logotype
Donate
HFHI – HDRR
Kisah Perubahan

15 Tahun Transformasi Kampung Jogoyudan Pasca Erupsi Merapi

Yogyakarta, 3 Desember 2025 – Setiap sudut Kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, kini tampak hidup kembali. Tapi lebih dari satu dekade lalu, kawasan ini nyaris kehilangan harapan.

Bagi Rodi Firdaus, Ketua RW 10, ingatan tentang bencana erupsi Gunung Merapi pada 2010 masih terpatri jelas. Kala itu, hujan deras melanda dan lahar dingin mengalir deras ke pemukiman, membawa pasir dan batu sebesar mobil. Hampir 200 rumah terendam, tanggul pembatas tidak mampu menahan arus deras, dan banyak warga terpaksa mengungsi karena rumah mereka tertimbun lumpur.

“Air waktu itu bergelombang sampai setinggi empat meter. Semuanya terbawa arus, pasir, batu… semua hanyut ke rumah warga,” ujar Rodi, mengenang kejadian itu. Siti Fathonah, warga RW 10, mengingat betul bagaimana paniknya warga kala itu. “Sore itu saya sedang arisan di Balai Warga. Tiba-tiba air deras masuk halaman rumah. Semua terkejut, berlarian menyelamatkan diri,” kata Siti. “Tiga kali banjir datang berturut-turut. Rasanya hampir frustasi.” tambahnya.

Bencana itu menghancurkan fisik dan semangat warga. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kini rusak berat, sebagian hilang tertimbun lumpur, sebagian lagi kehilangan atap dan dinding. “Rasanya membangun kembali kehidupan di sini sudah tidak mungkin,” kenang Rodi.

Di tengah keterbatasan itu juga, bantuan dari pihak luar nyaris tak terlihat, karena kampung ini tidak masuk dalam titik fokus masa tanggap darurat. Warga merasa terasing dan putus asa.

Namun, harapan mulai muncul pada awal 2011. Habitat for Humanity Indonesia datang ke Jogoyudan, melakukan survei dan pendataan sebagai respons awal pasca-erupsi Merapi. Intervensi pertama berupa pembangunan tujuh sarana toilet komunal, langkah awal untuk memulihkan kebutuhan dasar. “Kami berdiskusi dengan tokoh masyarakat, mendengarkan kebutuhan warga. Dari situ lahir rencana membangun rumah layak huni kembali,” kata Wahyu Kustanta, Community Organizer Habitat Indonesia.

Awal pembangunan rumah dimulai dari RW 10 dengan tujuh rumah. Secara bertahap, pembangunan meluas ke RW 8, 11, 12, dan 13, hingga lebih dari 160 rumah layak huni berdiri kokoh. Rumah-rumah ini dibangun dengan prinsip keamanan, kualitas bahan yang tahan lama, dan desain yang mempertimbangkan kebutuhan warga. “Alhamdulillah, rumah saya ikut dibangun kembali. Karena saya punya usaha warung di rumah, rumah juga dibangun menyesuaikan usaha saya. Sangat membantu,” ungkap Siti Fathonah.

Foto udara Kampung Jogoyudan yang berada di Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta (9/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Selain rumah, Habitat Indonesia membangun sarana air bersih di beberapa titik kampung. Sistem air ini tidak hanya melayani keluarga yang terdampak, tetapi juga warga lain, sehingga akses air bersih merata. Warga juga terlibat langsung dalam pembangunan, menyumbangkan material, tenaga, dan ide. Tiga saluran air hujan juga turut dibangun melalui pendekatan Participatory Approach for Safe Shelter Awareness (PASSA), yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan.

“Keterlibatan warga sangat aktif. Mereka bukan hanya penerima bantuan, tapi juga bagian dari proses pembangunan,” kata Wahyu. “Gotong royong ini membuat mereka merasa memiliki rumahnya sendiri dan komunitas. Warga merasa terlahir kembali,” tambahnya.

Konsep transformation housing yang diterapkan di Jogoyudan tidak sekadar membangun fisik rumah, tetapi juga membangun kapasitas komunitas, memulihkan ekonomi lokal, dan membentuk kesadaran akan tanggung jawab kolektif.

Siti bercerita tentang dampak perubahan itu pada kehidupannya. “Rumah saya sudah layak huni ini membawa perubahan besar bagi hidup saya. Saya mulai menata kembali usaha warung, sedikit demi sedikit. Kini warung saya berkembang, memiliki banyak barang dagangan, dan keluarga merasa aman.” Transformasi ini tidak hanya menyentuh fisik rumah, tapi juga ekonomi rumah tangga dan rasa percaya diri warga.

Hingga penghujung 2025, semua sarana yang dibangun sejak masa pemulihan bencana masih digunakan dan dirawat warga. “Bahkan kami kembangkan dan perbaiki lagi,” kata Rodi. Fasilitas air bersih, misalnya, digunakan oleh warga untuk usaha laundry dan kegiatan ekonomi lain. Hasil pengelolaan air bersih yang dikelola oleh grup PASSA juga digunakan kembali untuk kesejahteraan masyarakat melalui simpan pinjam komunitas.

Program ini menunjukkan bahwa bencana bukanlah akhir, tetapi awal dari perubahan yang nyata. Warga yang semula kehilangan harapan kini menata kembali kehidupan mereka di tanah yang sama. Rumah layak huni, sarana air bersih, dan saluran air hujan bukan hanya aset fisik, tetapi simbol ketangguhan dan kemampuan warga untuk bangkit.

Lebih dari itu, program ini menekankan prinsip disaster risk reduction (DRR) melalui tranformation housing. Konsep ini memadukan pembangunan fisik rumah yang aman, partisipasi masyarakat, dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masa depan. Warga yang pernah menjadi korban kini memahami bagaimana menata rumah dan lingkungan agar lebih tahan terhadap risiko, meningkatkan kesadaran kolektif, dan memperkuat komunitas.

Aktivitas warga Kampung Jogoyudan dalam merawat lingkungan di Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta (9/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Kini, 15 tahun setelah bencana, Kampung Jogoyudan tidak hanya pulih, tetapi menjadi contoh nyata bahwa intervensi berbasis partisipasi masyarakat dapat mengubah kehidupan. Rumah-rumah yang kokoh, fasilitas air bersih yang merata, dan sistem saluran hujan yang berfungsi baik adalah bukti transformasi yang berkelanjutan. Warga tidak lagi hanya menunggu bantuan, melainkan mereka menjadi agen perubahan bagi komunitasnya sendiri.

Rodi menutup ceritanya dengan keyakinan, “Jika Habitat tidak hadir, mungkin kami tidak bisa tinggal kembali di sini. Sekarang kami tidak hanya punya rumah, tetapi juga rasa aman, ekonomi yang membaik, dan komunitas yang kuat.”

Bencana memang meninggalkan luka, tapi luka itu diubah menjadi fondasi baru untuk kehidupan yang lebih baik. Kampung Jogoyudan membuktikan bahwa pemulihan pasca-bencana bukan sekadar membangun kembali, tetapi menciptakan komunitas tangguh yang mampu menata kehidupan dengan mandiri dan berkelanjutan.

