagian dari perjalanan panjang Habitat Indonesia dalam membangun kehidupan yang lebih baik bagi keluarga berpenghasilan rendah.  

“Habitat for Humanity Indonesia telah hadir lebih dari 10 tahun membangun hunian layak, menyediakan akses air bersih, serta menghadirkan community center dan sarana toilet bagi keluarga-keluarga yang termasuk dalam kategori desil 1 dan desil 2,” ujarnya. 

Direktur Pakuwon Group, Saibun Wijaya, juga menekankan pentingnya hunian yang aman sebagai fondasi bagi keluarga untuk berkembang. “Rumah yang kami bangun bersama Habitat Indonesia ini diharapkan dapat membantu pemilik rumah merencanakan masa depan dan membuka harapan baru bagi mereka,” katanya. 

Kolaborasi ini menjadi wujud nyata bagaimana sektor swasta, organisasi nirlaba, dan pemerintah daerah dapat berjalan beriringan untuk menghadirkan solusi perumahan yang berkelanjutan. Dengan pembangunan 21 unit rumah layak huni ini, Desa Campurejo tidak hanya mendapat infrastruktur baru, tetapi juga peluang bagi warganya untuk memulai perjalanan menuju kehidupan yang lebih aman, sehat, dan bermartabat. 

(kh/av)

HFHI – PropCon Golf
Kabar Habitat

PropCon Golf Club Bersama Habitat for Humanity Indonesia Dorong Dampak Nyata Melalui Golf

Jakarta, 8 Desember 2025 – PropCon Golf Club kembali menyelenggarakan turnamen golf tahunannya bertajuk 17th Interdesign PropCon Not Another End of Year Golf Tournament 2025, yang sukses digelar pada Sabtu, 6 Desember 2025 di Damai Indah Golf – BSD Course. Ajang ini menjadi ruang temu para pegolf dari berbagai latar belakang, sekaligus wadah kolaborasi untuk menciptakan dampak sosial. 

Untuk kedua kalinya, PropCon Golf Club menggandeng Habitat for Humanity Indonesia sebagai charity partner, menegaskan komitmen berkelanjutan dalam mendukung akses sanitasi dan pendidikan yang layak. Melalui turnamen ini, berhasil dihimpun dana sebesar Rp103.000.000,-. 

Dana yang terkumpul akan dialokasikan untuk mendukung renovasi 5 unit toilet sekolah serta pembangunan 1 unit toilet baru di MTs–MA Batamiyah, Batam, guna menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan aman bagi para siswa. 

“Kami percaya bahwa olahraga dapat menjadi jembatan kolaborasi sekaligus sarana berbagi. Melalui turnamen ini, kami ingin menghadirkan dampak nyata yang bisa langsung dirasakan oleh mereka yang membutuhkan,” ujar Bapak Desmond Kandiawan, Ketua Propcon Golf Club. 

Sementara itu, Habitat for Humanity Indonesia menyampaikan apresiasi atas kepercayaan dan kolaborasi yang terus terjalin. “Ini merupakan sebuah kehormatan bagi Habitat Indonesia untuk kedua kalinya dipercaya sebagai charity partner oleh PropCon Golf Club. Dukungan PropCon Golf Club menjadi bagian penting dalam upaya kami memastikan sekolah memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Dari lapangan golf, harapan itu dibangun bersama,” ungkap Abraham Tulung, Resource Development General Manager Habitat for Humanity Indonesia. 

Turnamen berlangsung dengan suasana kompetitif namun tetap hangat dan bersahabat, mencerminkan semangat kebersamaan di antara para peserta. Lebih dari sekadar penutup tahun, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kolaborasi mampu menghadirkan perubahan positif bagi masa depan generasi muda Indonesia. 

Simak tayangan video di bawah ini untuk melihat bagaimana kolaborasi Habitat for Humanity Indonesia dan PropCon Golf Club telah memberikan dampak nyata bagi dua sekolah di Karawang dan Gresik pada program sebelumnya:

Video: HFHI/Budi Ariyanto

Penulis: Syefira Salsabilla

(ia/kh)

HFHI – HDRR
Kisah Perubahan

15 Tahun Transformasi Kampung Jogoyudan Pasca Erupsi Merapi

Yogyakarta, 3 Desember 2025 – Setiap sudut Kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, kini tampak hidup kembali. Tapi lebih dari satu dekade lalu, kawasan ini nyaris kehilangan harapan.

Bagi Rodi Firdaus, Ketua RW 10, ingatan tentang bencana erupsi Gunung Merapi pada 2010 masih terpatri jelas. Kala itu, hujan deras melanda dan lahar dingin mengalir deras ke pemukiman, membawa pasir dan batu sebesar mobil. Hampir 200 rumah terendam, tanggul pembatas tidak mampu menahan arus deras, dan banyak warga terpaksa mengungsi karena rumah mereka tertimbun lumpur.

