Jakarta, 17 November 2025 – Sekitar 2,8 miliar orang di seluruh dunia masih hidup tanpa hunian yang layak—angka yang mencengangkan, setara dengan sepertiga umat manusia yang setiap hari menghadapi risiko perubahan iklim yang semakin parah. Pemerintah dan berbagai lembaga perumahan telah bertahun-tahun berupaya mencari solusi, membangun program, dan merumuskan sistem untuk menjawab tantangan ini. Namun kenyataannya, defisit perumahan global tetap membesar, diperburuk oleh urbanisasi yang cepat, bencana yang makin intens, dan pemanasan global yang tidak menunjukkan tanda melambat.
Tantangan terbesar hari ini bukan hanya tentang membangun lebih banyak rumah, tetapi menyatukan berbagai sistem yang seharusnya saling mendukung dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat.
Mengurai Kerumitan Sistem Perumahan
Berbagai pihak—dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, hingga sektor swasta—memiliki peran dan keahlian masing-masing dalam mendukung akses masyarakat terhadap perumahan yang layak. Namun, pendekatan yang masih terkotak-kotak dan praktik lama yang sulit berubah kerap menghambat integrasi upaya-upaya tersebut.
Melihat besarnya kebutuhan, perbaikan kecil tidak lagi memadai. Hanya membangun rumah atau merencanakan permukiman baru tidak akan menyelesaikan masalah. Tantangan yang lebih besar terletak pada bagaimana sistem yang mengatur akses masyarakat terhadap perumahan itu sendiri dapat diperbaiki. Sebab perumahan bukanlah satu sistem tunggal, melainkan jaringan kompleks yang mencakup pasar, institusi, kebijakan, hingga norma sosial.
Jika hambatan antar-sistem ini dapat diruntuhkan, sektor perumahan dapat berkembang menjadi ruang yang lebih kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Foto bersama para peserta workshop TCIS, yang menghabiskan beberapa hari di Jakarta untuk berbagi ide, pengalaman, dan strategi dalam mendorong solusi perumahan yang lebih tangguh bagi keluarga berpenghasilan rendah. Foto: HFHI/Astridinar Vania
Satu Langkah Kecil Menuju Perubahan Lebih Besar
Sepekan lalu, langkah menuju perubahan itu mulai terlihat ketika Terwilliger Center for Innovation in Shelter (TCIS) menyelenggarakan lokakarya peningkatan kapasitas bagi tim Habitat for Humanity dari berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik.
Habitat for Humanity Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah acara ini, yang menghadirkan pengenalan terhadap systems thinking, human-centered design, dan pengembangan sistem pasar—tiga pendekatan penting untuk memperkuat ekosistem perumahan.
Materi yang dibahas memang berat, namun sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi sektor perumahan saat ini. Para peserta pulang dengan pemahaman baru yang lebih tajam serta kemampuan yang lebih kuat untuk menggerakkan solusi perumahan yang benar-benar menjangkau keluarga berpenghasilan rendah yang paling rentan.
Kami menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Scott Merrill, Sheldon Yoder, dan Al Francis Razon, beserta seluruh tim TCIS. Dengan fasilitasi yang cermat dan kolaboratif, mereka mampu menyederhanakan konsep yang kompleks menjadi pengalaman belajar yang reflektif dan mudah diterapkan oleh rekan-rekan Habitat for Humanity dari seluruh kawasan.
Jika semua wawasan yang diperoleh dalam lokakarya ini mampu diterjemahkan menjadi aksi nyata, bukan tidak mungkin lebih banyak keluarga di Asia-Pasifik akan segera mendapatkan akses ke hunian yang lebih sehat, aman, dan tangguh di masa depan.
Penulis: Arwin Soelaksono/Program Director Habitat for Humanity Indonesia
BELEM, Brasil (11 November 2025) — Habitat for Humanity International merilis laporan terbaru yang mengungkap bahwa negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim justru belum menjadi prioritas dalam kebijakan iklim nasional maupun pendanaan pembangunan terkait iklim.
Dalam laporan berjudul Climate Action through Housing and Informal Settlements, Habitat menelaah Nationally Determined Contribution (NDC) dari 188 negara, dokumen resmi yang berisi komitmen publik suatu negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim sesuai dengan tujuan Paris Agreement.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar NDC belum memasukkan aspek perumahan secara memadai, padahal sektor bangunan merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Selain itu, hanya 11 negara yang menyinggung isu permukiman informal atau kawasan kumuh dalam NDC mereka, meski lebih dari 1 miliar orang di dunia tinggal di wilayah tersebut.
Laporan ini juga menemukan ketidaksesuaian antara komitmen dan pendanaan yakni, beberapa negara dengan komitmen tinggi terhadap perumahan, seperti Bahama dan Benin, justru menerima dukungan finansial yang sangat minim dari pendanaan pembangunan terkait iklim. Sebaliknya, sejumlah penerima dana iklim terbesar memiliki komitmen perumahan yang lemah. Costa Rica menjadi pengecualian yang menonjol karena berhasil menyelaraskan antara komitmen tinggi dan penerimaan dana iklim yang signifikan.
Secara keseluruhan, hanya sekitar 7% dari total pembiayaan pembangunan terkait iklim yang diarahkan untuk peningkatan perumahan secara bertahap di kawasan permukiman informal. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim masih belum menjadi prioritas dalam kebijakan maupun pendanaan global.