Simak video berikut untuk memahami lebih dalam tentang Housing Disaster Resilience and Recovery (HDRR)!

Video: HFHI/Budi Ariyanto

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)

HFHI – Caterpillar
Kisah Perubahan

Ibu Asnah: Ketekunan dan Doa yang Membuka Pintu Rumah Layak Huni

Tangerang, 1 Desember 2025 – Asnah, 38 tahun, memulai hari sebelum fajar menyingsing. Sejak pukul lima pagi, ia sudah bersiap untuk bekerja di rumah tetangganya, membantu di warung sayur milik mereka. Aktivitasnya berlangsung hingga sore, dengan upah yang tak lebih dari enam puluh ribu rupiah per hari. Kadang, ketika tetangga membutuhkan, Asnah juga diminta membantu pekerjaan rumah mulai dari mencuci pakaian, menggosok baju, atau membersihkan rumah. Ia rela bekerja hingga larut malam demi tambahan penghasilan. Penghasilan ekstra ini sangat berarti, bisa mencapai seratus ribu rupiah, tak jarang juga ditambahkan sembako seperti beras, mie, bahkan telur.

Sebelum menjadi penjaga warung sayur, profesi utama Asnah adalah pembantu rumah tangga. Dari pekerjaan ini, ia bekerja keras, menabung sedikit demi sedikit, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, meski hidup mereka sangat sederhana. Suaminya, Niin, 49 tahun, bekerja sebagai buruh di penggilingan beras dengan upah lima puluh ribu rupiah per hari. Bersama, mereka tinggal di Rajeg, Kabupaten Tangerang, dengan satu anak perempuan yang telah menikah dan masih tinggal bersama mereka.

Kehidupan mereka penuh tantangan. Rumah yang mereka tinggali lebih dari tiga puluh tahun hanyalah bangunan bambu, tanpa struktur kokoh, dengan lantai tanah yang mudah becek saat musim hujan. Genteng yang berlubang dan dinding bambu yang keropos membuat air merembes masuk ke rumah. “Kalau hujan deras, kami semua keluar rumah, numpang ke rumah saudara di sebelah,” kenang Asnah.

Masalah yang paling memilukan adalah ketiadaan toilet. “Saya harus menumpang ke rumah orang. Karena terlalu sering numpang, tetangga sampai mengunci toiletnya supaya keluarga saya tidak pakai,” ujarnya. Ketika keadaan benar-benar mendesak, mereka terpaksa buang air di jamban halaman belakang rumah, bahkan di malam hari dalam gelap gulita.

Krisis mereka tak berhenti di situ. Akses air bersih di rumah juga tidak tersedia. “Waktu saya masih bekerja sebagai pembantu, saya sampai berhutang ke sana-sini agar bisa mengebor air dan memasang sanyo,” cerita Asnah. Begitu pula listrik, hanya setelah menyicil, mereka bisa memasangnya dan berlangganan.

Ibu Asnah dan suaminya berdiri di depan rumah mereka yang tidak layak huni sesaat sebelum dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia di Tangerang. Foto: HFHI/Indah Mai

Setelah fasilitas air dan listrik tersedia, Asnah menyadari satu hal yang tak kalah penting yaitu, rumahnya harus diperbaiki agar layak huni. Namun takdir belum berpihak. “Pas semua hutang untuk air dan listrik lunas, beberapa bulan kemudian rumah saya roboh. Saya pulang kerja, rumah sudah rata. Saya menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya saya pinjam uang lagi ke majikan saya, sampai beliau datang langsung melihat rumah saya,” kenangnya.

Dengan bantuan majikan, Asnah mendapat pinjaman empat juta rupiah untuk membangun kembali rumahnya. “Ya, dibangun sebisanya saja, dibantu saudara-saudara. Rumah berdiri dengan dinding bambu dan lantai tanah,” ujarnya. Meski sederhana, rumah itu menjadi tempat berlindung. Dari sisa reruntuhan yang masih bisa digunakan, Asnah dan keluarganya memanfaatkannya untuk membangun kembali rumah mereka.

Meski begitu, Asnah dan Niin tidak pernah putus harapan. Mereka terus berdoa dan menabung sedikit demi sedikit, menargetkan tahun 2026 untuk merenovasi rumah agar lebih kokoh dan layak. Namun kehidupan sehari-hari memaksa mereka menunda impian itu. Uang yang dikumpulkan selalu habis untuk kebutuhan keluarga, memaksa Asnah bekerja lebih giat hingga waktu bersama keluarga pun berkurang.

Hingga akhirnya, impian mereka menjadi nyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan PT Caterpillar Indonesia dan PT Caterpillar Finance Indonesia memilih Asnah sebagai salah satu penerima program Rumah Layak Huni.

“Waktu saya dapat kabar lewat Pak RT bahwa rumah saya akan dibangun lebih layak, saya sangat bersyukur. Sampai terharu, enggak bisa berkata-kata,” ujar Asnah dengan mata berkaca-kaca.

Gotong royong relawan Caterpillar membangun rumah layak huni milik Ibu Asnah dan dua keluarga lainnya di Tangerang. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Rumah Layak Jadi Tumpuan Hidup Keluarga Ibu Imas

Pada awal Agustus 2025, sebanyak 69 relawan karyawan Caterpillar memulai pembangunan pondasi rumah Asnah bersama dua keluarga lain. Perjuangan bertahun-tahun Asnah akhirnya membuahkan hasil, rumah layak huni yang bisa memberikan perlindungan dan martabat bagi keluarga.

“Usaha saya bertahun-tahun menghidupi keluarga banting tulang, baru kali ini punya rumah yang bagus. Dulu serba sulit, sampai beli gas untuk masak saja harus ngutang. Sekarang saya punya rumah layak, ada toilet dan kamar mandi, jadi enggak perlu numpang lagi. Saya enggak malu lagi,” ungkapnya penuh kebahagiaan.

Bantuan ini juga terasa seperti jawaban doa mereka. “Rencana saya mau renovasi rumah tahun depan, Alhamdulillah terjawab sekarang. Jadi saya bisa pakai uang tabungan untuk bayar semua hutang. Rasanya seperti memulai hidup dari nol, jauh lebih tenang,” tambah Asnah.

Selama hampir dua bulan pembangunan, Asnah dan Niin turut berkontribusi langsung. Mereka bangun lebih pagi, memindahkan material, dan bahkan menyediakan hidangan bagi para pekerja konstruksi, meski dengan keterbatasan mereka sendiri.

“Bapak selalu bantu pak tukang. Saya bekerja di rumah tetangga cari penghasilan tambahan. Bahkan majikan saya sering memberi lebih dari upah untuk bantu pembangunan rumah. Syukur, plafon rumah saya akhirnya terbeli tanpa hutang,” jelas Asnah.

Kini, rumah baru Asnah menghadirkan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Udara lebih bersih, bebas tikus, dan cucu mereka pun tidak lagi rewel setiap malam karena kepanasan.