“Air waktu itu bergelombang sampai setinggi empat meter. Semuanya terbawa arus, pasir, batu… semua hanyut ke rumah warga,” ujar Rodi, mengenang kejadian itu. Siti Fathonah, warga RW 10, mengingat betul bagaimana paniknya warga kala itu. “Sore itu saya sedang arisan di Balai Warga. Tiba-tiba air deras masuk halaman rumah. Semua terkejut, berlarian menyelamatkan diri,” kata Siti. “Tiga kali banjir datang berturut-turut. Rasanya hampir frustasi.” tambahnya.

Bencana itu menghancurkan fisik dan semangat warga. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kini rusak berat, sebagian hilang tertimbun lumpur, sebagian lagi kehilangan atap dan dinding. “Rasanya membangun kembali kehidupan di sini sudah tidak mungkin,” kenang Rodi.

Di tengah keterbatasan itu juga, bantuan dari pihak luar nyaris tak terlihat, karena kampung ini tidak masuk dalam titik fokus masa tanggap darurat. Warga merasa terasing dan putus asa.

Namun, harapan mulai muncul pada awal 2011. Habitat for Humanity Indonesia datang ke Jogoyudan, melakukan survei dan pendataan sebagai respons awal pasca-erupsi Merapi. Intervensi pertama berupa pembangunan tujuh sarana toilet komunal, langkah awal untuk memulihkan kebutuhan dasar. “Kami berdiskusi dengan tokoh masyarakat, mendengarkan kebutuhan warga. Dari situ lahir rencana membangun rumah layak huni kembali,” kata Wahyu Kustanta, Community Organizer Habitat Indonesia.

Awal pembangunan rumah dimulai dari RW 10 dengan tujuh rumah. Secara bertahap, pembangunan meluas ke RW 8, 11, 12, dan 13, hingga lebih dari 160 rumah layak huni berdiri kokoh. Rumah-rumah ini dibangun dengan prinsip keamanan, kualitas bahan yang tahan lama, dan desain yang mempertimbangkan kebutuhan warga. “Alhamdulillah, rumah saya ikut dibangun kembali. Karena saya punya usaha warung di rumah, rumah juga dibangun menyesuaikan usaha saya. Sangat membantu,” ungkap Siti Fathonah.

Foto udara Kampung Jogoyudan yang berada di Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta (9/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Selain rumah, Habitat Indonesia membangun sarana air bersih di beberapa titik kampung. Sistem air ini tidak hanya melayani keluarga yang terdampak, tetapi juga warga lain, sehingga akses air bersih merata. Warga juga terlibat langsung dalam pembangunan, menyumbangkan material, tenaga, dan ide. Tiga saluran air hujan juga turut dibangun melalui pendekatan Participatory Approach for Safe Shelter Awareness (PASSA), yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan.

“Keterlibatan warga sangat aktif. Mereka bukan hanya penerima bantuan, tapi juga bagian dari proses pembangunan,” kata Wahyu. “Gotong royong ini membuat mereka merasa memiliki rumahnya sendiri dan komunitas. Warga merasa terlahir kembali,” tambahnya.

Konsep transformation housing yang diterapkan di Jogoyudan tidak sekadar membangun fisik rumah, tetapi juga membangun kapasitas komunitas, memulihkan ekonomi lokal, dan membentuk kesadaran akan tanggung jawab kolektif.

Siti bercerita tentang dampak perubahan itu pada kehidupannya. “Rumah saya sudah layak huni ini membawa perubahan besar bagi hidup saya. Saya mulai menata kembali usaha warung, sedikit demi sedikit. Kini warung saya berkembang, memiliki banyak barang dagangan, dan keluarga merasa aman.” Transformasi ini tidak hanya menyentuh fisik rumah, tapi juga ekonomi rumah tangga dan rasa percaya diri warga.

Hingga penghujung 2025, semua sarana yang dibangun sejak masa pemulihan bencana masih digunakan dan dirawat warga. “Bahkan kami kembangkan dan perbaiki lagi,” kata Rodi. Fasilitas air bersih, misalnya, digunakan oleh warga untuk usaha laundry dan kegiatan ekonomi lain. Hasil pengelolaan air bersih yang dikelola oleh grup PASSA juga digunakan kembali untuk kesejahteraan masyarakat melalui simpan pinjam komunitas.

Program ini menunjukkan bahwa bencana bukanlah akhir, tetapi awal dari perubahan yang nyata. Warga yang semula kehilangan harapan kini menata kembali kehidupan mereka di tanah yang sama. Rumah layak huni, sarana air bersih, dan saluran air hujan bukan hanya aset fisik, tetapi simbol ketangguhan dan kemampuan warga untuk bangkit.

Lebih dari itu, program ini menekankan prinsip disaster risk reduction (DRR) melalui tranformation housing. Konsep ini memadukan pembangunan fisik rumah yang aman, partisipasi masyarakat, dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masa depan. Warga yang pernah menjadi korban kini memahami bagaimana menata rumah dan lingkungan agar lebih tahan terhadap risiko, meningkatkan kesadaran kolektif, dan memperkuat komunitas.