“Temuan dalam laporan ini sangat mengkhawatirkan, meskipun sayangnya tidak mengejutkan,” ujar Patrick Canagasingham, Chief Operating Officer Habitat for Humanity International. “Berkali-kali kami melihat bahwa masyarakat yang tinggal di permukiman informal, yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, justru menjadi kelompok yang paling sedikit menerima dukungan dalam hal kebijakan maupun pendanaan. Kami mendesak pemerintah untuk mengintegrasikan aspek perumahan ke dalam NDC mereka demi memastikan ketahanan dan keamanan iklim bagi komunitas rentan di seluruh dunia.”
Rekomendasi Utama bagi Pembuat Kebijakan
Untuk memperkuat ketahanan iklim dan mengurangi emisi melalui sektor perumahan, Habitat for Humanity menyerukan agar negara-negara mengambil langkah nyata dalam pembaruan NDC berikutnya. Beberapa rekomendasi utama antara lain:
Pemerintah perlu mengintegrasikan transformasi perumahan dan permukiman informal ke dalam NDC, rencana adaptasi, serta kerangka kerja pengurangan risiko bencana, dengan target terukur dan intervensi berbasis komunitas.
Donor dan lembaga multilateral perlu menjadikan perumahan sebagai investasi strategis berdampak tinggi untuk mencapai ketahanan iklim, dengan memperluas pendekatan yang telah terbukti, meningkatkan transparansi pendanaan, dan menyelaraskan dukungan dengan ambisi iklim nasional.
Organisasi masyarakat sipil diharapkan berperan aktif dalam memantau komitmen, mengadvokasi solusi perumahan yang inklusif dan tangguh, serta memperkuat inisiatif berbasis komunitas yang berfokus pada peningkatan hunian, penghidupan, dan ketahanan iklim.
Laporan ini juga menunjukkan perkembangan positif yaitu, dari 20 negara yang memperbarui NDC mereka hingga pertengahan 2025, sebanyak 16 negara meningkatkan komitmen terkait perumahan, termasuk menambahkan fokus baru pada permukiman informal dan perumahan sosial.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai laporan Climate Action through Housing and Informal Settlements atau partisipasi Habitat dalam COP 30, silahkan kunjungi habitat.org/Habitat-COP30
Tentang Habitat for Humanity
Habitat for Humanity merupakan gerakan global yang mengajak masyarakat di berbagai negara untuk bersama-sama membangun komunitas yang lebih sejahtera dan berdaya dengan memastikan setiap orang memiliki tempat tinggal yang layak, aman, dan terjangkau.
Sejak berdiri pada tahun 1976, Habitat telah membantu lebih dari 62 juta orang di seluruh dunia membangun masa depan yang lebih baik melalui akses terhadap perumahan yang layak. Habitat mewujudkan hal ini dengan bekerja bersama masyarakat dalam membangun, memperbaiki, dan membiayai rumah, mengembangkan inovasi di bidang konstruksi dan pembiayaan, serta mendorong kebijakan publik yang mendukung kemudahan akses terhadap perumahan.
Bersama, kita membangun rumah, komunitas, dan harapan.
Gresik, 7 November 2025 – Dalam upaya memperkuat peran pemuda desa sebagai agen perubahan di era digital, Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif Universitas Kristen Petra (UK Petra) menggelar kegiatan Pemberdayaan Karang Taruna dalam Pengelolaan Informasi Berbasis Potensi Wilayah di Media Sosial di Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Kegiatan ini diikuti oleh 20 anggota Karang Taruna Desa Campurejo dan menjadi bagian dari dukungan terhadap Proyek Home Equals Habitat for Humanity, yang berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan informasi dan komunikasi publik berbasis potensi wilayah.
Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan memiliki peran strategis dalam mengembangkan potensi lokal di bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, tantangan di era digital menunjukkan perlunya peningkatan kemampuan dalam memanfaatkan media sosial secara efektif. Melalui kegiatan ini, para pemuda didorong untuk mampu mengelola media sosial sebagai sarana promosi dan branding wilayah secara kreatif dan terarah.
Narasumber utama dalam kegiatan ini, Dr. Inri Inggrit Indrayani, M.Si, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UK Petra sekaligus Kepala Bidang Studi Strategic Communication, bersama timnya, Vanessa Febriani, Devina Aurelia Cokro, Hendrawan Surya Wijaya, dan Michael Juan Ivander Widiarto, memberikan pendampingan mengenai strategi komunikasi digital, penulisan kreatif, dan produksi konten berbasis potensi lokal.
Program pelatihan ini dilaksanakan melalui empat tahapan, yaitu persiapan dan koordinasi, pelatihan dasar, implementasi, serta evaluasi dan keberlanjutan. Pada tahap awal, tim Habitat for Humanity dan UK Petra berkoordinasi dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat untuk memetakan potensi lokal yang dapat dikembangkan menjadi konten digital. Peserta kemudian dilatih dalam pengelolaan media sosial yang berorientasi pada promosi potensi desa, mulai dari produk UMKM, kegiatan budaya, hingga pariwisata lokal.
Dr. Inri menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas digital pemuda desa menjadi langkah penting dalam mendukung kemandirian dan pembangunan berbasis komunitas. “Kami ingin para pemuda memiliki kesadaran bahwa media sosial bisa menjadi alat strategis untuk membangun citra positif wilayah, bukan sekadar tempat berbagi informasi harian. Dengan kemampuan digital yang baik, mereka dapat berperan aktif memperkenalkan potensi lokal, memperluas jaringan, dan menginspirasi masyarakat luas,” ujarnya.