Potret keluarga kecil Ibu Asnah di depan rumah mereka yang telah layak huni setelah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia bersama Caterpillar di Tangerang. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Ia kini tetap bekerja sebagai penjaga warung sayur tetangganya yang baru ia geluti setelah rumahnya layak huni, juga tetap menambah penghasilan sebagai pembantu rumah tangga di waktu kosong. Perubahan ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi juga martabat, kesehatan, dan stabilitas ekonomi keluarga.

“Rumah ini tempat saya berteduh sampai akhir hayat. Seumur hidup, keluarga pasti kembali ke rumah ini,” tutup Asnah dengan keyakinan dan senyum penuh haru.

Setiap bata yang tersusun, setiap lantai yang tertata rapi, bukan hanya sekadar bangunan, tapi saksi bisu perjuangan, harapan, dan doa yang tak pernah padam. Dengan bantuanmu, lebih banyak keluarga seperti Asnah bisa menyalakan cahaya di rumah mereka, menata hidup dari nol, dan menatap masa depan dengan percaya diri.

Mari bersama-sama menjadi bagian dari cerita ini, menanam kebaikan yang akan terus tumbuh di setiap rumah yang kita bantu. Kunjungi: habitatindonesia.org/donate

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – POSCO – Muhdi
Kisah Perubahan

Kisah Muhdi: Rumah Layak Huni Inklusif untuk Tunanetra di Cilegon

Cilegon, 26 November 2025 – Setiap hari, langkah-langkah kecil beriring pelan di jalanan Kota Cilegon. Di tangannya tersampir tas kecil berisi minyak pijat dan kain bersih, sementara tangan satunya menggenggam tongkat kecil yang menuntunnya melangkah. Di bawah terik matahari atau rintikan hujan yang mengguyur, sosok itu terus melangkah pasti, tanpa ragu meski pandangannya gelap sejak lahir.

Dialah Muhdi Hadi, seorang tukang pijat keliling berusia 40 tahun yang hidupnya diwarnai keteguhan dan kesabaran luar biasa. Bersama sang istri, Baitini (31 tahun), yang juga seorang tunanetra sejak lahir, mereka tinggal di rumah sederhana di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, Banten. Pasangan ini tidak memiliki anak, namun keduanya saling melengkapi dalam menghadapi hari-hari yang penuh tantangan.

Setiap pagi, Muhdi memulai rutinitasnya dengan memeriksa minyak pijat dan kain yang selalu ia bawa. Ia berkeliling dari rumah ke rumah, menawarkan jasanya kepada warga sekitar. Penghasilannya tidak menentu, terkadang hanya Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per bulan. Namun baginya, setiap rupiah adalah hasil dari keringat dan niat baik. “Pas-pasan, tapi cukup untuk makan sehari-hari,” ujarnya dengan nada ikhlas.

Di tengah perjuangannya mencari nafkah, ada satu kenyataan pahit yang tak bisa ia abaikan yaitu, rumah tempat ia dan istrinya berteduh jauh dari kata layak. Bangunan itu sudah berusia tua, berdinding rapuh, dan beratap keropos. Setiap kali hujan deras datang, air menetes dari sela-sela atap, membuat seluruh lantai basah dan becek. Bahkan potongan atap yang lapuk kerap jatuh saat mereka sedang tertidur.

“Kalau hujan besar, air masuk dari mana-mana,” kenangnya. “Pernah waktu itu saya lagi mijat pelanggan di rumah, eh tiba-tiba bocor. Kami harus pindah-pindah tempat biar enggak kehujanan. Malu sekali rasanya, tapi saya enggak punya uang buat perbaiki rumah.”

Muhdi tahu betul bahayanya tinggal di rumah yang ringkih. “Karena bangunannya sudah reot dan keropos, kami takut aja gitu, apalagi kalau ada angin besar,” ujarnya pelan. “Pernah waktu angin kencang datang, saya sama istri cuma duduk di depan pintu, biar bisa cepat lari kalau sewaktu-waktu rumahnya rubuh.”

Kondisi rumah yang tak layak itu membuat kesehariannya semakin berat. “Saya ini sudah punya keterbatasan penglihatan,” katanya lirih. “Tinggal di rumah yang rusak, dalam suasana gelap, dan lembab bikin semua terasa lebih sulit.”

Muhdi memasuki rumahnya yang telah layak huni setelah dibangun oleh Habitat for Humanity bersama POSCO di Cilegon. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Semangat Perempuan Tangguh di Balik Revitalisasi Kampung Tanjung Kait

Namun di balik keterbatasan itu, Muhdi tak pernah kehilangan semangat. Ia terus berusaha, membuka jasa pijat di rumah kecilnya meski ruangan sempit itu sering bocor. Hingga suatu hari, kabar yang tak pernah ia bayangkan datang menghampiri. Habitat for Humanity bersama POSCO datang ke wilayahnya, mengabarkan bahwa mereka akan membangun kembali rumah-rumah tak layak huni, termasuk rumah miliknya.

“Saya sangat bahagia sekali, saking bahagianya saya bingung dan enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” tutur Muhdi haru.

Ketika pembangunan dimulai, ia tak hanya duduk diam menunggu. Meski memiliki keterbatasan, Muhdi ikut terlibat sebisanya, membantu menyediakan hidangan makanan ringan untuk pekerja konstruksi. Ia pun sering menelusuri dinding-dinding baru dengan jemarinya, menyentuh lantai yang kini kokoh, dan merasakan kesejukan ruangan yang dulu pengap dan lembab.

“Saya terharu meski saya tidak bisa melihat, tapi saya bisa merasakan bahwa rumah ini benar-benar layak buat saya,” ucapnya. “Rumah ini memang didesain untuk saya dan istri yang punya kebutuhan khusus. Ada pagarnya, ada pegangan di setiap ruangan, bahkan lantainya dibuat beda, ada bagian yang kasar, ada yang tidak. Ini sangat-sangat membantu kami.”

Kini, rumah baru itu bukan hanya tempat berlindung, tapi juga sumber harapan baru. Baitini, sang istri, mengaku tak lagi was-was setiap kali mendengar suara hujan atau angin malam. “Rumah itu kan tempat berlindung dari hujan dan panas,” katanya lembut. “Sekarang saya bersyukur punya rumah bagus seperti ini, rumah ini rasanya sudah jadi anugerah besar.”

Bagi Muhdi, rumah baru itu juga berarti kesempatan baru untuk memperbaiki taraf hidup. Ia berencana memasang plang usaha pijat di depan rumahnya, agar pelanggan lebih mudah menemukan jasanya. “Semoga rumah ini membawa berkah rezeki baru buat keluarga saya,” ucapnya penuh semangat. “Saya ingin nabung buat masa depan, siapa tahu nanti bisa buat biaya kalau kami punya anak.”

Muhdi bersama istrinya bersantai di kamar rumah layak huni mereka setelah dibangun oleh Habitat for Humanity Indonesia bersama POSCO di Cilegon. Foto: HFHI/Kevin Herbian

Proyek pembangunan rumah ini merupakan bagian dari “2025 POSCO 1% Foundation Echo Village”, hasil kolaborasi antara Habitat for Humanity dan POSCO. Melalui inisiatif ini, enam rumah layak huni dibangun dengan desain ramah lingkungan dan aman bagi penghuninya. Inovasinya meliputi penggunaan eco-brick dari limbah plastik, sistem penampungan air hujan, serta septic tank dan soak pit untuk memastikan sanitasi yang sehat bagi keluarga penerima manfaat.