Aktivitas warga Kampung Jogoyudan dalam merawat lingkungan di Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta (9/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Kini, 15 tahun setelah bencana, Kampung Jogoyudan tidak hanya pulih, tetapi menjadi contoh nyata bahwa intervensi berbasis partisipasi masyarakat dapat mengubah kehidupan. Rumah-rumah yang kokoh, fasilitas air bersih yang merata, dan sistem saluran hujan yang berfungsi baik adalah bukti transformasi yang berkelanjutan. Warga tidak lagi hanya menunggu bantuan, melainkan mereka menjadi agen perubahan bagi komunitasnya sendiri.

Rodi menutup ceritanya dengan keyakinan, “Jika Habitat tidak hadir, mungkin kami tidak bisa tinggal kembali di sini. Sekarang kami tidak hanya punya rumah, tetapi juga rasa aman, ekonomi yang membaik, dan komunitas yang kuat.”

Bencana memang meninggalkan luka, tapi luka itu diubah menjadi fondasi baru untuk kehidupan yang lebih baik. Kampung Jogoyudan membuktikan bahwa pemulihan pasca-bencana bukan sekadar membangun kembali, tetapi menciptakan komunitas tangguh yang mampu menata kehidupan dengan mandiri dan berkelanjutan.

Simak video berikut untuk memahami lebih dalam tentang Housing Disaster Resilience and Recovery (HDRR)!

Video: HFHI/Budi Ariyanto

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HFHI – Caterpillar
Kisah Perubahan

Ibu Asnah: Ketekunan dan Doa yang Membuka Pintu Rumah Layak Huni

Tangerang, 1 Desember 2025 – Asnah, 38 tahun, memulai hari sebelum fajar menyingsing. Sejak pukul lima pagi, ia sudah bersiap untuk bekerja di rumah tetangganya, membantu di warung sayur milik mereka. Aktivitasnya berlangsung hingga sore, dengan upah yang tak lebih dari enam puluh ribu rupiah per hari. Kadang, ketika tetangga membutuhkan, Asnah juga diminta membantu pekerjaan rumah mulai dari mencuci pakaian, menggosok baju, atau membersihkan rumah. Ia rela bekerja hingga larut malam demi tambahan penghasilan. Penghasilan ekstra ini sangat berarti, bisa mencapai seratus ribu rupiah, tak jarang juga ditambahkan sembako seperti beras, mie, bahkan telur.

Sebelum menjadi penjaga warung sayur, profesi utama Asnah adalah pembantu rumah tangga. Dari pekerjaan ini, ia bekerja keras, menabung sedikit demi sedikit, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, meski hidup mereka sangat sederhana. Suaminya, Niin, 49 tahun, bekerja sebagai buruh di penggilingan beras dengan upah lima puluh ribu rupiah per hari. Bersama, mereka tinggal di Rajeg, Kabupaten Tangerang, dengan satu anak perempuan yang telah menikah dan masih tinggal bersama mereka.

Kehidupan mereka penuh tantangan. Rumah yang mereka tinggali lebih dari tiga puluh tahun hanyalah bangunan bambu, tanpa struktur kokoh, dengan lantai tanah yang mudah becek saat musim hujan. Genteng yang berlubang dan dinding bambu yang keropos membuat air merembes masuk ke rumah. “Kalau hujan deras, kami semua keluar rumah, numpang ke rumah saudara di sebelah,” kenang Asnah.

Masalah yang paling memilukan adalah ketiadaan toilet. “Saya harus menumpang ke rumah orang. Karena terlalu sering numpang, tetangga sampai mengunci toiletnya supaya keluarga saya tidak pakai,” ujarnya. Ketika keadaan benar-benar mendesak, mereka terpaksa buang air di jamban halaman belakang rumah, bahkan di malam hari dalam gelap gulita.

Krisis mereka tak berhenti di situ. Akses air bersih di rumah juga tidak tersedia. “Waktu saya masih bekerja sebagai pembantu, saya sampai berhutang ke sana-sini agar bisa mengebor air dan memasang sanyo,” cerita Asnah. Begitu pula listrik, hanya setelah menyicil, mereka bisa memasangnya dan berlangganan.

Ibu Asnah dan suaminya berdiri di depan rumah mereka yang tidak layak huni sesaat sebelum dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia di Tangerang. Foto: HFHI/Indah Mai

Setelah fasilitas air dan listrik tersedia, Asnah menyadari satu hal yang tak kalah penting yaitu, rumahnya harus diperbaiki agar layak huni. Namun takdir belum berpihak. “Pas semua hutang untuk air dan listrik lunas, beberapa bulan kemudian rumah saya roboh. Saya pulang kerja, rumah sudah rata. Saya menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya saya pinjam uang lagi ke majikan saya, sampai beliau datang langsung melihat rumah saya,” kenangnya.

Dengan bantuan majikan, Asnah mendapat pinjaman empat juta rupiah untuk membangun kembali rumahnya. “Ya, dibangun sebisanya saja, dibantu saudara-saudara. Rumah berdiri dengan dinding bambu dan lantai tanah,” ujarnya. Meski sederhana, rumah itu menjadi tempat berlindung. Dari sisa reruntuhan yang masih bisa digunakan, Asnah dan keluarganya memanfaatkannya untuk membangun kembali rumah mereka.