Melalui kegiatan ini, Karang Taruna diharapkan mampu mengelola akun media sosial desa secara konsisten dan kreatif. Akun tersebut akan menjadi saluran utama dalam menyebarkan informasi positif dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pembangunan wilayah.
Program ini juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan bagi para pemuda Desa Campurejo terhadap potensi daerahnya sendiri. Peningkatan literasi digital ini menjadi langkah awal menuju desa yang lebih berdaya, adaptif terhadap perkembangan zaman, serta memiliki identitas digital yang kuat.
Jakarta, 28 Oktober 2025 – Dalam semangat memperingati Hari Sumpah Pemuda, sebanyak 400 pemuda Indonesia membuktikan tekad persatuan melalui aksi nyata membangun rumah layak huni bersama Habitat for Humanity Indonesia dalam kegiatan 28UILD 2025.
Sejak dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda menjadi simbol tekad generasi muda untuk memajukan bangsa. Kini, semangat itu terus hidup melalui tangan-tangan muda yang bekerja bersama membangun rumah bagi keluarga berpenghasilan rendah, sebuah wujud nyata kepedulian dan gotong royong di tengah tantangan backlog perumahan nasional yang masih mencapai lebih dari 12 juta unit.
Habitat for Humanity Indonesia meyakini, keterlibatan pemuda adalah kunci menghadirkan perubahan nyata. Melalui 28UILD, mereka tidak hanya membangun dinding dan pondasi, tetapi juga membangun harapan, solidaritas, serta nilai kemanusiaan.
Tahun ini, kegiatan 28UILD 2025 dilaksanakan serentak di Tangerang, Yogyakarta, dan Gresik pada Sabtu, 25 Oktober 2025. Ratusan relawan muda turun langsung mengerjakan pembangunan rumah, mulai dari pemasangan tembok, pengecatan, hingga pembentukan pondasi. Di bawah teriknya matahari, semangat mereka tak padam, disertai tawa, percakapan hangat, dan rasa bangga bisa berkontribusi untuk sesama.
Selain membangun rumah, acara ini juga menghadirkan lomba kreatif dengan total hadiah Rp16 juta, mencakup desain kaos, yel-yel, jingle, dan liputan kegiatan. Melalui lomba ini, generasi muda diajak menyalurkan ide, energi, dan kreativitas mereka secara positif untuk menggaungkan pesan rumah layak huni bagi semua.
Kegiatan ini juga mendapat dukungan dari berbagai Key Opinion Leader (KOL) dan figur publik yang turut menginspirasi generasi muda untuk beraksi, antara lain Han Chandra, Josh Kunze, serta komunitas Act of Love yang didirikan oleh Cinta Laura. Kehadiran mereka memperkuat pesan bahwa kepedulian sosial bukan hanya wacana, melainkan panggilan nyata bagi setiap anak muda Indonesia.
“Pemuda adalah harapan dan sudah membuktikan dalam sejarah sebagai pembawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Melalui 28UILD, kami ingin mengajak para pemuda untuk terus berani bermimpi dan bertindak untuk turut membangun Indonesia yang lebih baik,” ujar Handoko Ngadiman, National Director Habitat for Humanity Indonesia. “Semoga semakin banyak anak muda yang menghidupkan semangat Sumpah Pemuda melalui aksi nyata dalam pengentasan kemiskinan rumah di Indonesia untuk keluarga-keluarga prasejahtera.”
Kegiatan 28UILD 2025 turut mendapat dukungan dari berbagai mitra yang percaya pada kekuatan kolaborasi untuk membangun negeri antara lain, Daily Box, Kapal Api Group, BUMA, Orang Tua Group, Gebacken, Delami (Executive), PT Trikemindo Utama, Brawijaya Hospital, Pepsico, L’Oréal, Aplus, PT Avia Avian Tbk, Smart Tools, Flow, Superbank, Rentokil, WRP, Karsa, Heritage, TRAC, The Southern Hotel, dan Bima Bissaloy.
Keberhasilan 28UILD 2025 menjadi bukti bahwa semangat Sumpah Pemuda tetap berkobar di hati generasi muda Indonesia. Habitat for Humanity Indonesia akan terus menyalakan api semangat itu, menginspirasi lebih banyak pemuda untuk membangun rumah, menumbuhkan harapan, dan mewujudkan Indonesia yang lebih layak huni.
Yuk, berkenalan dengan Ibu Nimah, salah satu perempuan warga Kampung Tanjung Kait yang ikut terlibat langsung dalam membangun rumah layak huni.
Tangerang, 13 Oktober 2025 – Ada semangat yang tak pernah padam dari sosok sederhana bernama Ibu Nimah. Setiap pagi, perempuan berusia 55 tahun ini selalu memulai hari dengan sebuah pertanyaan kecil dalam hati, “Apa yang bisa saya bantu hari ini? Apa yang bisa saya lakukan hari ini?” Kalimat sederhana itu menjadi pemantik energi yang membuatnya tetap kuat, meski hidup tidak selalu mudah baginya.
Ibu Nimah adalah salah satu warga Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang, yang rumahnya ikut dibangun kembali dalam Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait. Program ini menghadirkan 110 rumah layak huni baru untuk warga, sekaligus infrastruktur penunjang yang lebih memadai. Bagi Nimah, program ini bukan sekadar proyek fisik, melainkan kesempatan untuk ikut meninggalkan jejak dalam membangun kampungnya.