Tak berhenti di situ, proyek ini juga menghadirkan pelatihan manajemen rumah sehat dan Building Back Safer (BBS) bagi 50 keluarga lainnya di sekitar wilayah Ciwandan dan Citangkil. Para warga juga mendapatkan penguatan kapasitas melalui pelatihan bagi Tim Siaga Bencana Kelurahan (TBSK), serta difasilitasi untuk mengajukan status Kelurahan Tangguh Bencana (Kaltana) ke BNPB, agar masyarakat memiliki dukungan resmi dalam penanggulangan bencana.

Kini, di antara deretan rumah baru yang berdiri kokoh di Cilegon, rumah kecil milik Muhdi menjadi simbol harapan. Ia mungkin tidak bisa melihatnya, tapi setiap kali tangannya menyentuh tembok rumah barunya, ia tahu perjuangannya tak sia-sia.

“Dulu saya cuma bisa bermimpi punya rumah kuat yang enggak bocor. Sekarang mimpi itu sudah jadi kenyataan.” tutup Muhdi.

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – Centratama
Kabar Habitat

Akses Literasi Digital Baru bagi Siswa SMPN 1 Pakem

Sleman, 21 November 2025 – Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Centratama Group kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung peningkatan literasi pendidikan di Indonesia melalui pembangunan perpustakaan digital di SMP Negeri 1 Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Inisiatif ini menjadi bukti bahwa pendidikan yang inklusif dan modern dapat diwujudkan melalui sinergi antara sektor swasta dan lembaga sosial. 

Peresmian fasilitas tersebut dilakukan secara simbolis melalui pemotongan pita dan dihadiri oleh Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa, Chief of Finance Officer PT Centratama Group, Caba Pinter, Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, Handoko Ngadiman, serta jajaran tenaga pendidik SMPN 1 Pakem. 

Program ini tidak hanya membangun ruang perpustakaan baru, tetapi juga melakukan renovasi menyeluruh, mulai dari pengerjaan bangunan, pengecatan mural, hingga penyediaan fasilitas pendukung seperti karpet, meja dan kursi belajar, sofa, LED TV, sound system, AC, komputer, dan berbagai furnitur lainnya. Semua fasilitas tersebut dirancang untuk menciptakan ruang belajar yang lebih nyaman dan modern. 

PT Centratama Group juga memastikan bahwa teknologi menjadi elemen utama dalam transformasi ini. Mereka berkontribusi dalam instalasi software serta pelatihan penggunaan aplikasi Edoo, platform perpustakaan digital yang menyediakan lebih dari 1.000 e-book dari berbagai kategori. Handoko Ngadiman menjelaskan bahwa “Selama 10 tahun di SMPN 1 Pakem baru mendapatkan 1.000 buku cetak, namun dalam tiga minggu ini siswa sudah memiliki akses pada e-book sebanyak 487 buku dengan 709 salinan. Hal ini diharapkan dapat semakin meningkatkan dampak baik kepada siswa khususnya dunia literasi.” 

Baca juga: Pojok Baca Digital: Memperkaya Kesempatan Belajar Bersama

Dari pihak Centratama, Caba Pinter menegaskan bahwa program ini merupakan bagian dari komitmen jangka panjang perusahaan untuk memperkuat pendidikan berbasis teknologi di Indonesia. “Program ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan kami. Kami percaya bahwa literasi digital merupakan fondasi penting untuk masa depan, dan melalui fasilitas ini kami ingin memastikan para siswa memiliki akses yang luas terhadap sumber belajar modern,” ujarnya. 

Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa, menilai inisiatif ini sebagai langkah strategis dalam membangun budaya literasi di kalangan pelajar. Ia mengatakan, “Kehadiran perpustakaan digital ini tidak hanya menambah fasilitas belajar, tetapi juga menjadi sarana penting untuk memperkuat literasi bagi anak-anak kita. Jadi, harapan saya fasilitas ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena semaju apa pun teknologi, kalau tidak dimanfaatkan, tidak ada gunanya.” 

Dengan adanya perpustakaan digital, siswa dan guru kini dapat mengakses berbagai sumber bacaan kapan pun dan di mana pun melalui smartphone mereka. Selain meningkatkan mutu proses pembelajaran, fasilitas ini juga diharapkan mampu mendukung peningkatan prestasi akademik serta menjadi nilai tambah dalam penguatan akreditasi sekolah melalui pemanfaatan teknologi. 

Kepala SMPN 1 Pakem, Titin Sumarni, menyampaikan apresiasinya kepada seluruh pihak yang terlibat. Ia menutup dengan mengatakan, “Harapannya ini dapat meningkatkan kompetensi literasi dan minat baca siswa-siswi kami. Terbukti dalam waktu tiga minggu setelah aktivasi dan pelatihan, sudah ada 145 digital buku yang diakses. Dengan adanya perpustakaan digital, ini lompatan yang luar biasa.”

Foto & Video: HFHI/Budi Ariyanto

(kh)

HFHI-Arthawena 01
Kisah Perubahan

Rumah yang Menghidupkan Harapan: Kisah Keluarga Alex dari Kupang Timur

21 November 2025 – Di sebuah dusun kecil di Kupang Timur, Kabupaten Kupang – Nusa Tenggara Timur, berdirilah rumah sederhana berukuran 4×6 meter milik Alex Batuk (46). Dindingnya dari bebak lontar, atapnya dari daun lontar yang telah mengering, dan lantainya masih berupa tanah. Di rumah inilah Alex tinggal bersama istrinya, Trudelyanti (34), serta tiga anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dan satu di antaranya seorang balita.

Setiap sudut rumah menyimpan kisah perjuangan. Ketika hujan deras datang, air masuk dari segala arah, membuat lantai becek dan lembap. Dinding-dinding dari lontar kerap rapuh dimakan usia, dan jendela satu-satunya tidak mampu menyalurkan udara dengan baik. Rumah itu telah mereka huni lebih dari tujuh tahun, tahun demi tahun yang penuh kekhawatiran dan harapan.

“Karena kondisi rumah menggunakan atap dari daun, setiap tiga tahun sekali saya harus menyisihkan uang untuk mengganti atap tersebut, begitupun dengan dinding setiap kali dirayapi,” tutur Alex. Penghasilan sebagai petani sebesar satu juta rupiah per bulan membuat setiap rupiah terasa berarti. Untuk menambah pemasukan, Alex berjualan gula pohon gewang di sela waktu luangnya.

Namun, yang paling menakutkan bagi keluarga kecil ini bukan hanya soal ekonomi. Ketika badai datang, rasa takut selalu menghantui. “Saya selalu was-was setiap ada angin besar, seperti waktu itu saat Seroja datang. Rumah saya bisa patah dan rubuh. Setiap ada angin kencang, kita duduk di depan pintu. Takut angin bawa, kita bisa lari keluar,” kenangnya.