Meski begitu, Asnah dan Niin tidak pernah putus harapan. Mereka terus berdoa dan menabung sedikit demi sedikit, menargetkan tahun 2026 untuk merenovasi rumah agar lebih kokoh dan layak. Namun kehidupan sehari-hari memaksa mereka menunda impian itu. Uang yang dikumpulkan selalu habis untuk kebutuhan keluarga, memaksa Asnah bekerja lebih giat hingga waktu bersama keluarga pun berkurang.

Hingga akhirnya, impian mereka menjadi nyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan PT Caterpillar Indonesia dan PT Caterpillar Finance Indonesia memilih Asnah sebagai salah satu penerima program Rumah Layak Huni.

“Waktu saya dapat kabar lewat Pak RT bahwa rumah saya akan dibangun lebih layak, saya sangat bersyukur. Sampai terharu, enggak bisa berkata-kata,” ujar Asnah dengan mata berkaca-kaca.

Gotong royong relawan Caterpillar membangun rumah layak huni milik Ibu Asnah dan dua keluarga lainnya di Tangerang. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas

Pada awal Agustus 2025, sebanyak 69 relawan karyawan Caterpillar memulai pembangunan pondasi rumah Asnah bersama dua keluarga lain. Perjuangan bertahun-tahun Asnah akhirnya membuahkan hasil, rumah layak huni yang bisa memberikan perlindungan dan martabat bagi keluarga.

“Usaha saya bertahun-tahun menghidupi keluarga banting tulang, baru kali ini punya rumah yang bagus. Dulu serba sulit, sampai beli gas untuk masak saja harus ngutang. Sekarang saya punya rumah layak, ada toilet dan kamar mandi, jadi enggak perlu numpang lagi. Saya enggak malu lagi,” ungkapnya penuh kebahagiaan.

Bantuan ini juga terasa seperti jawaban doa mereka. “Rencana saya mau renovasi rumah tahun depan, Alhamdulillah terjawab sekarang. Jadi saya bisa pakai uang tabungan untuk bayar semua hutang. Rasanya seperti memulai hidup dari nol, jauh lebih tenang,” tambah Asnah.

Selama hampir dua bulan pembangunan, Asnah dan Niin turut berkontribusi langsung. Mereka bangun lebih pagi, memindahkan material, dan bahkan menyediakan hidangan bagi para pekerja konstruksi, meski dengan keterbatasan mereka sendiri.

“Bapak selalu bantu pak tukang. Saya bekerja di rumah tetangga cari penghasilan tambahan. Bahkan majikan saya sering memberi lebih dari upah untuk bantu pembangunan rumah. Syukur, plafon rumah saya akhirnya terbeli tanpa hutang,” jelas Asnah.

Kini, rumah baru Asnah menghadirkan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Udara lebih bersih, bebas tikus, dan cucu mereka pun tidak lagi rewel setiap malam karena kepanasan.

Potret keluarga kecil Ibu Asnah di depan rumah mereka yang telah layak huni setelah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia bersama Caterpillar di Tangerang. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Ia kini tetap bekerja sebagai penjaga warung sayur tetangganya yang baru ia geluti setelah rumahnya layak huni, juga tetap menambah penghasilan sebagai pembantu rumah tangga di waktu kosong. Perubahan ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi juga martabat, kesehatan, dan stabilitas ekonomi keluarga.

“Rumah ini tempat saya berteduh sampai akhir hayat. Seumur hidup, keluarga pasti kembali ke rumah ini,” tutup Asnah dengan keyakinan dan senyum penuh haru.

Setiap bata yang tersusun, setiap lantai yang tertata rapi, bukan hanya sekadar bangunan, tapi saksi bisu perjuangan, harapan, dan doa yang tak pernah padam. Dengan bantuanmu, lebih banyak keluarga seperti Asnah bisa menyalakan cahaya di rumah mereka, menata hidup dari nol, dan menatap masa depan dengan percaya diri.

Mari bersama-sama menjadi bagian dari cerita ini, menanam kebaikan yang akan terus tumbuh di setiap rumah yang kita bantu. Kunjungi: habitatindonesia.org/donate

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – POSCO – Muhdi
Kisah Perubahan

Kisah Muhdi: Rumah Layak Huni Inklusif untuk Tunanetra di Cilegon

Cilegon, 26 November 2025 – Setiap hari, langkah-langkah kecil beriring pelan di jalanan Kota Cilegon. Di tangannya tersampir tas kecil berisi minyak pijat dan kain bersih, sementara tangan satunya menggenggam tongkat kecil yang menuntunnya melangkah. Di bawah terik matahari atau rintikan hujan yang mengguyur, sosok itu terus melangkah pasti, tanpa ragu meski pandangannya gelap sejak lahir.

Dialah Muhdi Hadi, seorang tukang pijat keliling berusia 40 tahun yang hidupnya diwarnai keteguhan dan kesabaran luar biasa. Bersama sang istri, Baitini (31 tahun), yang juga seorang tunanetra sejak lahir, mereka tinggal di rumah sederhana di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, Banten. Pasangan ini tidak memiliki anak, namun keduanya saling melengkapi dalam menghadapi hari-hari yang penuh tantangan.