Awal Mula Perjalanan
Awalnya, keterlibatan Ibu Nimah di proyek pembangunan ini sederhana saja. Ia hanya menyediakan minuman dan makanan ringan untuk para pekerja yang sibuk membangun rumah-rumah di kampungnya. Namun, semakin hari, ia merasa bahwa dirinya ingin melakukan sesuatu yang lebih besar. Ia menyadari, meski tak punya cukup uang untuk memperbaiki rumahnya sendiri, setidaknya ia masih memiliki tenaga. “Saya enggak punya uang, enggak punya apa-apa. Tapi saya punya tenaga, dan itu yang bisa saya berikan,” ungkapnya.
Sejak saat itu, Nimah tak lagi sekadar berdiri di pinggir, melainkan turun langsung ke lapangan, ikut bergotong royong bersama warga lainnya, termasuk para perempuan, membantu para pekerja konstruksi.
Keterlibatan Nimah ini tentu tidak lepas dari kondisi rumah lamanya. Selama puluhan tahun, ia tinggal di rumah yang semakin hari semakin rapuh. Dindingnya retak, lantai tak lagi rata, dan atap bocor setiap kali hujan turun. Yang paling parah, setiap kali pasang air laut datang, rumahnya kerap terendam banjir. Air asin menggenang hingga ke dalam rumah, merusak perabotan, membuat dinding lembab, dan memicu kerusakan lebih parah.
Sebagai seorang janda yang menggantungkan hidup dari penghasilan anak-anaknya dan sesekali bekerja serabutan seperti mengupas kerang, Nimah tidak memiliki cukup biaya untuk memperbaiki rumah. Rasa cemas selalu menghantui, terutama saat hujan deras disertai pasang laut. Ia tak pernah tahu kapan rumahnya bisa benar-benar roboh.
Namun, kondisi pilu itu perlahan terjawab ketika Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait hadir. Program ini digagas oleh Habitat for Humanity Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA), serta didukung oleh para donatur. Bagi Nimah, program ini adalah anugerah yang menjawab doa-doanya selama ini.
Potret Nimah yang tampak sibuk mengamplas dinding rumahnya di Kampung Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Saat proses pembangunan dimulai, Nimah semakin tergerak untuk turut serta. Ia sadar, rumahnya sendiri termasuk yang akan dibangun. Karena itu, ia merasa perlu memberikan jejak kontribusi. Nimah selalu berusaha ikut berkontribusi dengan cara yang ia mampu. Mulai dari pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membantu mengangkut material ringan, merapikan area kerja, hingga ikut memberi sentuhan sederhana di dinding. Meski terlihat sepele, baginya setiap usaha adalah bentuk nyata keterlibatan dalam membangun rumah impian.
“Awalnya tukang-tukang itu kasihan lihat saya. Tapi setelah mereka lihat semangat saya, malah mereka jadi semangat juga. Saya enggak malu, enggak canggung, karena saya yakin tenaga saya ini bisa berguna,” tuturnya dengan wajah berbinar.
Keterlibatan Nimah memberi warna tersendiri di tengah hiruk pikuk pembangunan. Para pekerja dan warga lain melihat keteguhan seorang perempuan yang tidak menyerah pada keadaan. Gotong royong yang ia jalani bersama warga lain semakin memperkuat ikatan sosial di Tanjung Kait.
Bagi Nimah, setiap tetes keringat adalah doa. Ia percaya bahwa usahanya ini akan meninggalkan kenangan indah, bukan hanya karena ia membantu membangun rumahnya sendiri, tetapi juga karena ia ikut membangun masa depan kampungnya.
Kini, rumah baru Nimah memang belum selesai sepenuhnya. Ia masih sibuk membantu proses akhir, mulai dari mengamplas hingga mengecat dinding. Meski begitu, ada harapan besar yang ia titipkan pada rumah itu. “Saya berharap rumah baru ini bisa memberi kebahagiaan lahir dan batin. Bisa jadi tempat aman untuk saya dan anak-anak, tempat untuk kami berkumpul tanpa takut banjir atau atap bocor lagi,” ujarnya penuh harap.
Harapan Nimah sederhana, tetapi sarat makna. Ia ingin rumah barunya kelak menjadi sumber ketenangan, tempat yang membuatnya merasa tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang bencana, dan menjadi simbol semangat baru dalam hidupnya.
Keterlibatan Nimah ini merupakan bentuk kontribusi nyata warga dalam proses pembangunan rumah layak huni di kampungnya, sekaligus semangat nyata bagaimana peran perempuan bisa memberi dampak positif (2/10). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Lebih dari sekadar membangun rumah, kisah Nimah juga menyingkap isu penting yakni, keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan komunitas. Selama ini, pekerjaan konstruksi sering dianggap hanya urusan laki-laki. Namun, kehadiran Nimah membuktikan bahwa perempuan juga mampu mengambil peran aktif, meski dengan segala keterbatasan.
Semangat Nimah adalah gambaran nyata bagaimana pemberdayaan perempuan bisa memberi dampak positif. Kehadirannya di lokasi pembangunan menjadi bukti bahwa perempuan tidak hanya menunggu hasil, melainkan juga bisa menjadi bagian dari proses. Di Tanjung Kait, suara dan tenaga perempuan ikut membangun pondasi bukan hanya rumah, tetapi juga kebersamaan dan kemandirian masyarakat.