Kondisi rumah Alex Batuk sebelum menerima dukungan pembangunan rumah layak huni di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Titik Balik Harapan Baru

Harapan baru datang ketika tim Habitat for Humanity Indonesia bersama PT Arthawenasakti Gemilang datang ke kampung mereka. Setelah melihat kondisi rumah Alex yang tidak layak huni, Habitat Indonesia memutuskan untuk membantu membangun kembali rumahnya menjadi rumah yang lebih aman dan sehat untuk ditinggali.

Namun kisah ini tidak hanya berhenti pada bantuan semata. Saat program pembangunan dimulai, Alex yang mengaku pernah bekerja sebagai tukang bangunan diminta ikut bergabung sebagai pekerja konstruksi. Ia tidak sekadar penerima manfaat, tetapi juga menjadi bagian dari proses membangun rumah impiannya sendiri.

“Sebelum Habitat hadir di kampung saya, saya juga mencari sambilan sebagai tukang bangunan. Jadi saya tahu betul mana rumah yang layak dan kokoh, saya tahu bagaimana pondasi yang kuat menggunakan cakar ayam,” ujar Alex.

Melalui pelatihan yang diberikan Habitat Indonesia, Alex semakin memahami pentingnya standar rumah tahan gempa dan struktur bangunan yang aman. Ia terlibat langsung dari awal hingga akhir proses pembangunan, memastikan setiap dinding berdiri tegak dan setiap atap terpasang kuat.

“Perbedannya luar biasa. Adanya bantuan rumah ini terasa sangat kuat dan kokoh, karena saya tahu betul pembangunan rumah ini seperti apa. Saya ikut terlibat langsung membangunnya,” katanya dengan senyum bangga.

Alex Batuk terlibat dalam proses pembangunan rumah layak huni bersama Habitat for Humanity Indonesia di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Baca juga: Hadiah dari Doa yang Tak Pernah Putus

Rumah yang Mengubah Hidup

Kini, rumah baru Alex telah berdiri kokoh. Bagi keluarga kecil itu, rumah ini bukan hanya tempat berlindung dari hujan dan panas, tetapi juga simbol kehidupan baru.

“Rumah itu kan tempat berlindung di dalam, saat hujan, panas. Sekarang saya bersyukur punya rumah bagus seperti ini,” kata Trudelyanti sambil menatap dinding baru rumahnya. “Rumah ini sangat pas untuk keluarga kami tinggal, dua anak kami bisa punya kamar sendiri.”

Lebih dari itu, rumah layak ini turut membawa perubahan nyata bagi ekonomi keluarga. Jika dulu sebagian penghasilan harus disisihkan untuk memperbaiki atap lontar atau mengganti dinding yang rusak, kini uang itu bisa digunakan untuk hal yang lebih penting yakni, pendidikan anak-anak mereka.

“Sekarang saya bisa menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan anak-anak. Tidak perlu lagi khawatir atap bocor atau rumah rusak,” ujar Alex penuh rasa syukur.

Setelah rumahnya selesai dibangun, Alex tetap memilih untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja konstruksi bersama tim Habitat. Ia ingin membantu membangun rumah-rumah layak huni lainnya di desanya.

Kini, setiap kali ia membantu mendirikan rumah baru untuk tetangganya, ada semangat yang sama yang ia rasakan yaitu, semangat untuk memberi rasa aman dan harapan kepada keluarga lain, sebagaimana ia pernah menerimanya.

Potret keluarga Alex Batuk di depan rumah mereka yang telah layak huni di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto: HFHI/Budi Ariyanto

Berkat dukungan PT Arthawenasakti Gemilang, program pembangunan rumah layak huni ini berhasil menghadirkan 100 rumah baru dan renovasi bagi keluarga di wilayah Kupang dan sekitarnya. Di balik angka itu, tersimpan kisah-kisah nyata seperti keluarga Alex, tentang perjuangan, ketulusan, dan harapan yang tumbuh di antara dinding rumah yang baru berdiri.

Karena bagi Alex dan banyak keluarga lainnya, rumah bukan hanya tempat tinggal. Rumah adalah tempat di mana harapan tumbuh, cinta berdiam, dan kehidupan dimulai kembali.

Penulis: Kevin Herbian

(av/kh)

HFHI – Housing System
Kabar Habitat

Menuju Sistem Perumahan yang Lebih Inklusif

Jakarta, 17 November 2025 – Sekitar 2,8 miliar orang di seluruh dunia masih hidup tanpa hunian yang layak—angka yang mencengangkan, setara dengan sepertiga umat manusia yang setiap hari menghadapi risiko perubahan iklim yang semakin parah. Pemerintah dan berbagai lembaga perumahan telah bertahun-tahun berupaya mencari solusi, membangun program, dan merumuskan sistem untuk menjawab tantangan ini. Namun kenyataannya, defisit perumahan global tetap membesar, diperburuk oleh urbanisasi yang cepat, bencana yang makin intens, dan pemanasan global yang tidak menunjukkan tanda melambat.

Tantangan terbesar hari ini bukan hanya tentang membangun lebih banyak rumah, tetapi menyatukan berbagai sistem yang seharusnya saling mendukung dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat.

Mengurai Kerumitan Sistem Perumahan

Berbagai pihak—dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, hingga sektor swasta—memiliki peran dan keahlian masing-masing dalam mendukung akses masyarakat terhadap perumahan yang layak. Namun, pendekatan yang masih terkotak-kotak dan praktik lama yang sulit berubah kerap menghambat integrasi upaya-upaya tersebut.

Melihat besarnya kebutuhan, perbaikan kecil tidak lagi memadai. Hanya membangun rumah atau merencanakan permukiman baru tidak akan menyelesaikan masalah. Tantangan yang lebih besar terletak pada bagaimana sistem yang mengatur akses masyarakat terhadap perumahan itu sendiri dapat diperbaiki. Sebab perumahan bukanlah satu sistem tunggal, melainkan jaringan kompleks yang mencakup pasar, institusi, kebijakan, hingga norma sosial.

Jika hambatan antar-sistem ini dapat diruntuhkan, sektor perumahan dapat berkembang menjadi ruang yang lebih kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Foto bersama para peserta workshop TCIS, yang menghabiskan beberapa hari di Jakarta untuk berbagi ide, pengalaman, dan strategi dalam mendorong solusi perumahan yang lebih tangguh bagi keluarga berpenghasilan rendah. Foto: HFHI/Astridinar Vania

Satu Langkah Kecil Menuju Perubahan Lebih Besar

Sepekan lalu, langkah menuju perubahan itu mulai terlihat ketika Terwilliger Center for Innovation in Shelter (TCIS) menyelenggarakan lokakarya peningkatan kapasitas bagi tim Habitat for Humanity dari berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik.

Habitat for Humanity Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah acara ini, yang menghadirkan pengenalan terhadap systems thinking, human-centered design, dan pengembangan sistem pasar—tiga pendekatan penting untuk memperkuat ekosistem perumahan.