Setiap pagi, Muhdi memulai rutinitasnya dengan memeriksa minyak pijat dan kain yang selalu ia bawa. Ia berkeliling dari rumah ke rumah, menawarkan jasanya kepada warga sekitar. Penghasilannya tidak menentu, terkadang hanya Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per bulan. Namun baginya, setiap rupiah adalah hasil dari keringat dan niat baik. “Pas-pasan, tapi cukup untuk makan sehari-hari,” ujarnya dengan nada ikhlas.

Di tengah perjuangannya mencari nafkah, ada satu kenyataan pahit yang tak bisa ia abaikan yaitu, rumah tempat ia dan istrinya berteduh jauh dari kata layak. Bangunan itu sudah berusia tua, berdinding rapuh, dan beratap keropos. Setiap kali hujan deras datang, air menetes dari sela-sela atap, membuat seluruh lantai basah dan becek. Bahkan potongan atap yang lapuk kerap jatuh saat mereka sedang tertidur.

“Kalau hujan besar, air masuk dari mana-mana,” kenangnya. “Pernah waktu itu saya lagi mijat pelanggan di rumah, eh tiba-tiba bocor. Kami harus pindah-pindah tempat biar enggak kehujanan. Malu sekali rasanya, tapi saya enggak punya uang buat perbaiki rumah.”

Muhdi tahu betul bahayanya tinggal di rumah yang ringkih. “Karena bangunannya sudah reot dan keropos, kami takut aja gitu, apalagi kalau ada angin besar,” ujarnya pelan. “Pernah waktu angin kencang datang, saya sama istri cuma duduk di depan pintu, biar bisa cepat lari kalau sewaktu-waktu rumahnya rubuh.”

Kondisi rumah yang tak layak itu membuat kesehariannya semakin berat. “Saya ini sudah punya keterbatasan penglihatan,” katanya lirih. “Tinggal di rumah yang rusak, dalam suasana gelap, dan lembab bikin semua terasa lebih sulit.”

Muhdi memasuki rumahnya yang telah layak huni setelah dibangun oleh Habitat for Humanity bersama POSCO di Cilegon. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Semangat Perempuan Tangguh di Balik Revitalisasi Kampung Tanjung Kait

Namun di balik keterbatasan itu, Muhdi tak pernah kehilangan semangat. Ia terus berusaha, membuka jasa pijat di rumah kecilnya meski ruangan sempit itu sering bocor. Hingga suatu hari, kabar yang tak pernah ia bayangkan datang menghampiri. Habitat for Humanity bersama POSCO datang ke wilayahnya, mengabarkan bahwa mereka akan membangun kembali rumah-rumah tak layak huni, termasuk rumah miliknya.

“Saya sangat bahagia sekali, saking bahagianya saya bingung dan enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” tutur Muhdi haru.

Ketika pembangunan dimulai, ia tak hanya duduk diam menunggu. Meski memiliki keterbatasan, Muhdi ikut terlibat sebisanya, membantu menyediakan hidangan makanan ringan untuk pekerja konstruksi. Ia pun sering menelusuri dinding-dinding baru dengan jemarinya, menyentuh lantai yang kini kokoh, dan merasakan kesejukan ruangan yang dulu pengap dan lembab.

“Saya terharu meski saya tidak bisa melihat, tapi saya bisa merasakan bahwa rumah ini benar-benar layak buat saya,” ucapnya. “Rumah ini memang didesain untuk saya dan istri yang punya kebutuhan khusus. Ada pagarnya, ada pegangan di setiap ruangan, bahkan lantainya dibuat beda, ada bagian yang kasar, ada yang tidak. Ini sangat-sangat membantu kami.”

Kini, rumah baru itu bukan hanya tempat berlindung, tapi juga sumber harapan baru. Baitini, sang istri, mengaku tak lagi was-was setiap kali mendengar suara hujan atau angin malam. “Rumah itu kan tempat berlindung dari hujan dan panas,” katanya lembut. “Sekarang saya bersyukur punya rumah bagus seperti ini, rumah ini rasanya sudah jadi anugerah besar.”

Bagi Muhdi, rumah baru itu juga berarti kesempatan baru untuk memperbaiki taraf hidup. Ia berencana memasang plang usaha pijat di depan rumahnya, agar pelanggan lebih mudah menemukan jasanya. “Semoga rumah ini membawa berkah rezeki baru buat keluarga saya,” ucapnya penuh semangat. “Saya ingin nabung buat masa depan, siapa tahu nanti bisa buat biaya kalau kami punya anak.”