Dari kisah ini juga mengajarkan bahwa kontribusi tidak selalu diukur dari besarnya harta atau banyaknya materi yang diberikan. Dalam keterbatasannya, Nimah tetap mampu memberi sumbangsih besar melalui tenaga, semangat, dan ketekunan. Kisah ini sekaligus menjadi cerminan bahwa revitalisasi kampung bukan hanya tentang membangun rumah, melainkan juga tentang membangun manusia mulai dari kesadaran, kemandirian, dan partisipasi, termasuk dari kaum perempuan.
Akhir kata, Ibu Nimah berdiri sebagai simbol sederhana yang menyimpan arti besar bahwa setiap orang, siapa pun dia, mampu menjadi bagian dari perubahan.
Tangerang, 9 Oktober 2025 – Program Revitalisasi Kampung Tanjung Kait kini telah memasuki fase akhir. Sebanyak 110 rumah layak huni baru yang dibangun untuk warga saat ini tengah melalui proses pengecatan dan perapihan sebagai bagian dari tahap penyelesaian akhir (finishing). Selain itu, pembangunan infrastruktur penunjang seperti posyandu, balai warga, tempat pengepul ikan, jaringan listrik, drainase, serta sarana air bersih juga tengah berjalan secara paralel.
Sebagai bagian dari upaya memastikan keberlanjutan program, Habitat for Humanity Indonesia memfasilitasi kegiatan sosialisasi dan penguatan kapasitas warga yang berlangsung sejak 22 September 2025 dan diselenggarakan selama empat pekan di Kelenteng Co Su Kong, Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang.
Kegiatan ini dibentuk sebagai langkah pengelolaan berbasis komunitas (community-managed system) untuk memastikan pemeliharaan hasil pembangunan dapat berjalan berkelanjutan, inklusif, transparan, serta mendorong kemandirian warga. Melalui forum ini, lebih dari 30 warga yang mewakili komunitas Tanjung Kait berdiskusi mengenai berbagai persoalan lingkungan, seperti manajemen sampah rumah tangga, pengelolaan sistem drainase, hingga pemanfaatan fasilitas umum.
“Revitalisasi kampung tidak berhenti pada pembangunan rumah dan fasilitas, tapi juga membangun kesadaran serta kemandirian masyarakat. Dengan begitu, keberlangsungan kampung akan terjaga,” jelas Wijang Wijanarko, fasilitator sekaligus konsultan perumahan dan permukiman, dalam sesi diskusi.
Tujuan kegiatan ini antara lain menetapkan kerangka kerja, peran, dan mekanisme koordinasi warga dalam mengelola kampung, memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam pemeliharaan infrastruktur, serta membentuk kelembagaan pengelola berbasis komunitas yaitu Komite Pengelola Komunitas.
Agenda kegiatan berlangsung secara bertahap. Pada minggu pertama, warga bersama tokoh masyarakat dan perangkat desa melakukan sosialisasi program sekaligus membentuk Tim Pengelola Lingkungan. Minggu berikutnya, warga mengikuti pelatihan singkat mengenai pengelolaan lingkungan dan administrasi kelembagaan serta menyusun aturan bersama. Tahap selanjutnya difokuskan pada penyusunan rencana kerja lanjutan mencakup pemeliharaan infrastruktur, pengelolaan fasilitas umum, hingga perumusan mekanisme keuangan komunitas. Seluruh rangkaian akan ditutup dengan rapat pleno dan serah terima simbolis hasil program pada pertengahan Oktober mendatang.
Melalui pendekatan ini, warga tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama dalam menjaga dan mengembangkan kampungnya. Dengan selesainya tahap akhir revitalisasi dan penguatan kapasitas masyarakat, Kampung Tanjung Kait diharapkan dapat menjadi contoh praktik baik transformasi kawasan pesisir menuju lingkungan yang lebih layak, sehat, dan berdaya.
Bogor, 30 September 2025 – Ada kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan dari wajah Imas Laelasari (52). Senyum itu lahir dari hadirnya sebuah rumah layak nan sederhana yang membawa rasa aman, ketenangan, sekaligus secercah harapan baru bagi dirinya dan ketiga anaknya. Di Gunung Putri, Kabupaten Bogor, rumah dengan dinding berkelir merah dan abu itu kini berdiri kokoh, menggantikan bangunan lama yang rapuh dan penuh perasaan resah.
Sejak 2015, Imas menempati rumah yang jauh dari kata layak. Bangunan tanpa struktur kuat itu membuat dinding retak di berbagai sisi. Atap bocor, lantai keramik hancur, dan setiap malam ia harus berdoa agar rumah tidak runtuh menimpa keluarga kecilnya. “Waktu itu malam hari saya sedang menonton TV bersama anak pertama saya, tiba-tiba atap genteng jatuh roboh. Panik sekali saya. Saya khawatir sewaktu-waktu bisa menimpa saya dan anak-anak,” kenang Imas.
Doa agar rumahnya bisa kembali layak selalu ia panjatkan. Ia masih teringat pesan mendiang suaminya sebelum berpulang delapan tahun lalu, “Rumah ini jangan sampai dijual, ya Mah, supaya bisa ditempati anak-anak kita nanti.” Pesan itu tertanam kuat, sehingga meski kondisi rumah memburuk, ia tetap bertahan. Namun, memperbaiki rumah bukan hal mudah. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, Imas hanya bisa mengandalkan penghasilan anak-anaknya yang sering kali tidak menentu.
“Kalau rumah ini roboh, saya benar-benar bingung harus tinggal di mana. Makanya saya cuma bisa berdoa semoga ada jalan keluar,” ucap Imas lirih.