Materi yang dibahas memang berat, namun sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi sektor perumahan saat ini. Para peserta pulang dengan pemahaman baru yang lebih tajam serta kemampuan yang lebih kuat untuk menggerakkan solusi perumahan yang benar-benar menjangkau keluarga berpenghasilan rendah yang paling rentan.

Kami menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Scott Merrill, Sheldon Yoder, dan Al Francis Razon, beserta seluruh tim TCIS. Dengan fasilitasi yang cermat dan kolaboratif, mereka mampu menyederhanakan konsep yang kompleks menjadi pengalaman belajar yang reflektif dan mudah diterapkan oleh rekan-rekan Habitat for Humanity dari seluruh kawasan.

Jika semua wawasan yang diperoleh dalam lokakarya ini mampu diterjemahkan menjadi aksi nyata, bukan tidak mungkin lebih banyak keluarga di Asia-Pasifik akan segera mendapatkan akses ke hunian yang lebih sehat, aman, dan tangguh di masa depan.

Penulis: Arwin Soelaksono/Program Director Habitat for Humanity Indonesia

(kh/av)

HFHI – HFH COP30
Kabar Habitat

Laporan Habitat for Humanity Ungkap Minimnya Dukungan bagi Negara Rentan Perubahan Iklim

BELEM, Brasil (11 November 2025) — Habitat for Humanity International merilis laporan terbaru yang mengungkap bahwa negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim justru belum menjadi prioritas dalam kebijakan iklim nasional maupun pendanaan pembangunan terkait iklim.

Dalam laporan berjudul Climate Action through Housing and Informal Settlements, Habitat menelaah Nationally Determined Contribution (NDC) dari 188 negara, dokumen resmi yang berisi komitmen publik suatu negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim sesuai dengan tujuan Paris Agreement.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar NDC belum memasukkan aspek perumahan secara memadai, padahal sektor bangunan merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Selain itu, hanya 11 negara yang menyinggung isu permukiman informal atau kawasan kumuh dalam NDC mereka, meski lebih dari 1 miliar orang di dunia tinggal di wilayah tersebut.

Laporan ini juga menemukan ketidaksesuaian antara komitmen dan pendanaan yakni, beberapa negara dengan komitmen tinggi terhadap perumahan, seperti Bahama dan Benin, justru menerima dukungan finansial yang sangat minim dari pendanaan pembangunan terkait iklim. Sebaliknya, sejumlah penerima dana iklim terbesar memiliki komitmen perumahan yang lemah. Costa Rica menjadi pengecualian yang menonjol karena berhasil menyelaraskan antara komitmen tinggi dan penerimaan dana iklim yang signifikan.

Secara keseluruhan, hanya sekitar 7% dari total pembiayaan pembangunan terkait iklim yang diarahkan untuk peningkatan perumahan secara bertahap di kawasan permukiman informal. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim masih belum menjadi prioritas dalam kebijakan maupun pendanaan global.

“Temuan dalam laporan ini sangat mengkhawatirkan, meskipun sayangnya tidak mengejutkan,” ujar Patrick Canagasingham, Chief Operating Officer Habitat for Humanity International. “Berkali-kali kami melihat bahwa masyarakat yang tinggal di permukiman informal, yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, justru menjadi kelompok yang paling sedikit menerima dukungan dalam hal kebijakan maupun pendanaan. Kami mendesak pemerintah untuk mengintegrasikan aspek perumahan ke dalam NDC mereka demi memastikan ketahanan dan keamanan iklim bagi komunitas rentan di seluruh dunia.”

Rekomendasi Utama bagi Pembuat Kebijakan

Untuk memperkuat ketahanan iklim dan mengurangi emisi melalui sektor perumahan, Habitat for Humanity menyerukan agar negara-negara mengambil langkah nyata dalam pembaruan NDC berikutnya. Beberapa rekomendasi utama antara lain:

  • Pemerintah perlu mengintegrasikan transformasi perumahan dan permukiman informal ke dalam NDC, rencana adaptasi, serta kerangka kerja pengurangan risiko bencana, dengan target terukur dan intervensi berbasis komunitas.
  • Donor dan lembaga multilateral perlu menjadikan perumahan sebagai investasi strategis berdampak tinggi untuk mencapai ketahanan iklim, dengan memperluas pendekatan yang telah terbukti, meningkatkan transparansi pendanaan, dan menyelaraskan dukungan dengan ambisi iklim nasional.
  • Organisasi masyarakat sipil diharapkan berperan aktif dalam memantau komitmen, mengadvokasi solusi perumahan yang inklusif dan tangguh, serta memperkuat inisiatif berbasis komunitas yang berfokus pada peningkatan hunian, penghidupan, dan ketahanan iklim.

Laporan ini juga menunjukkan perkembangan positif yaitu, dari 20 negara yang memperbarui NDC mereka hingga pertengahan 2025, sebanyak 16 negara meningkatkan komitmen terkait perumahan, termasuk menambahkan fokus baru pada permukiman informal dan perumahan sosial.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai laporan Climate Action through Housing and Informal Settlements atau partisipasi Habitat dalam COP 30, silahkan kunjungi habitat.org/Habitat-COP30

Tentang Habitat for Humanity

Habitat for Humanity merupakan gerakan global yang mengajak masyarakat di berbagai negara untuk bersama-sama membangun komunitas yang lebih sejahtera dan berdaya dengan memastikan setiap orang memiliki tempat tinggal yang layak, aman, dan terjangkau.

Sejak berdiri pada tahun 1976, Habitat telah membantu lebih dari 62 juta orang di seluruh dunia membangun masa depan yang lebih baik melalui akses terhadap perumahan yang layak. Habitat mewujudkan hal ini dengan bekerja bersama masyarakat dalam membangun, memperbaiki, dan membiayai rumah, mengembangkan inovasi di bidang konstruksi dan pembiayaan, serta mendorong kebijakan publik yang mendukung kemudahan akses terhadap perumahan.

Bersama, kita membangun rumah, komunitas, dan harapan.

(av/kh)

HU – HFHI – Home Equals (2)
Kabar Habitat

Home Equals Habitat for Humanity Perkuat Literasi Digital Karang Taruna Desa Campurejo

Gresik, 7 November 2025 – Dalam upaya memperkuat peran pemuda desa sebagai agen perubahan di era digital, Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif Universitas Kristen Petra (UK Petra) menggelar kegiatan Pemberdayaan Karang Taruna dalam Pengelolaan Informasi Berbasis Potensi Wilayah di Media Sosial di Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Kegiatan ini diikuti oleh 20 anggota Karang Taruna Desa Campurejo dan menjadi bagian dari dukungan terhadap Proyek Home Equals Habitat for Humanity, yang berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan informasi dan komunikasi publik berbasis potensi wilayah.

Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan memiliki peran strategis dalam mengembangkan potensi lokal di bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, tantangan di era digital menunjukkan perlunya peningkatan kemampuan dalam memanfaatkan media sosial secara efektif. Melalui kegiatan ini, para pemuda didorong untuk mampu mengelola media sosial sebagai sarana promosi dan branding wilayah secara kreatif dan terarah.