Muhdi bersama istrinya bersantai di kamar rumah layak huni mereka setelah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia bersama POSCO di Cilegon. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Proyek pembangunan rumah ini merupakan bagian dari “2025 POSCO 1% Foundation Echo Village”, hasil kolaborasi antara Habitat for Humanity dan POSCO. Melalui inisiatif ini, enam rumah layak huni dibangun dengan desain ramah lingkungan dan aman bagi penghuninya. Inovasinya meliputi penggunaan eco-brick dari limbah plastik, sistem penampungan air hujan, serta septic tank dan soak pit untuk memastikan sanitasi yang sehat bagi keluarga penerima manfaat.

Tak berhenti di situ, proyek ini juga menghadirkan pelatihan manajemen rumah sehat dan Building Back Safer (BBS) bagi 50 keluarga lainnya di sekitar wilayah Ciwandan dan Citangkil. Para warga juga mendapatkan penguatan kapasitas melalui pelatihan bagi Tim Siaga Bencana Kelurahan (TBSK), serta difasilitasi untuk mengajukan status Kelurahan Tangguh Bencana (Kaltana) ke BNPB, agar masyarakat memiliki dukungan resmi dalam penanggulangan bencana.

Kini, di antara deretan rumah baru yang berdiri kokoh di Cilegon, rumah kecil milik Muhdi menjadi simbol harapan. Ia mungkin tidak bisa melihatnya, tapi setiap kali tangannya menyentuh tembok rumah barunya, ia tahu perjuangannya tak sia-sia.

“Dulu saya cuma bisa bermimpi punya rumah kuat yang enggak bocor. Sekarang mimpi itu sudah jadi kenyataan.” tutup Muhdi.

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – Centratama
Kabar Habitat

Akses Literasi Digital Baru bagi Siswa SMPN 1 Pakem

Sleman, 21 November 2025 – Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Centratama Group kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung peningkatan literasi pendidikan di Indonesia melalui pembangunan perpustakaan digital di SMP Negeri 1 Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Inisiatif ini menjadi bukti bahwa pendidikan yang inklusif dan modern dapat diwujudkan melalui sinergi antara sektor swasta dan lembaga sosial. 

Peresmian fasilitas tersebut dilakukan secara simbolis melalui pemotongan pita dan dihadiri oleh Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa, Chief of Finance Officer PT Centratama Group, Caba Pinter, Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, Handoko Ngadiman, serta jajaran tenaga pendidik SMPN 1 Pakem. 

Program ini tidak hanya membangun ruang perpustakaan baru, tetapi juga melakukan renovasi menyeluruh, mulai dari pengerjaan bangunan, pengecatan mural, hingga penyediaan fasilitas pendukung seperti karpet, meja dan kursi belajar, sofa, LED TV, sound system, AC, komputer, dan berbagai furnitur lainnya. Semua fasilitas tersebut dirancang untuk menciptakan ruang belajar yang lebih nyaman dan modern. 

PT Centratama Group juga memastikan bahwa teknologi menjadi elemen utama dalam transformasi ini. Mereka berkontribusi dalam instalasi software serta pelatihan penggunaan aplikasi Edoo, platform perpustakaan digital yang menyediakan lebih dari 1.000 e-book dari berbagai kategori. Handoko Ngadiman menjelaskan bahwa “Selama 10 tahun di SMPN 1 Pakem baru mendapatkan 1.000 buku cetak, namun dalam tiga minggu ini siswa sudah memiliki akses pada e-book sebanyak 487 buku dengan 709 salinan. Hal ini diharapkan dapat semakin meningkatkan dampak baik kepada siswa khususnya dunia literasi.” 

Baca juga: Pojok Baca Digital: Memperkaya Kesempatan Belajar Bersama

Dari pihak Centratama, Caba Pinter menegaskan bahwa program ini merupakan bagian dari komitmen jangka panjang perusahaan untuk memperkuat pendidikan berbasis teknologi di Indonesia. “Program ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan kami. Kami percaya bahwa literasi digital merupakan fondasi penting untuk masa depan, dan melalui fasilitas ini kami ingin memastikan para siswa memiliki akses yang luas terhadap sumber belajar modern,” ujarnya. 

Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa, menilai inisiatif ini sebagai langkah strategis dalam membangun budaya literasi di kalangan pelajar. Ia mengatakan, “Kehadiran perpustakaan digital ini tidak hanya menambah fasilitas belajar, tetapi juga menjadi sarana penting untuk memperkuat literasi bagi anak-anak kita. Jadi, harapan saya fasilitas ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena semaju apa pun teknologi, kalau tidak dimanfaatkan, tidak ada gunanya.” 

Dengan adanya perpustakaan digital, siswa dan guru kini dapat mengakses berbagai sumber bacaan kapan pun dan di mana pun melalui smartphone mereka. Selain meningkatkan mutu proses pembelajaran, fasilitas ini juga diharapkan mampu mendukung peningkatan prestasi akademik serta menjadi nilai tambah dalam penguatan akreditasi sekolah melalui pemanfaatan teknologi. 

Kepala SMPN 1 Pakem, Titin Sumarni, menyampaikan apresiasinya kepada seluruh pihak yang terlibat. Ia menutup dengan mengatakan, “Harapannya ini dapat meningkatkan kompetensi literasi dan minat baca siswa-siswi kami. Terbukti dalam waktu tiga minggu setelah aktivasi dan pelatihan, sudah ada 145 digital buku yang diakses. Dengan adanya perpustakaan digital, ini lompatan yang luar biasa.”