Imas menunjukkan kondisi rumahnya yang tidak layak huni sebelum dibangun kembali oleh Habitat for Humanity Indonesia dan Prudential Indonesia di Gunung Putri, Bogor (18/1). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Jawaban itu akhirnya datang. Habitat for Humanity Indonesia bersama Prudential Indonesia melalui Program Desa Maju Prudential hadir membangun kembali rumah milik Imas. Dindingnya kini berdiri kokoh, atapnya kuat, lantainya rapi, dan ruangan dalamnya jauh lebih nyaman. Toilet yang dulu membuatnya takut karena pernah dimasuki ular, kini sudah bersih dan aman digunakan.
“Alhamdulillah, Ibu senang sekali dan banyak-banyak terima kasih kepada semuanya yang telah membantu keluarga Ibu. Sekarang keadaan jauh lebih berubah. Ibu udah enggak pernah takut atau khawatir lagi rumah bakalan roboh,” tutur Imas dengan lega.
Lebih dari sekadar bangunan rumah, yang hadir bagi Imas adalah rasa aman. Ia tidak lagi cemas dinding retak akan runtuh, tidak lagi khawatir pencuri mudah masuk, dan tidak lagi waswas ketika hujan deras turun.
Rumah ini juga turut memunculkan semangat baru. Tak berselang lama setelah berdiri, Imas mencoba mencari modal untuk berjualan makanan ringan di depan rumah. Ia ingin memanfaatkan ruang baru itu sebagai titik awal usaha kecil, agar bisa sedikit demi sedikit mandiri.
“Rumah itu hartanya Ibu. Andai saja Bapak masih ada, pasti beliau juga senang lihat rumah ini,” ucapnya sambil menahan haru.
Imas menata dagangan di warung kecil depan rumahnya yang telah layak huni, hasil pembangunan Habitat for Humanity Indonesia bersama Prudential Indonesia di Gunung Putri, Bogor (28/8). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Perubahan yang dirasakan Imas sejalan dengan tujuan besar Program Desa Maju Prudential tahap ketiga yang berjalan sejak November 2024. Program ini tidak hanya membangun rumah seperti milik Imas, tetapi juga memberi dampak luas bagi komunitas. Ada 27 unit rumah layak huni baru yang dibangun, 21 unit toilet rumah tangga baru, serta renovasi 4 fasilitas pendidikan dan umum. Selain itu, program ini menyediakan mesin untuk mengubah sampah menjadi biji plastik, mengadakan pelatihan pengolahan sampah bagi 210 peserta, melatih 75 pengurus pengolahan sampah, hingga memberikan edukasi tentang konstruksi dasar rumah sehat, perilaku hidup bersih dan sehat, serta mitigasi bencana bagi masyarakat.
Bagi sebagian orang, rumah mungkin hanya dinilai sebagai tempat berteduh. Namun bagi Imas, rumah baru ini adalah simbol kehidupan baru. Dari rumah ini, ia kembali menemukan semangat, harapan, dan keberanian untuk melangkah maju bersama anak-anaknya.
Sore itu, tepat pukul empat, cahaya matahari menyusup lembut ke sela-sela dedaunan dan jatuh di dinding rumah baru berwarna biru milik Iqballudin. Dinding itu tampak kokoh, berdiri tegas, seakan menjadi saksi perubahan besar dalam hidup keluarga kecil di Babakan Madang, Kabupaten Bogor ini. Tim Habitat for Humanity Indonesia kembali menyambangi kediaman Iqballudin yang kini sudah layak huni. Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat bagaimana keluarga ini merawat rumah barunya. Bahkan, hanya berselang sehari setelah rumah rampung dibangun, Iqballudin langsung bergerak menambahkan dapur sederhana secara mandiri, bukti nyata semangatnya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi istri dan anak-anak.
Sebelum rumah baru ini hadir, kehidupan keluarga Iqballudin penuh keterbatasan. Ia, seorang buruh serabutan berusia 41 tahun, hanya mengandalkan upah harian sebesar Rp 50.000 untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bersama istrinya, Siti Romyanah (36), seorang ibu rumah tangga, mereka membesarkan tiga anak yang masih duduk di bangku sekolah. Namun, kondisi rumah lama membuat segalanya terasa semakin berat.
Rumah mereka sebelumnya dibangun tanpa fondasi, hanya berupa bangunan sederhana dari panel GRC dan anyaman bambu. Tanpa dapur dan tanpa toilet, keluarga ini harus bergantung pada rumah orang tua untuk memasak dan mandi. Tak sampai di situ, rayap mulai merambat ke dinding dan tiang, membuat struktur rumah semakin rapuh.
Dengan mata berkaca-kaca, Siti mengenang rasa takut yang selalu menghantuinya. “Rayapnya sudah sampai atas, rumah rasanya mau roboh. Saya khawatir sekali sama anak-anak. Kalau ada kebocoran, saya takut anak-anak sakit-sakitan, terutama si kecil,” ucapnya dengan suara bergetar.
Kenangan itu menjadi bagian dari perjalanan panjang mereka, hidup dalam rumah yang tidak pernah memberi rasa aman. Tidur malam hari sering kali dibayangi kekhawatiran, terutama ketika hujan turun deras.
Namun, semua itu berubah lewat acara CEO Build 2025. Berkat dukungan dari Bapak Edwin Soeryadjaya yang berkolaborasi dengan Habitat for Humanity Indonesia, rumah baru untuk keluarga Iqballudin akhirnya berdiri. Rumah itu kokoh, aman, dan jauh berbeda dari kondisi sebelumnya yang rapuh.
