Di sudut sebuah desa di Kabupaten Gresik, hidup seorang ibu bernama Suparlik (52) bersama anak semata wayangnya. Sejak suaminya meninggal tiga tahun lalu, hidup seolah berjalan lambat. Setiap hari ia bergulat dengan kenyataan yang mengharuskan dirinya membanting tulang sebagai buruh tani, menjajakan getuk keliling, dan membuka warung kecil di halaman rumah tua peninggalan orang tuanya.
Bagi Suparlik, setiap rupiah yang dikumpulkan bukan sekadar uang. Itu adalah bentuk cinta untuk anaknya, yang masih duduk di bangku SMA, dan impian sederhana agar kehidupan mereka bisa tetap berjalan.
Namun di balik semangat itu, ada sisi lain yang tak banyak orang tahu. Rumahnya yang rapuh menyimpan ketidaknyamanan yang begitu dalam. Dapur yang berlubang dimakan rayap, toilet tanpa pintu, dan dinding bambu yang nyaris runtuh, semua itu membuat malam-malam Suparlik dipenuhi rasa takut.
“Kalau malam saya itu paling takut, Mas. Takut ada yang intip. Saking enggak beraninya, saya tahan keperluan saya ke dapur dan kamar mandi sampai pagi hari. Nangis saya, Mas,” tuturnya lirih.
Kondisi itu tidak hanya menyiksa secara fisik, tapi juga perlahan menggerus semangat. Aktivitas paginya sering tertunda karena ia menunggu cahaya matahari, baru berani bergerak. Sering kali ia terlambat berjualan, dan warungnya pun baru buka menjelang siang.
Di tengah perjuangan itu, ada kekhawatiran yang lebih besar yaitu masa depan anaknya sendiri. “Anak saya itu pengennya sekolah, lanjut kuliah. Ya saya bingung, kalau kuliah itu pakai uang apa?” katanya pelan, dengan mata yang berkaca-kaca.

Baca juga: Dua Belas Tahun Menanti, Perjuangan Kasemi Untuk Dapatkan Akses Air Bersih
Hingga akhirnya, harapan itu datang. Pada pertengahan 2024, Habitat for Humanity Indonesia bersama para donatur dan sukarelawan hadir di Desa Sooko, Kecamatan Wringinanom. Mereka membangun kembali rumah-rumah warga yang tak layak huni, termasuk rumah Suparlik. Dapur dan toilet yang dulu menjadi sumber ketakutan, kini telah berubah menjadi ruang yang aman dan bersih.
“Seneng, bahagia, enggak mungkin saya bisa buat dapur seperti ini, sebagus ini. Alhamdulillah, Ibu enggak mimpi. Saya bersyukur dan berterima kasih sekali sama Habitat dan donaturnya. Ibu enggak bisa balas apa-apa,” ucap Suparlik haru.
Sejak itu, hari-hari Suparlik berubah. Ia bisa bangun lebih pagi tanpa rasa takut, mulai berjualan getuk pukul tiga dini hari, dan warung kecilnya kini buka lebih awal. Pendapatannya pun perlahan meningkat.
“Alhamdulillah, saya jam delapan pagi dagangan sudah habis dan bisa buka warung lebih awal. Sedikit demi sedikit ini menambah penghasilan saya dibandingkan sebelumnya,” katanya.
Dengan perubahan itu, Suparlik kini kembali menyalakan mimpi yang sempat padam, menabung demi pendidikan anaknya. Sebuah impian yang dulu hanya bisa ia simpan diam-diam, kini mulai tampak ujung jalannya.
Kisah Suparlik adalah cerminan bahwa rumah yang layak bukan hanya tempat tinggal, ia adalah pondasi harapan, titik tolak perubahan, dan ruang untuk tumbuh lebih baik. Habitat for Humanity Indonesia percaya bahwa setiap keluarga layak memiliki rumah yang aman, sehat, dan bermartabat.

Melalui rumah, hadir rasa tenang. Dari rasa tenang, tumbuh keberanian. Dan dari keberanian itulah, masa depan bisa dibangun kembali. Mari bantu kami membuka jalan bagi lebih banyak keluarga seperti Suparlik. Wujudkan rumah layak, bangun harapan melalui www.habitatindonesia.org/donate
(kh/av)