Foto & Video: HFHI/Budi Ariyanto

(kh)

HFHI-Arthawena 01
Kisah Perubahan

Rumah yang Menghidupkan Harapan: Kisah Keluarga Alex dari Kupang Timur

21 November 2025 – Di sebuah dusun kecil di Kupang Timur, Kabupaten Kupang – Nusa Tenggara Timur, berdirilah rumah sederhana berukuran 4×6 meter milik Alex Batuk (46). Dindingnya dari bebak lontar, atapnya dari daun lontar yang telah mengering, dan lantainya masih berupa tanah. Di rumah inilah Alex tinggal bersama istrinya, Trudelyanti (34), serta tiga anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dan satu di antaranya seorang balita.

Setiap sudut rumah menyimpan kisah perjuangan. Ketika hujan deras datang, air masuk dari segala arah, membuat lantai becek dan lembap. Dinding-dinding dari lontar kerap rapuh dimakan usia, dan jendela satu-satunya tidak mampu menyalurkan udara dengan baik. Rumah itu telah mereka huni lebih dari tujuh tahun, tahun demi tahun yang penuh kekhawatiran dan harapan.

“Karena kondisi rumah menggunakan atap dari daun, setiap tiga tahun sekali saya harus menyisihkan uang untuk mengganti atap tersebut, begitupun dengan dinding setiap kali dirayapi,” tutur Alex. Penghasilan sebagai petani sebesar satu juta rupiah per bulan membuat setiap rupiah terasa berarti. Untuk menambah pemasukan, Alex berjualan gula pohon gewang di sela waktu luangnya.

Namun, yang paling menakutkan bagi keluarga kecil ini bukan hanya soal ekonomi. Ketika badai datang, rasa takut selalu menghantui. “Saya selalu was-was setiap ada angin besar, seperti waktu itu saat Seroja datang. Rumah saya bisa patah dan rubuh. Setiap ada angin kencang, kita duduk di depan pintu. Takut angin bawa, kita bisa lari keluar,” kenangnya.

Kondisi rumah Alex Batuk sebelum menerima dukungan pembangunan rumah layak huni di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Titik Balik Harapan Baru

Harapan baru datang ketika tim Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Arthawenasakti Gemilang datang ke kampung mereka. Setelah melihat kondisi rumah Alex yang tidak layak huni, Habitat Indonesia memutuskan untuk membantu membangun kembali rumahnya menjadi rumah yang lebih aman dan sehat untuk ditinggali.

Namun kisah ini tidak hanya berhenti pada bantuan semata. Saat program pembangunan dimulai, Alex yang mengaku pernah bekerja sebagai tukang bangunan diminta ikut bergabung sebagai pekerja konstruksi. Ia tidak sekadar penerima manfaat, tetapi juga menjadi bagian dari proses membangun rumah impiannya sendiri.

“Sebelum Habitat hadir di kampung saya, saya juga mencari sambilan sebagai tukang bangunan. Jadi saya tahu betul mana rumah yang layak dan kokoh, saya tahu bagaimana pondasi yang kuat menggunakan cakar ayam,” ujar Alex.

Melalui pelatihan yang diberikan Habitat Indonesia, Alex semakin memahami pentingnya standar rumah tahan gempa dan struktur bangunan yang aman. Ia terlibat langsung dari awal hingga akhir proses pembangunan, memastikan setiap dinding berdiri tegak dan setiap atap terpasang kuat.

“Perbedannya luar biasa. Adanya bantuan rumah ini terasa sangat kuat dan kokoh, karena saya tahu betul pembangunan rumah ini seperti apa. Saya ikut terlibat langsung membangunnya,” katanya dengan senyum bangga.

Alex Batuk terlibat dalam proses pembangunan rumah layak huni bersama Habitat for Humanity Indonesia di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Baca juga: Hadiah dari Doa yang Tak Pernah Putus

Rumah yang Mengubah Hidup

Kini, rumah baru Alex telah berdiri kokoh. Bagi keluarga kecil itu, rumah ini bukan hanya tempat berlindung dari hujan dan panas, tetapi juga simbol kehidupan baru.

“Rumah itu kan tempat berlindung di dalam, saat hujan, panas. Sekarang saya bersyukur punya rumah bagus seperti ini,” kata Trudelyanti sambil menatap dinding baru rumahnya. “Rumah ini sangat pas untuk keluarga kami tinggal, dua anak kami bisa punya kamar sendiri.”

Lebih dari itu, rumah layak ini turut membawa perubahan nyata bagi ekonomi keluarga. Jika dulu sebagian penghasilan harus disisihkan untuk memperbaiki atap lontar atau mengganti dinding yang rusak, kini uang itu bisa digunakan untuk hal yang lebih penting yakni, pendidikan anak-anak mereka.

“Sekarang saya bisa menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan anak-anak. Tidak perlu lagi khawatir atap bocor atau rumah rusak,” ujar Alex penuh rasa syukur.