Narasumber utama dalam kegiatan ini, Dr. Inri Inggrit Indrayani, M.Si, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UK Petra sekaligus Kepala Bidang Studi Strategic Communication, bersama timnya, Vanessa Febriani, Devina Aurelia Cokro, Hendrawan Surya Wijaya, dan Michael Juan Ivander Widiarto, memberikan pendampingan mengenai strategi komunikasi digital, penulisan kreatif, dan produksi konten berbasis potensi lokal.

Baca juga: Gelora Sumpah Pemuda Menggema Lewat Aksi Nyata di 28UILD 2025

Program pelatihan ini dilaksanakan melalui empat tahapan, yaitu persiapan dan koordinasi, pelatihan dasar, implementasi, serta evaluasi dan keberlanjutan. Pada tahap awal, tim Habitat for Humanity dan UK Petra berkoordinasi dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat untuk memetakan potensi lokal yang dapat dikembangkan menjadi konten digital. Peserta kemudian dilatih dalam pengelolaan media sosial yang berorientasi pada promosi potensi desa, mulai dari produk UMKM, kegiatan budaya, hingga pariwisata lokal.

Dr. Inri menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas digital pemuda desa menjadi langkah penting dalam mendukung kemandirian dan pembangunan berbasis komunitas. “Kami ingin para pemuda memiliki kesadaran bahwa media sosial bisa menjadi alat strategis untuk membangun citra positif wilayah, bukan sekadar tempat berbagi informasi harian. Dengan kemampuan digital yang baik, mereka dapat berperan aktif memperkenalkan potensi lokal, memperluas jaringan, dan menginspirasi masyarakat luas,” ujarnya.

Melalui kegiatan ini, Karang Taruna diharapkan mampu mengelola akun media sosial desa secara konsisten dan kreatif. Akun tersebut akan menjadi saluran utama dalam menyebarkan informasi positif dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pembangunan wilayah.

Program ini juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan bagi para pemuda Desa Campurejo terhadap potensi daerahnya sendiri. Peningkatan literasi digital ini menjadi langkah awal menuju desa yang lebih berdaya, adaptif terhadap perkembangan zaman, serta memiliki identitas digital yang kuat.

(kh/av)

HU – HFHI – 28uild 2025
Kabar Habitat

Gelora Sumpah Pemuda Menggema Lewat Aksi Nyata di 28UILD 2025

Jakarta, 28 Oktober 2025 – Dalam semangat memperingati Hari Sumpah Pemuda, sebanyak 400 pemuda Indonesia membuktikan tekad persatuan melalui aksi nyata membangun rumah layak huni bersama Habitat for Humanity Indonesia dalam kegiatan 28UILD 2025.

Sejak dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda menjadi simbol tekad generasi muda untuk memajukan bangsa. Kini, semangat itu terus hidup melalui tangan-tangan muda yang bekerja bersama membangun rumah bagi keluarga berpenghasilan rendah, sebuah wujud nyata kepedulian dan gotong royong di tengah tantangan backlog perumahan nasional yang masih mencapai lebih dari 12 juta unit.

Habitat for Humanity Indonesia meyakini, keterlibatan pemuda adalah kunci menghadirkan perubahan nyata. Melalui 28UILD, mereka tidak hanya membangun dinding dan pondasi, tetapi juga membangun harapan, solidaritas, serta nilai kemanusiaan.

Tahun ini, kegiatan 28UILD 2025 dilaksanakan serentak di Tangerang, Yogyakarta, dan Gresik pada Sabtu, 25 Oktober 2025. Ratusan relawan muda turun langsung mengerjakan pembangunan rumah, mulai dari pemasangan tembok, pengecatan, hingga pembentukan pondasi. Di bawah teriknya matahari, semangat mereka tak padam, disertai tawa, percakapan hangat, dan rasa bangga bisa berkontribusi untuk sesama.

Baca juga: Memperingati Hari Sumpah Pemuda, Habitat for Humanity Indonesia Gelar 28UILD 2024 untuk Mengajak Generasi Muda Beraksi Bangun Indonesia

Selain membangun rumah, acara ini juga menghadirkan lomba kreatif dengan total hadiah Rp16 juta, mencakup desain kaos, yel-yel, jingle, dan liputan kegiatan. Melalui lomba ini, generasi muda diajak menyalurkan ide, energi, dan kreativitas mereka secara positif untuk menggaungkan pesan rumah layak huni bagi semua.

Kegiatan ini juga mendapat dukungan dari berbagai Key Opinion Leader (KOL) dan figur publik yang turut menginspirasi generasi muda untuk beraksi, antara lain Han Chandra, Josh Kunze, serta komunitas Act of Love yang didirikan oleh Cinta Laura. Kehadiran mereka memperkuat pesan bahwa kepedulian sosial bukan hanya wacana, melainkan panggilan nyata bagi setiap anak muda Indonesia.

“Pemuda adalah harapan dan sudah membuktikan dalam sejarah sebagai pembawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Melalui 28UILD, kami ingin mengajak para pemuda untuk terus berani bermimpi dan bertindak untuk turut membangun Indonesia yang lebih baik,” ujar Handoko Ngadiman, National Director Habitat for Humanity Indonesia. “Semoga semakin banyak anak muda yang menghidupkan semangat Sumpah Pemuda melalui aksi nyata dalam pengentasan kemiskinan rumah di Indonesia untuk keluarga-keluarga prasejahtera.”

Kegiatan 28UILD 2025 turut mendapat dukungan dari berbagai mitra yang percaya pada kekuatan kolaborasi untuk membangun negeri antara lain, Daily Box, Kapal Api Group, BUMA, Orang Tua Group, Gebacken, Delami (Executive), PT Trikemindo Utama, Brawijaya Hospital, Pepsico, L’Oréal, Aplus, PT Avia Avian Tbk, Smart Tools, Flow, Superbank, Rentokil, WRP, Karsa, Heritage, TRAC, The Southern Hotel, dan Bima Bissaloy.

Keberhasilan 28UILD 2025 menjadi bukti bahwa semangat Sumpah Pemuda tetap berkobar di hati generasi muda Indonesia. Habitat for Humanity Indonesia akan terus menyalakan api semangat itu, menginspirasi lebih banyak pemuda untuk membangun rumah, menumbuhkan harapan, dan mewujudkan Indonesia yang lebih layak huni.

Penulis: Syefira Salsabilla

Foto/Video: HFHI/Budi Ariyanto & Kevin Herbian

(av/kh)

HU – HFHI – Nimah
Kisah Perubahan

Semangat Perempuan Tangguh di Balik Revitalisasi Kampung Tanjung Kait

Yuk, berkenalan dengan Ibu Nimah, salah satu perempuan warga Kampung Tanjung Kait yang ikut terlibat langsung dalam membangun rumah layak huni.  

Tangerang, 13 Oktober 2025 – Ada semangat yang tak pernah padam dari sosok sederhana bernama Ibu Nimah. Setiap pagi, perempuan berusia 55 tahun ini selalu memulai hari dengan sebuah pertanyaan kecil dalam hati, “Apa yang bisa saya bantu hari ini? Apa yang bisa saya lakukan hari ini?” Kalimat sederhana itu menjadi pemantik energi yang membuatnya tetap kuat, meski hidup tidak selalu mudah baginya. 