Iqballudin pun tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat menyampaikan syukur. “Alhamdulillah, saya merasa sangat bahagia dan bersyukur. Rumah saya sekarang sangat kokoh, tidak seperti sebelumnya yang rapuh dan mau roboh,” ungkapnya penuh rasa lega.
Siti pun menambahkan dengan senyum yang kini lebih tenang, “Banyak sekali perubahannya. Setidaknya setiap malam bisa tidur nyenyak, tanpa lagi khawatir. Anak-anak bahagia, kita semua bahagia.”
Potret keluarga Iqballudin di depan rumah mereka yang kini layak huni berkat dukungan Edwin Soeryadjaya dan Habitat for Humanity Indonesia di Babakan Madang, Bogor (10/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Perubahan ini bukan hanya soal berdirinya bangunan baru. Dampaknya terasa mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak mereka kini lebih sehat karena tidak lagi terpapar kebocoran, lembab, dan kotoran rayap. Mereka pun tidak perlu lagi bolak-balik ke rumah kakek dan nenek hanya untuk mandi atau sekadar menggunakan toilet. Privasi mereka kini juga lebih terjaga, kebersihan lebih terjamin, dan kesehatan anak-anak pun meningkat.
Dampak besar juga terasa di pendidikan anak Iqballudin. Rumah yang aman dan nyaman membuat anak-anak bisa belajar dengan tenang tanpa harus memikirkan risiko atap bocor. Lingkungan rumah yang lebih sehat memberi mereka kesempatan untuk fokus pada sekolah. Iqballudin percaya bahwa rumah ini akan menjadi pondasi bagi masa depan anak-anaknya. “Setidaknya sekarang anak-anak bisa belajar dengan tenang. Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya, biar masa depan mereka lebih baik dari saya,” ujarnya penuh harap.
Lebih jauh lagi, rumah baru ini menumbuhkan rasa percaya diri bagi keluarga. Tidak ada lagi rasa malu jika ada tetangga atau kerabat berkunjung. Mereka kini memiliki ruang yang layak untuk menyambut tamu, tempat yang benar-benar bisa disebut rumah.
Dengan penuh rasa syukur, Iqballudin kembali menyampaikan terima kasih. “Saya benar-benar berterima kasih kepada Pak Edwin dan Habitat atas rumah baru ini. Dukungan ini sangat berarti bagi saya dan keluarga. Semoga Allah membalas kebaikan ini dengan berlipat ganda,” ucapnya tulus.
Dari sebuah rumah sederhana yang kini berdiri kokoh, harapan baru tumbuh bagi keluarga kecil ini. Sebuah rumah tidak hanya melindungi dari hujan dan panas, tapi juga menjadi tempat di mana mimpi, kesehatan, dan masa depan anak-anak dapat tumbuh dengan kuat. Dan di balik setiap dinding yang berdiri, tersimpan cerita bahwa perubahan selalu mungkin ketika kepedulian diwujudkan dalam tindakan nyata.
Siswa-siswi RA Dwi Tunas Bangsa menyambut dengan antusias ruang kelas baru hasil renovasi dari Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Semangat pagi menyelimuti wajah anak-anak usia dini ketika mereka melangkah masuk ke halaman sekolah. Tawa kecil mereka terdengar riang, berlarian sambil membawa tas mungil. Di lorong depan kelas, nyanyian mereka bersahut-sahutan, menciptakan harmoni sederhana yang membuat suasana semakin hidup. Hari itu bukan sekadar hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, melainkan awal baru yang penuh warna bagi RA Dwi Tunas Bangsa, sebuah sekolah di Kabupaten Tangerang yang kini tampak seperti terlahir kembali.
Bangunan sekolah yang dulu rapuh kini berdiri kokoh. Struktur bangunan diperkuat, atap yang sebelumnya bocor kini diganti dengan yang baru, dan setiap sudut ruangan direnovasi agar lebih aman. Dinding berwarna kuning cerah membuat sekolah tampak hangat dan ramah. Dua ruang kelas kini terasa lapang dan nyaman, ruang guru berubah menjadi tempat diskusi yang layak, dan yang paling utama sebuah toilet baru yang higienis dan aman untuk digunakan anak-anak. Semua ini menjadikan RA Dwi Tunas Bangsa seperti rumah kedua yang layak untuk ditempati oleh generasi kecil yang penuh mimpi.
Namun, apa yang tampak hari ini jauh berbeda dengan kondisi sekolah sebelumnya. Selama belasan tahun berdiri, bangunan sekolah itu perlahan kehilangan fungsinya. Cat dinding memudar, sebagian tembok retak, atap bocor saat hujan, dan ruang kelas terasa pengap tanpa ventilasi memadai. Toilet sekolah sudah lama tidak berfungsi, membuat anak-anak terpaksa menumpang di rumah tetangga sekitar setiap kali ingin buang air. Situasi itu bukan hanya membuat mereka tidak nyaman, tetapi juga membahayakan kesehatan dan menurunkan rasa percaya diri.
Akibat kondisi sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah murid pun menurun drastis. Hanya sekitar 15 siswa yang masih bertahan bersekolah di sana. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anak mereka di RA Dwi Tunas Bangsa, bukan karena kualitas pengajaran, melainkan karena kondisi bangunan yang dianggap tidak layak. Bagi Agustini, kepala sekolah, ini menjadi beban berat. Ia ingin anak-anak di lingkungannya mendapatkan pendidikan dini yang layak, tapi keterbatasan fasilitas membuat perjuangan itu terasa berat.
