15 Tahun Transformasi Kampung Jogoyudan Pasca Erupsi Merapi
Yogyakarta, 3 Desember 2025 – Setiap sudut Kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, kini tampak hidup kembali. Tapi lebih dari satu dekade lalu, kawasan ini nyaris kehilangan harapan.
Bagi Rodi Firdaus, Ketua RW 10, ingatan tentang bencana erupsi Gunung Merapi pada 2010 masih terpatri jelas. Kala itu, hujan deras melanda dan lahar dingin mengalir deras ke pemukiman, membawa pasir dan batu sebesar mobil. Hampir 200 rumah terendam, tanggul pembatas tidak mampu menahan arus deras, dan banyak warga terpaksa mengungsi karena rumah mereka tertimbun lumpur.
“Air waktu itu bergelombang sampai setinggi empat meter. Semuanya terbawa arus, pasir, batu… semua hanyut ke rumah warga,” ujar Rodi, mengenang kejadian itu. Siti Fathonah, warga RW 10, mengingat betul bagaimana paniknya warga kala itu. “Sore itu saya sedang arisan di Balai Warga. Tiba-tiba air deras masuk halaman rumah. Semua terkejut, berlarian menyelamatkan diri,” kata Siti. “Tiga kali banjir datang berturut-turut. Rasanya hampir frustasi.” tambahnya.
Bencana itu menghancurkan fisik dan semangat warga. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kini rusak berat, sebagian hilang tertimbun lumpur, sebagian lagi kehilangan atap dan dinding. “Rasanya membangun kembali kehidupan di sini sudah tidak mungkin,” kenang Rodi.
Di tengah keterbatasan itu juga, bantuan dari pihak luar nyaris tak terlihat, karena kampung ini tidak masuk dalam titik fokus masa tanggap darurat. Warga merasa terasing dan putus asa.
Namun, harapan mulai muncul pada awal 2011. Habitat for Humanity Indonesia datang ke Jogoyudan, melakukan survei dan pendataan sebagai respons awal pasca-erupsi Merapi. Intervensi pertama berupa pembangunan tujuh sarana toilet komunal, langkah awal untuk memulihkan kebutuhan dasar. “Kami berdiskusi dengan tokoh masyarakat, mendengarkan kebutuhan warga. Dari situ lahir rencana membangun rumah layak huni kembali,” kata Wahyu Kustanta, Community Organizer Habitat Indonesia.
Awal pembangunan rumah dimulai dari RW 10 dengan tujuh rumah. Secara bertahap, pembangunan meluas ke RW 8, 11, 12, dan 13, hingga lebih dari 160 rumah layak huni berdiri kokoh. Rumah-rumah ini dibangun dengan prinsip keamanan, kualitas bahan yang tahan lama, dan desain yang mempertimbangkan kebutuhan warga. “Alhamdulillah, rumah saya ikut dibangun kembali. Karena saya punya usaha warung di rumah, rumah juga dibangun menyesuaikan usaha saya. Sangat membantu,” ungkap Siti Fathonah.

Selain rumah, Habitat Indonesia membangun sarana air bersih di beberapa titik kampung. Sistem air ini tidak hanya melayani keluarga yang terdampak, tetapi juga warga lain, sehingga akses air bersih merata. Warga juga terlibat langsung dalam pembangunan, menyumbangkan material, tenaga, dan ide. Tiga saluran air hujan juga turut dibangun melalui pendekatan Participatory Approach for Safe Shelter Awareness (PASSA), yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan.
“Keterlibatan warga sangat aktif. Mereka bukan hanya penerima bantuan, tapi juga bagian dari proses pembangunan,” kata Wahyu. “Gotong royong ini membuat mereka merasa memiliki rumahnya sendiri dan komunitas. Warga merasa terlahir kembali,” tambahnya.
Konsep transformation housing yang diterapkan di Jogoyudan tidak sekadar membangun fisik rumah, tetapi juga membangun kapasitas komunitas, memulihkan ekonomi lokal, dan membentuk kesadaran akan tanggung jawab kolektif.
Siti bercerita tentang dampak perubahan itu pada kehidupannya. “Rumah saya sudah layak huni ini membawa perubahan besar bagi hidup saya. Saya mulai menata kembali usaha warung, sedikit demi sedikit. Kini warung saya berkembang, memiliki banyak barang dagangan, dan keluarga merasa aman.” Transformasi ini tidak hanya menyentuh fisik rumah, tapi juga ekonomi rumah tangga dan rasa percaya diri warga.
Hingga penghujung 2025, semua sarana yang dibangun sejak masa pemulihan bencana masih digunakan dan dirawat warga. “Bahkan kami kembangkan dan perbaiki lagi,” kata Rodi. Fasilitas air bersih, misalnya, digunakan oleh warga untuk usaha laundry dan kegiatan ekonomi lain. Hasil pengelolaan air bersih yang dikelola oleh grup PASSA juga digunakan kembali untuk kesejahteraan masyarakat melalui simpan pinjam komunitas.
Program ini menunjukkan bahwa bencana bukanlah akhir, tetapi awal dari perubahan yang nyata. Warga yang semula kehilangan harapan kini menata kembali kehidupan mereka di tanah yang sama. Rumah layak huni, sarana air bersih, dan saluran air hujan bukan hanya aset fisik, tetapi simbol ketangguhan dan kemampuan warga untuk bangkit.
Lebih dari itu, program ini menekankan prinsip disaster risk reduction (DRR) melalui tranformation housing. Konsep ini memadukan pembangunan fisik rumah yang aman, partisipasi masyarakat, dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masa depan. Warga yang pernah menjadi korban kini memahami bagaimana menata rumah dan lingkungan agar lebih tahan terhadap risiko, meningkatkan kesadaran kolektif, dan memperkuat komunitas.

Kini, 15 tahun setelah bencana, Kampung Jogoyudan tidak hanya pulih, tetapi menjadi contoh nyata bahwa intervensi berbasis partisipasi masyarakat dapat mengubah kehidupan. Rumah-rumah yang kokoh, fasilitas air bersih yang merata, dan sistem saluran hujan yang berfungsi baik adalah bukti transformasi yang berkelanjutan. Warga tidak lagi hanya menunggu bantuan, melainkan mereka menjadi agen perubahan bagi komunitasnya sendiri.
Rodi menutup ceritanya dengan keyakinan, “Jika Habitat tidak hadir, mungkin kami tidak bisa tinggal kembali di sini. Sekarang kami tidak hanya punya rumah, tetapi juga rasa aman, ekonomi yang membaik, dan komunitas yang kuat.”
Bencana memang meninggalkan luka, tapi luka itu diubah menjadi fondasi baru untuk kehidupan yang lebih baik. Kampung Jogoyudan membuktikan bahwa pemulihan pasca-bencana bukan sekadar membangun kembali, tetapi menciptakan komunitas tangguh yang mampu menata kehidupan dengan mandiri dan berkelanjutan.
Simak video berikut untuk memahami lebih dalam tentang Housing Disaster Resilience and Recovery (HDRR)!
Video: HFHI/Budi Ariyanto
Penulis: Kevin Herbian
(kh/av)








