Ibu Nimah adalah salah satu warga Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang, yang rumahnya ikut dibangun kembali dalam Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait. Program ini menghadirkan 110 rumah layak huni baru untuk warga, sekaligus infrastruktur penunjang yang lebih memadai. Bagi Nimah, program ini bukan sekadar proyek fisik, melainkan kesempatan untuk ikut meninggalkan jejak dalam membangun kampungnya. 

Awal Mula Perjalanan 

Awalnya, keterlibatan Ibu Nimah di proyek pembangunan ini sederhana saja. Ia hanya menyediakan minuman dan makanan ringan untuk para pekerja yang sibuk membangun rumah-rumah di kampungnya. Namun, semakin hari, ia merasa bahwa dirinya ingin melakukan sesuatu yang lebih besar. Ia menyadari, meski tak punya cukup uang untuk memperbaiki rumahnya sendiri, setidaknya ia masih memiliki tenaga. “Saya enggak punya uang, enggak punya apa-apa. Tapi saya punya tenaga, dan itu yang bisa saya berikan,” ungkapnya. 

Sejak saat itu, Nimah tak lagi sekadar berdiri di pinggir, melainkan turun langsung ke lapangan, ikut bergotong royong bersama warga lainnya, termasuk para perempuan, membantu para pekerja konstruksi. 

Keterlibatan Nimah ini tentu tidak lepas dari kondisi rumah lamanya. Selama puluhan tahun, ia tinggal di rumah yang semakin hari semakin rapuh. Dindingnya retak, lantai tak lagi rata, dan atap bocor setiap kali hujan turun. Yang paling parah, setiap kali pasang air laut datang, rumahnya kerap terendam banjir. Air asin menggenang hingga ke dalam rumah, merusak perabotan, membuat dinding lembab, dan memicu kerusakan lebih parah. 

Sebagai seorang janda yang menggantungkan hidup dari penghasilan anak-anaknya dan sesekali bekerja serabutan seperti mengupas kerang, Nimah tidak memiliki cukup biaya untuk memperbaiki rumah. Rasa cemas selalu menghantui, terutama saat hujan deras disertai pasang laut. Ia tak pernah tahu kapan rumahnya bisa benar-benar roboh. 

Namun, kondisi pilu itu perlahan terjawab ketika Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait hadir. Program ini digagas oleh Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA), serta didukung oleh para donatur. Bagi Nimah, program ini adalah anugerah yang menjawab doa-doanya selama ini. 

Potret Nimah yang tampak sibuk mengamplas dinding rumahnya di Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Penguatan Kapasitas Warga Jadi Kunci Strategi Keberlanjutan Revitasisasi Kampung Tanjung Kait

Saat proses pembangunan dimulai, Nimah semakin tergerak untuk turut serta. Ia sadar, rumahnya sendiri termasuk yang akan dibangun. Karena itu, ia merasa perlu memberikan jejak kontribusi. Nimah selalu berusaha ikut berkontribusi dengan cara yang ia mampu. Mulai dari pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membantu mengangkut material ringan, merapikan area kerja, hingga ikut memberi sentuhan sederhana di dinding. Meski terlihat sepele, baginya setiap usaha adalah bentuk nyata keterlibatan dalam membangun rumah impian. 

“Awalnya tukang-tukang itu kasihan lihat saya. Tapi setelah mereka lihat semangat saya, malah mereka jadi semangat juga. Saya enggak malu, enggak canggung, karena saya yakin tenaga saya ini bisa berguna,” tuturnya dengan wajah berbinar. 

Keterlibatan Nimah memberi warna tersendiri di tengah hiruk pikuk pembangunan. Para pekerja dan warga lain melihat keteguhan seorang perempuan yang tidak menyerah pada keadaan. Gotong royong yang ia jalani bersama warga lain semakin memperkuat ikatan sosial di Tanjung Kait. 

Bagi Nimah, setiap tetes keringat adalah doa. Ia percaya bahwa usahanya ini akan meninggalkan kenangan indah, bukan hanya karena ia membantu membangun rumahnya sendiri, tetapi juga karena ia ikut membangun masa depan kampungnya. 

Kini, rumah baru Nimah memang belum selesai sepenuhnya. Ia masih sibuk membantu proses akhir, mulai dari mengamplas hingga mengecat dinding. Meski begitu, ada harapan besar yang ia titipkan pada rumah itu. “Saya berharap rumah baru ini bisa memberi kebahagiaan lahir dan batin. Bisa jadi tempat aman untuk saya dan anak-anak, tempat untuk kami berkumpul tanpa takut banjir atau atap bocor lagi,” ujarnya penuh harap. 

Harapan Nimah sederhana, tetapi sarat makna. Ia ingin rumah barunya kelak menjadi sumber ketenangan, tempat yang membuatnya merasa tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang bencana, dan menjadi simbol semangat baru dalam hidupnya. 

Keterlibatan Nimah ini merupakan bentuk kontribusi nyata warga dalam proses pembangunan rumah layak huni di kampungnya, sekaligus semangat nyata bagaimana peran perempuan bisa memberi dampak positif (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian

Baca juga: Sejarah Baru Dimulai: Revitalisasi Kampung Tanjung Kait Demi 110 Keluarga Dapatkan Kepemilikan Tanah dan Rumah Layak Huni

Perempuan dan Ruang Partisipasi 

Lebih dari sekadar membangun rumah, kisah Nimah juga menyingkap isu penting yakni, keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan komunitas. Selama ini, pekerjaan konstruksi sering dianggap hanya urusan laki-laki. Namun, kehadiran Nimah membuktikan bahwa perempuan juga mampu mengambil peran aktif, meski dengan segala keterbatasan. 

Semangat Nimah adalah gambaran nyata bagaimana pemberdayaan perempuan bisa memberi dampak positif. Kehadirannya di lokasi pembangunan menjadi bukti bahwa perempuan tidak hanya menunggu hasil, melainkan juga bisa menjadi bagian dari proses. Di Tanjung Kait, suara dan tenaga perempuan ikut membangun pondasi bukan hanya rumah, tetapi juga kebersamaan dan kemandirian masyarakat. 

Dari kisah ini juga mengajarkan bahwa kontribusi tidak selalu diukur dari besarnya harta atau banyaknya materi yang diberikan. Dalam keterbatasannya, Nimah tetap mampu memberi sumbangsih besar melalui tenaga, semangat, dan ketekunan. Kisah ini sekaligus menjadi cerminan bahwa revitalisasi kampung bukan hanya tentang membangun rumah, melainkan juga tentang membangun manusia mulai dari kesadaran, kemandirian, dan partisipasi, termasuk dari kaum perempuan. 

Akhir kata, Ibu Nimah berdiri sebagai simbol sederhana yang menyimpan arti besar bahwa setiap orang, siapa pun dia, mampu menjadi bagian dari perubahan. 

Penulis: Kevin Herbian

(kh/av)