Suasana ruang kelas RA Dwi Tunas Bangsa setelah direnovasi oleh Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Kabar baik akhirnya datang ketika Habitat for Humanity melihat kondisi ini dan memutuskan untuk turun tangan. Kolaborasi ini tidak sekadar memperbaiki bangunan, tetapi juga membangkitkan harapan. Renovasi dilakukan secara menyeluruh. Struktur bangunan diperkuat, atap diperbaiki, ruang kelas diperbarui, ruang guru ditata ulang, hingga pembangunan toilet baru yang layak dan higienis.
“Adanya bantuan pembangunan fasilitas sekolah ini benar-benar membantu kami. Sekarang kami bisa menerima lebih banyak siswa. Dari yang tadinya hanya 15, sekarang jumlah murid bertambah dua kali lipat. Sekarang sudah lebih dari 30 anak belajar di sini,” ujar Agustini dengan senyum lega.
Bagi Agustini, bukan hanya jumlah murid yang bertambah. Lebih dari itu, suasana belajar menjadi jauh lebih menyenangkan. “Yang paling penting adalah ruang kelas baru yang aman, atap yang tidak bocor, dan sarana toilet yang layak. Anak-anak jadi betah, guru juga lebih semangat. Lingkungan belajar yang nyaman memang membawa perbedaan besar,” tambahnya.
Perubahan ini terasa nyata bagi murid dan guru. Anak-anak kini bisa belajar dengan tenang tanpa harus kepanasan. Guru pun bisa fokus mengajar tanpa khawatir akan keterbatasan fasilitas. Sekolah bukan lagi tempat seadanya, melainkan ruang yang benar-benar layak untuk menumbuhkan mimpi.
Pendidikan adalah fondasi masa depan. Bangunan sekolah yang layak bukan hanya tembok dan atap, melainkan tempat yang menanamkan nilai, karakter, dan harapan. Setiap warna cerah di dinding RA Dwi Tunas Bangsa menjadi simbol semangat baru. Setiap tawa anak-anak adalah bukti bahwa akses pendidikan yang memadai benar-benar membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.
“Sekolah ini semoga menjadi penopang bagi anak-anak dalam meraih masa depan mereka. Kami ingin mereka tumbuh dengan percaya diri, sehat, dan berani bermimpi,” tutup Agustini dengan harapan besar.
Potret siswa-siswi RA Dwi Tunas Bangsa di depan ruang kelas baru hasil renovasi Habitat for Humanity Indonesia di Kabupaten Tangerang (24/7). Foto: HFHI/Kevin Herbian
Dari lorong sederhana di Kabupaten Tangerang ini, kita belajar bahwa masa depan anak-anak tidak boleh dibatasi oleh kondisi bangunan yang rapuh. Dengan kolaborasi dan kepedulian, sekolah yang kokoh dan nyaman bisa menjadi pijakan awal bagi generasi penerus bangsa untuk melangkah lebih jauh.
Tangerang, 3 September 2025 – Kakaobank kembali bekerja sama dengan Habitat for Humanity Indonesia dalam program bertajuk “Kakaobank Connect Village 2025: Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Kualitas Pendidikan, dan Akses Teknologi.” Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan akses terhadap teknologi di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, sekaligus mendukung pembangunan rumah layak huni bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Sekitar 50 relawan dari Kakaobank Korea dan Superbank Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam program selama tiga hari, yang dilaksanakan dari tanggal 1 hingga 3 September 2025. Program ini berhasil membangun 17 unit rumah layak huni dan mendirikan fasilitas pendidikan berupa Laboratorium TIK di SMP Bhakti Pertiwi. Laboratorium ini dilengkapi dengan 21 unit komputer baru untuk mendukung kegiatan e-learning dan pengembangan keterampilan digital siswa.
Kecamatan Rajeg menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan. Dari lima desa yang ditetapkan sebagai zona kemiskinan ekstrem, tiga di antaranya diprioritaskan untuk program pengentasan kemiskinan. Banyak siswa dari keluarga berpenghasilan rendah tinggal di rumah yang tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka, memengaruhi kondisi fisik dan kemampuan mereka untuk fokus pada pendidikan. Program ini mengatasi tantangan nyata yang dihadapi oleh anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau akses terbatas pada pendidikan digital.
Hayden Shin, Corporate Support Group/Head of Group Executive Vice President Kakaobank Korea menyatakan, “Kami bangga dapat berkontribusi dalam meningkatkan akses pendidikan dan teknologi bagi anak-anak di Rajeg. Melalui kolaborasi ini, kami berharap dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik dan mendukung pertumbuhan anak-anak dari keluarga kurang mampu.”
Handoko Ngadiman, Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, menambahkan, “Kolaborasi ini menunjukkan pentingnya sinergi antara sektor swasta dan organisasi kemanusiaan. Selain menyediakan rumah yang layak huni, laboratorium TIK akan meningkatkan kualitas pendidikan di SMP Bhakti Pertiwi, memberikan siswa akses yang memadai terhadap teknologi dan mendukung pembelajaran modern.”
Program Kakaobank Connect Village 2025 merupakan wujud nyata komitmen Kakaobank dalam mendukung pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, sekaligus memperkuat upaya Habitat for Humanity Indonesia untuk menyediakan rumah layak huni dan fasilitas pendidikan yang memadai bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Rajeg.
Saksikan video berikut untuk melihat bagaimana relawan kakaobank Korea turut membangun hunian layak dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.