Setelah rumahnya selesai dibangun, Alex tetap memilih untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja konstruksi bersama tim Habitat. Ia ingin membantu membangun rumah-rumah layak huni lainnya di desanya.

Kini, setiap kali ia membantu mendirikan rumah baru untuk tetangganya, ada semangat yang sama yang ia rasakan yaitu, semangat untuk memberi rasa aman dan harapan kepada keluarga lain, sebagaimana ia pernah menerimanya.

Potret keluarga Alex Batuk di depan rumah mereka yang telah layak huni di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Berkat dukungan PT Arthawenasakti Gemilang, program pembangunan rumah layak huni ini berhasil menghadirkan 100 rumah baru dan renovasi bagi keluarga di wilayah Kupang dan sekitarnya. Di balik angka itu, tersimpan kisah-kisah nyata seperti keluarga Alex, tentang perjuangan, ketulusan, dan harapan yang tumbuh di antara dinding rumah yang baru berdiri.

Karena bagi Alex dan banyak keluarga lainnya, rumah bukan hanya tempat tinggal. Rumah adalah tempat di mana harapan tumbuh, cinta berdiam, dan kehidupan dimulai kembali.

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – Housing System
Kabar Habitat

Menuju Sistem Perumahan yang Lebih Inklusif

Jakarta, 17 November 2025 – Sekitar 2,8 miliar orang di seluruh dunia masih hidup tanpa hunian yang layak—angka yang mencengangkan, setara dengan sepertiga umat manusia yang setiap hari menghadapi risiko perubahan iklim yang semakin parah. Pemerintah dan berbagai lembaga perumahan telah bertahun-tahun berupaya mencari solusi, membangun program, dan merumuskan sistem untuk menjawab tantangan ini. Namun kenyataannya, defisit perumahan global tetap membesar, diperburuk oleh urbanisasi yang cepat, bencana yang makin intens, dan pemanasan global yang tidak menunjukkan tanda melambat.

Tantangan terbesar hari ini bukan hanya tentang membangun lebih banyak rumah, tetapi menyatukan berbagai sistem yang seharusnya saling mendukung dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat.

Mengurai Kerumitan Sistem Perumahan

Berbagai pihak—dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, hingga sektor swasta—memiliki peran dan keahlian masing-masing dalam mendukung akses masyarakat terhadap perumahan yang layak. Namun, pendekatan yang masih terkotak-kotak dan praktik lama yang sulit berubah kerap menghambat integrasi upaya-upaya tersebut.

Melihat besarnya kebutuhan, perbaikan kecil tidak lagi memadai. Hanya membangun rumah atau merencanakan permukiman baru tidak akan menyelesaikan masalah. Tantangan yang lebih besar terletak pada bagaimana sistem yang mengatur akses masyarakat terhadap perumahan itu sendiri dapat diperbaiki. Sebab perumahan bukanlah satu sistem tunggal, melainkan jaringan kompleks yang mencakup pasar, institusi, kebijakan, hingga norma sosial.

Jika hambatan antar-sistem ini dapat diruntuhkan, sektor perumahan dapat berkembang menjadi ruang yang lebih kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Foto bersama para peserta workshop TCIS, yang menghabiskan beberapa hari di Jakarta untuk berbagi ide, pengalaman, dan strategi dalam mendorong solusi perumahan yang lebih tangguh bagi keluarga berpenghasilan rendah. Foto: HFHI/Astridinar Vania

Satu Langkah Kecil Menuju Perubahan Lebih Besar

Sepekan lalu, langkah menuju perubahan itu mulai terlihat ketika Terwilliger Center for Innovation in Shelter (TCIS) menyelenggarakan lokakarya peningkatan kapasitas bagi tim Habitat for Humanity dari berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik.

Habitat for Humanity Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah acara ini, yang menghadirkan pengenalan terhadap systems thinking, human-centered design, dan pengembangan sistem pasar—tiga pendekatan penting untuk memperkuat ekosistem perumahan.

Materi yang dibahas memang berat, namun sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi sektor perumahan saat ini. Para peserta pulang dengan pemahaman baru yang lebih tajam serta kemampuan yang lebih kuat untuk menggerakkan solusi perumahan yang benar-benar menjangkau keluarga berpenghasilan rendah yang paling rentan.

Kami menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Scott Merrill, Sheldon Yoder, dan Al Francis Razon, beserta seluruh tim TCIS. Dengan fasilitasi yang cermat dan kolaboratif, mereka mampu menyederhanakan konsep yang kompleks menjadi pengalaman belajar yang reflektif dan mudah diterapkan oleh rekan-rekan Habitat for Humanity dari seluruh kawasan.

Jika semua wawasan yang diperoleh dalam lokakarya ini mampu diterjemahkan menjadi aksi nyata, bukan tidak mungkin lebih banyak keluarga di Asia-Pasifik akan segera mendapatkan akses ke hunian yang lebih sehat, aman, dan tangguh di masa depan.

Penulis: Arwin Soelaksono/Program Director Habitat for Humanity Indonesia

(kh/av)